Kiat Kerja Sama Pemanfaatan Tanah HPL Agar Tidak Tersandung Masalah

Regulasi yang mengatur HPL sarat dalam ranah hukum publik. Oleh karena itu, pelaku usaha properti harus berhati-hati.

Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: realestat.id)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: realestat.id)

RealEstat.id (Jakarta) – Perselisihan hak atas tanah berupa HGB (Hak Guna Bangunan) yang terbit dari HPL (Hak Pengelolaan Lahan) kerap terjadi. Perselisihan ini ada yang muncul ke permukaan menjadi sengketa di pengadilan maupun yang masih diupayakan penyelesaian secara non litigasi. Perkara hukum yang monumental adalah terkait Sertipikat HGB sebuah hotel di kawasan Gelora Bung Karno.

Banyak faktor yang menyebabkan munculnya sengketa, salah satunya adalah masih lemahnya perjanjian kerja sama pemanfaatan tanah HPL. Para pihak harus teliti dan cermat dalam membingkai kerja sama pemanfaatan tanah HPL dalam bisnis properti.

Perjanjian Kerja Sama

Pengaturan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) semakin kuat dan berkembang seiring dengan berlakunya Undang-undang Cipta Kerja (UUCK). HPL merupakan hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya.

Regulasi yang mengatur HPL sarat dalam ranah hukum publik. Oleh karena itu, pelaku usaha properti harus berhati-hati. Kerja sama pemanfaatan tanah HPL oleh pelaku usaha properti tidak semata-mata tunduk pada hukum perjanjian secara perdata.

Baca Juga: Pengembang Dinyatakan Pailit, Cicilan KPR Otomatis Lunas?

Pemegang HPL memiliki kewenangan untuk menyusun rencana peruntukan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang. Pemegang HPL berwenang untuk menggunakan dan memanfaatkan seluruh atau sebagian tanah HPL untuk digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak lain. Selain itu, pemegang HPL berwenang menentukan tarif dan/atau Uang Wajib Tahunan (UWT) dari pihak lain sesuai dengan perjanjian.

Perjanjian pemanfaatan tanah HPL paling sedikit memuat 6 (enam) hal. Pertama, identitas para pihak. Kedua, terkait letak, batas dan luas tanah. Ketiga, jenis penggunaan, pemanfaatan tanah dan/atau bangunan yang akan didirikan.

Keempat, ketentuan mengenai jenis hak, jangka waktu, perpanjangan, pembaharuan, peralihan, pembebanan, perubahan, dan/atau hapus/batalnya hak yang diberikan di atas tanah HPL dan ketentuan pemilikan tanah dan bangunan setelah berakhirnya hak atas tanah.

Kelima, bersaran tarif dan/atau UWT dan tata cara pembayarannya. Keenam, persyaratan dan ketentuan yang mengikat para pihak, pelaksanaan pembangunan, denda atas wan prestasi termasuk klausul sanksi, dan pembatalan/pemutusan perjanjian.

Baca Juga: Penting Disimak! Konsekuensi Hukum Kerja Sama BOT (Build, Operate and Transfer)

Masalah Tarif/Uang Wajib Tahunan

Pemegang HPL di atas Tanah Negara meliputi instansi Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Badan Bank Tanah, BUMN/BUMD, BHMN/BHMD atau Badan Hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat, sepanjang tugas pokok dan fungsinya langsung berhubungan dengan pengelolaan tanah. BUMN/BUMD meliputi anak perusahaan yang dimiliki oleh BUMN/BUMD berdasarkan penyertaan modal negara pada BUMN/BUMD.

Pemegang HPL yang melakukan kerja sama pemanfaatan lahan kepada pihak ketiga diberikan kewenangan untuk  menentukan tarif dan/atau UWT dari pihak lain sesuai dengan perjanjian. Tarif dalam pengertian ini adalah tarif pelayanan pemanfaatan lahan pertama kali yang dikenakan oleh pemegang HPL dan UWT yang dikenakan pada saat pendaftaran pertama kali, perpanjangan, maupun pembaruan hak.

Pelaku usaha properti harus menyadari perlu adanya kepastian biaya tarif dan/atau UWT semenjak awal. Kepastian ini penting agar seluruh biaya investasi dapat dikalkulasi sehingga dapat diperkirakan kelayakan keuntungan investasi yang akan diperoleh dalam jangka waktu tertentu. Sebuah sengketa hukum pernah terjadi pemegang HPL menetapkan tarif perpanjangan HGB nilai 36% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Nilai ini pastinya besar sekali sehingga memberatkan pemegang HGB. Dalam perkara ini pemegang HPL dimenangkan oleh pengadilan.

Baca Juga: Perseroan Terbatas (PT) Pailit, Bagaimana Tanggung Jawab Direksi?

Pemegang HPL berwenang menentukan tarif dan/atau UWT sesuai dengan perjanjian. Besaran tarif dan/atau UWT dan tata cara pembayarannya dimuat dalam Perjanjian Pemanfaatan Tanah. Penentuan tarif dan/atau UWT disesuaikan dengan tujuan dari pemanfaatan, untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan dan/atau kepentingan ekonomi.

