Waspada Sengketa Harta Warisan dalam Keluarga

Sebuah penelitian cukup mengagetkan: satu dari lima keluarga menghadapi sengketa. Hal ini memperlihatkan ternyata warisan tidak selamanya menjadi anugerah.

Juneidi D. Kamil, Pakar Hukum Properti (Foto: RealEstat.id)
Juneidi D. Kamil, Pakar Hukum Properti (Foto: RealEstat.id)

Oleh: Juneidi D. Kamil

RealEstat.id (Jakarta) - Sengketa permasalahan warisan semakin meningkat. Permasalahan warisan bahkan mengemuka sampai ke meja pengadilan. Banyak faktor yang menjadi penyebab, keserakahan sebagian atau semua ahli waris kerap kali menjadi pemicu utama. 

Sebuah penelitian cukup mengagetkan: satu dari lima keluarga menghadapi sengketa. Hal ini memperlihatkan ternyata warisan tidak selamanya menjadi anugerah namun justru dapat membawa malapetaka.

Baca Juga: Perlu Diketahui, Jenis-jenis Akad KPR Syariah

Nah, seperti apakah sengketa warisan yang kerapkali terjadi dan perlu diwaspadai di tengah-tengah kehidupan kita?

Sengketa Harta Warisan 
Warisan disebut juga harta peninggalan atau harta pusaka yang ditinggalkan pewaris. Kompilasi Hukum Islam membedakan pengertian harta peninggalan dengan harta waris. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

Sengketa berawal dari konflik, suatu situasi dimana masing-masing ahli waris dihadapkan pada perbedaan kepentingan atau ketidaksesuaian dengan ahli waris lainnya. Konflik tidak akan berkembang menjadi sengketa apabila ahli waris yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas. Konflik berkembang menjadi sengketa apabila ahli waris yang merasa dirugikan menyatakan rasa tidak puasnya baik secara langsung kepada pihak yang dianggap merugikan maupun kepada pihak lain untuk mencari jalan penyelesaiannya. 

Baca Juga: 5 Langkah Restrukturisasi Kredit Properti Akibat COVID-19

Sengketa harta warisan berawal dari konflik yang terjadi dalam menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan prosentase pembagian warisan masing-masing. Konflik yang berlansung semula bersifat tertutup hanya diketahui kalangan keluarga terdekat. Namun konflik berbuah menjadi sengketa saat muncul ke permukaan dan diketahui oleh pihak selain keluarga karena penyelesaiannya di bawa ke meja pengadilan.

Sengketa warisan banyak terjadi yang penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan Agama. Sengketa warisan secara umum menduduki posisi kedua setelah perkara perceraian. Pengadilan Agama berdasarkan Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama memiliki kewenangan memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara waris antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 49).

Pihak-pihak Bersengketa   
Pihak-pihak yang bersengketa dalam pembagian warisan adalah sesama ahli waris baik laki-laki dan/atau perempuan. Sengketa pembagian waris ini ada pula yang melibatkan suadara-saudara akibat perkawinan yaitu suami atau isteri dari ahli waris (ipar) dan anak angkat pewaris. Pewaris yang memiliki isteri lebih dari satu akan memunculkan semakin banyak para pihak yang terlibat dalam sengketa warisan.

Semasa hidupnya pewaris ada yang mengangkat pihak di luar keluarga sebagai anak angkat. Pengangkatan anak angkat yang berlangsung pada umumnya tidak dilakukan melalui pengadilan. Anak angkat merawat pewaris pada masa tuanya karena anak-anaknya tinggal di tempat lain yang jauh dari tempat tinggalnya. Setelah pewaris meninggal anak angkat menguasai secara fisik tanah dan rumah tempat tinggal pewaris semasa hidupnya. 

Baca Juga: The HUD Institute Berikan Sejumlah Masukan Terkait Omnibus Law Cipta Kerja

Sengketa muncul karena keserakahan untuk menguasai dan mendapatkan harta warisan. Mereka ingin dimasukkan sebagai pihak ahli waris dengan mendapatkan prosentase lebih besar atas harta warisan. Pihak perempuan misalnya ingin mendapatkan pembagian yang sama dengan laki-laki bukan seperti yang diatur dalam hukum Islam. Hukum Islam dalam pembagian harta warisan menentukan laki-laki mendapatkan 2 (dua) bagian dibandingkan dengan perempuan. 

Potensi sengketa waris ada yang sudah terjadi sebelum pembagian warisan dilakukan. Misalnya seorang anak saat orang tuanya masih hidup meminjam sertifikat tanah milik orang tuanya sebagai jaminan bank untuk mendapatkan pinjaman. Namun setelah orang tua meninggal ternyata sertifikat tanah baru diketahui oleh ahli waris lain masih menjadi jaminan bank dengan kredit macet sehingga bank akan melakukan penjualan obyek agunan melalui lelang.

Tidak sedikit sesama saudara kandung bertengkar gara-gara warisan, mereka menjadi bermusuhan, saling menghujat, saling menjelek-jelekkan, sampai-sampai menyelesaikan sengketa warisan sampai ke pengadilan. Bahkan akibat permasalahan waris ada yang berusaha untuk membunuh. Na’udzubillah min dzalik.

