Dari Omnibus Law ke Omnibus "Happy” Law (2)

Mengapa cluster PUPR hanya 4 UU yang di-Omnibus Law-kan? Bagaimana UU Pemda diserasikan juncto di-Omnibus Law-kan dengan UU PKP dan UU Rusun?

Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)

Oleh: Muhammad Joni

RealEstat.id (Jakarta) - Dari materi muatan RUU Cipta Kerja perlu dijamin agar tidak  melulu mengabdi  Ease of Doing Business (EoDB). Bukankah ingredient  konstitusi  menjadi pisau analisa sekaligus  rujukan utama RUU Cipta Kerja. Untuk melindungi constituent power, yang prosesnya prioritas dan bermetode Omnibus Law.  

Opini ini menawarkan  pisau analisis  "trias politica baru":  negara (state), pasar (market) dan rakyat/ masyarakat (peoples/ civil society). Untuk  memeriksa  kemana arah  bandul kuasa negara (state) hendak bergerak? Lebih condong kepada  kemudahan berusaha alias market driven? Atau peoples rights?  Bagaimana harmoni RUU Cipta Kerja  menyeimbangkannya. 

Baca Juga: Dari Omnibus Law ke Omnibus “Happy” Law (1)

Opini ini menggunakan  analisis hukum kritis yang berupaya meredakan syak wasangka pada perubahan. Yang berupaya memeriksa  pasal-pasal RUU Cipta Kerja utamanya paragraf  perumahan rakyat. 

Dalam hal  misalnya perlindungan konsumen perumahan/properti.  Dalam hal perluasan  tugas dan wewenang, serta kewajiban pemerintah/pemerintah daerah (Pemda) ikhwal  perumahan rakyat sebagai dirijen segenap pelaku kepentingan. Mengokohkan Government’s Lead.  

Sampailah opini ini pada klarifikasi kritis ingredient RUU Cipta Kerja paragraf 9 bertitel Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Yang (mengapa) mencakup hanya 4 (empat) UU saja?: UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP),  UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun), dan UU No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumberdaya Air yang masih “wangi” dan “kinclong”? 

Baca Juga: The HUD Institute Berikan Sejumlah Masukan Terkait Omnibus Law Cipta Kerja

Mengapa cluster PUPR hanya 4 UU yang di-Omnibus Law-kan? Tepatkah  sudah diagnosis paragraf  9  PUPR hanya pada 4 UU itu? Bagaimana UU Pemda diserasikan juncto di-Omnibus Law-kan dengan UU PKP dan UU Rusun? Mana  lepaskan dengan UU Bangunan Gedung?  

Soalan kritis lain, mengapa menghapuskan  pasal  perlindungan konsumen. Misalnya syarat keterbangunan 20% melakukan perjanjian pendahuluan Pasal 42 ayat 2 huruf e UU PKP. Maupun syarat perjanjian pendahuluan versi Pasal 43 ayat (2) huruf d UU Rusun? 

Mengapa pasal 54 UU PKP ikhwal kewajiban pemerintah dan pemda memberikan bantuan dan kemudahan, tidak hendak diperluas?  Mengapa  tidak menyinkronkan UU PKP dan UU Rusun dengan UU Pemda—yang masih menegasikan Pemda dari urusan konkuren pembangunan perumahan  masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)?  

Baca Juga: Strategi Pemasaran Properti di Tengah Pandemi Virus Corona

Mengapa menghapus pasal 30 UU Rusun? Pasal yang  mewajibkan pengesahan pemda   tentang  pertelaan yang menunjukkan batas jelas setiap satuan rusun, bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama? Mengapa tidak menjawab putusan MK yang membatalkan ketentuan Pasal  22 ayat (3) UU PKP yang mengatur luas lantai rumah tunggal dan rumah deret?  

Mengapa menghapuskan  persyaratan teknis, administratif, tata ruang, dan ekologis dalam perencanaan dan perancangan rumah yang eksplisit dalam pasal 26 UU PKP? Mengapa menghapuskan persyaratan Prasarana, Sarana dan Utilitas umum (PSU) dalam Pasal 29 UU PKP? Yang diganti dan  berarti norma itu di-downgrade hanya Standar (dari NSPK: Norma, Standar, Pedoman, Kriteria) yang belum didefenisikan normanya? 

Baca Juga: 5 Langkah Restrukturisasi Kredit Properti Akibat COVID-19

Pun, dari perubahan pasal 26 dan pasal 29 itu justru memberi ciri Omnibus Law sebagai RUU. Yang menurunkan derajat materi muatan UU PKP menjadi  norma PP saja.  Juga, adanya ciri dan tendensi sentralisasi wewenang pemerintah pusat  yang semula Perda dan Peraturan Menteri (Permen) menjadi PP. Semula overload Permen yang hanya beleid-regel (aturan kebijakan). Menjadi overload  PP—yang urusan, tugas dan wewenangnya belum tentu melekat pada Kementerian. 

Akankah ciri dan tendensi ini bermuara pada pembentukan RUU Kepresidenan? Tidakkah kondisi ini akan menyisihkan urusan konkuren Pemerintah pusat cq. Kementerian/Lembaga dalam UU Pemda? Pun postulat saya,  Standar (NSPK) itu mensyaratkan  clean and good governance. Juga, kompetensi profesi dalam derjat yang tinggi.

Tabik. 

(Bersambung)

Muhammad Joni adalah praktisi hukum properti, Managing Director Smart Property Consulting (SPC), Sekretaris Umum The HUD Institute, dan Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI). Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis.

Berita Terkait

SKYE Suites Hotel Green Square, Sydney (Foto: Dok. Crown Group)
SKYE Suites Hotel Green Square, Sydney (Foto: Dok. Crown Group)
Agus Harimurti Yudhoyono, Menteri ATR/Kepala BPN (Foto: Dok. ATR/BPN)
Agus Harimurti Yudhoyono, Menteri ATR/Kepala BPN (Foto: Dok. ATR/BPN)
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) dan Satu Kahkonen, Country Director World Bank Indonesia dan Timor Leste, saat pertemuan di Jakarta, Rabu, 20 Maret 2024. (Foto: Dok. ATR/BPN)
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) dan Satu Kahkonen, Country Director World Bank Indonesia dan Timor Leste, saat pertemuan di Jakarta, Rabu, 20 Maret 2024. (Foto: Dok. ATR/BPN)