Penentuan tarif dan/atau UWT seyogianya tidak boleh mengandung unsur-unsur yang merugikan para pihak dan didasarkan pada karakteristik peruntukan dan kemanfaatan tertentu secara wajar. Rumusan tarif dan/atau UWT yang dikenakan oleh pemegang HPL ditetapkan oleh Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai rumusan dan penentuan tarif dan/atau UWT diatur dalam Peraturan Menteri. Pengaturan baru dalam HPL ini lebih memberikan kepastian bagi pelaku usaha properti yang merupakan pemegang HGB di atas HPL.

Jangka Waktu dan Objek Jaminan    

Pelaku usaha harus memastikan kemungkinan jangka waktu hak atas tanah yang terbit dari HPL dapat diperpanjang jangka waktu berlakunya serta dilakukan pembaharuan haknya. Kepastian ini penting agar pelaku usaha properti mendapatkan jangka waktu yang panjang sehingga profit margin yang diperoleh semakin besar.

Berdasarkan persetujuan dari pemegang HPL dapat diterbitkan hak-hak atas tanah diantaranya Hak Guna Bangunan (HGB). HGB diberikan paling lama 30 tahun dapat diperpanjang 20 tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun. Setelah jangka waktu pemberian, perpanjangan dan pembaharuan berakhir maka HGB dapat kembali menjadi hak dari pemegang hak tanah HPL.

Baca Juga: Kredit Bermasalah Bikin Bank Resah, Saatnya Legal Action!

Dalam ketentuan yang baru saat ini, Pemegang hak di atas HPL dijamin memperoleh perpanjangan dan/atau pembaruan hak dari pemegang HPL yang dicantumkan dalam perjanjian kerja sama pemanfaatan Tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Meskipun terdapat penegasan hal ini, para pihak seyogianya memperjanjikan secara tegas dalam kerja sama pemanfaatan lahan di atas tanah HPL.

Pelaku usaha harus pula memastikan kemungkinan hak atas tanah yang terbit dari HPL dapat menjadi objek jaminan hak tanggungan (HT). Kepastian ini penting agar hak-hak atas tanah seperti HGB dapat dijadikan jaminan bagi pelaku usaha properti mendapat kredit dari perbankan. Pada umumnya pelaku usaha properti memerlukan dukungan bank untuk membantu modal kerja atau kebutuhan dana investasinya.

Hak atas tanah di atas HPL dapat dibebani hak tanggungan, dialihkan, atau dilepaskan (baik termasuk aset BMN/BMD maupun bukan aset). Setiap perbuatan hukum (termasuk pembebanan hak tanggungan) yang dilakukan pemegang hak yang terbit dari HPL memerlukan rekomendasi pemegang HPL dan oleh karenya dimuat dalam perjanjian kerja sama pemanfaatan tanah HPL.

Baca Juga: Tiga Cara Mendapat Cuan Lewat Cessie Bank

Penutup

Sebuah kata bijak mengingatkan bahwa risiko muncul akibat ketidaktahuan apa yang dikerjakan. Kata bijak ini setidak-tidaknya memberikan pelajaran membingkai perjanjian kerja sama pemanfaatan tanah HPL harus cermat dan teliti, karena aturan mainnya bukan hanya tunduk pada hukum perdata tetapi juga pada hukum publik.

Di dalam perjanjian kerja sama pemanfaatan tanah HPL harus  memperhatikan masalah kepastian besarnya tarif/UWT, kepastian hak atas tanah menjadi objek jaminan hak tanggungan serta kepastian tentang pengaturan perpanjangan jangka waktu dan pembaharuan hak. Semoga artikel ini bermanfaat.

Artikel ini ditulis olehDzaky Wananda Mumtaz Kamil, SH.
Penulis adalah Praktisi Hukum Properti dan Perbankan berdomisili di Jakarta. Alumni Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini tengah mengikuti Program Studi Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada. Korespondensi dapat dilakukan melalui email: dzakywanandamumtazk@gmail.com

Redaksi@realestat.id

Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News

Berita Terkait

Audiensi DPP P3RSI dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak terkait rencana IPL yang dikenakan PPN. (Foto: Istimewa)
Audiensi DPP P3RSI dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak terkait rencana IPL yang dikenakan PPN. (Foto: Istimewa)
Foto: Dok. Kementerian PUPR.
Foto: Dok. Kementerian PUPR.
Press Conference bertajuk "PPPSRS Bersatu Tolak IPL Rumah Susun/Apartemen Kena PPN!” di Jakarta, Selasa, 24 September 2024. (Foto: Realestat.id)
Press Conference bertajuk "PPPSRS Bersatu Tolak IPL Rumah Susun/Apartemen Kena PPN!” di Jakarta, Selasa, 24 September 2024. (Foto: Realestat.id)