Penyebab Sengketa Warisan 
Munculnya sengketa misalnya diawali adanya seorang ahli waris orang yang merasa diperlakukan tidak adil. Dirinya merasa bagian harta waris untuk dirinya lebih kecil dibandingkan dengan yang lain. Ada pula  ahli waris yang merasa sok kuasa, merasa paling kaya, dengan jabatan tinggi sehingga sombong dan berusaha menguasai warisan lebih besar. Namun adalah juga yang merasa berjasa dalam merawat orang tua sehingga berhak atas bagian warisan yang lebih besar. Situasi dan kondisi itu mengakibatnya, ahli waris yang lain merasa kecewa.

Pemicu sengketa warisan dalam praktek ada yang muncul akibat kehadiran pihak lain yaitu suami atau isteri dari ahli waris (ipar). Saat mereka semua saudar kandung belum melangsungkan perkawinan biasanya baik-baik saja dan akur, namun kehadiran ipar membuat suasana menjadi gaduh. Mereka menjadi kompor pasangannya untuk mendapatkan bagian yang lebih besar. Lebih jelek lagi terkadang mereka mengadu-domba antara sesama ahli waris.

Baca Juga: Strategi Pemasaran Properti di Tengah Pandemi Virus Corona

Sengketa warisan dapat terjadi sebelum pembagian harta warisan. Pewaris misalnya sudah meninggal namun warisan belum dibagi kepada semua ahli waris. Misalnya, rumah peninggalan waris masih ditempati oleh salah seorang ahli waris karena belum memiliki rumah sendiri. Setelah beberapa tahun kemudian ahli waris yang menempati rumah meninggal sehingga rumah peninggalan waris semula ditempati oleh isteri dan anak-anaknya. Ketika para ahli waris yang lain berniat membagi harta warisan, isteri dan anak-anak dari ahli waris yang meninggal merasa memiliki serta tidak bersedia untuk mengosongkan rumah tersebut.

Contoh lain misalnya, saat orang tua selaku pewaris masih hidup salah seorang anak meminjam sertfikat tanah milik orang tuanya. Sertifikat tanah ini dipinjam sementara untuk menjadi jaminan bank karena adanya kebutuhan dana. Dana pinjaman bank digunakan untuk mengurus anaknya agar bisa diterima bekerja di suatu instansi. Setelah orang tua meninggal maka ahli waris bermaksud membagi harta warisan, namun tidak bisa dilakukan karena sertifikat masih menjadi jaminan bank. Lebih parah lagi kreditnya sudah macet dan bank akan melelang jaminannya.  

Baca Juga: Dari Omnibus Law ke Omnibus “Happy” Law (2)

Setelah warisan di bagi ternyata masih menimbulkan sengketa. Pembagiannya dirasakan tidak adil, masih terdapat ahli waris belum menyetujui pembagian itu. Namun pembagiannya tetap dipaksakan pelaksanaannya. Bukti pembagian warisan belum disetujui oleh semua ahli waris dan terdapat kemungkinan adanya pemalsuan tanda tangan ahli waris. Penjualan boedel warisan oleh sebagian ahli waris adalah perbuatan melawan hukum yang dapat dtuntut bukan hanya melalui pembatalan di pengadilan agama tetapi juga tuntutan pidana dengan pasal-pasal pidana penggelapan dan pemalsuan.

Penutup
Sengketa warisan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari patut menjadi pembelajaran (iktibar) bagi setiap orang tua dan anggota keluarga. Setiap orang tua harus menyadari adanya potensi sengketa atas warisan yang ditinggalkan. Orang tua harus mengantisipasi agar jangan sampai pembagian warisan menjadi permasalahan yang akhirnya merusak hubungan silaturahim antara anak-anaknya sesama ahli waris. Orang tua perlu mengetahui langkah-langkah yang harus diperhatikan untuk mencegah sengketa akibat warisan.

Apakah langkah-langkah yang harus diperhatikan orang tua agar sengketa warisan yang dapat dicegah ? Dalam kesempatan berikutnya akan diuraikan lebih lanjut. Semoga bermanfaat.

Juneidi D. Kamil, SH, ME, CRA adalah Praktisi Hukum Properti dan Perbankan. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis. Untuk berkorespondensi, dapat disampaikan melalui email: kamiljuneidi@gmail.com.

Berita Terkait

Dari kiri ke kanan: Basuki Hadimuljono, Menteri PUPR; Agus Harimurti Yudhoyono, Menteri ATR/Kepala BPN; dan Airlangga Hartarto Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. (Foto: Dok. ATR/BPN)
Dari kiri ke kanan: Basuki Hadimuljono, Menteri PUPR; Agus Harimurti Yudhoyono, Menteri ATR/Kepala BPN; dan Airlangga Hartarto Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. (Foto: Dok. ATR/BPN)
Foto: Dok. Kementerian ATR/BPN
Foto: Dok. Kementerian ATR/BPN
Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) resmi menggantikan Hadi Tjahjanto sebagai Menteri ATR/Kepala BPN. (Foto: Dok. ATR/BPN)
Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) resmi menggantikan Hadi Tjahjanto sebagai Menteri ATR/Kepala BPN. (Foto: Dok. ATR/BPN)