Seni dan Filosofi Arsitektur Rumah Panggung Tradisional Sulawesi

Asitektur rumah panggung di Sulawesi mengusung seni bangunan yang mengagumkan dan memiliki filosofi tinggi, sehingga perlu dilestarikan dan dipromosikan.

Rumah tradisional Toraja (Foto: Freepik.com)
Rumah tradisional Toraja (Foto: Freepik.com)

RealEstat.id (Jakarta) - Arsitektur rumah panggung Sulawesi memiliki nilai budaya tinggi dan keunikan tersendiri yang menarik untuk dikupas. Di samping itu, arsitektur rumah tradisional Sulawesi tampil dalam balutan seni bangunan dan filosofi adat yang mengagumkan.

Rumah Panggung dari kayu sebagai ciri khas bangunan Sulawesi ini menarik perhatian Majalah Asrinesia dan Kenari Djaja yang menggandeng Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Sulawesi Selatan untuk menyelenggarakan seminar arsitektur bertajuk "Rumah Panggung Sulawesi", Kamis (17/3/2022).

Dipandu oleh Heru Wicaksono, Founder Majalah Asrinesia, seminar virtual ini dibuka Direktur PT Kenari Djaja Prima, Hendry Sjarifudin dan diikuti 1.000 peserta dari seluruh Indonesia.

"Seminar virtual Rumah Panggung Sulawesi membuktikan bahwa rumah tradisional ini sangat potensial, banyak dikagumi bentuk dan konstruksinya yang menginspirasi pada desain bangunan baru," kata Hendry Sjarifudin saat memberi kata sambutan.

Baca Juga: Arsitektur Rumah Jawa: Transformasi Bentuk dan Ruang dalam Desain yang 'Timeless'

Sementara itu, Ketua IAI Sulawesi Selatan, Fahmyddin mengatakan: "IAI sebagai institusi arsitek profesional berharap agar rumah panggung tradisional Sulawesi ini dapat dilestarikan sebagai bukti sejarah, bahwa orang Sulawesi sudah lama mengenal budaya berarsitektur."

Co Founder & President Director PT Kenari Djaja, Hendra B Sjarifudin berharap, seminar ini dapat menghargai karya adiluhung nenek moyang bangsa dan bisa jadi panutan para arsitek penerus dan salah satunya dikembangkan sbg potensi Pariwisata Daerah.

"Rumah Toraja merupakan bagian dari banyak Asitektur Rumah Panggung di Sulawesi dan perlu dilestarikan dan dipromosikan. Dengan banyaknya destinasi wisata arsitektur ini pasti akan lebih menghidupkan kegiatan UMKM sekitarnya dan di daerah lainnya di Indonesia," tutur Hendra.

Keunikan Arsitektur Rumah Tradisional Sulawesi
Pada kesempatan kali ini, Sudjar Adityadjaja, seorang Arsitek Pelestari, menuturkan rangkaian sejarah arsitektur dan beberapa tipe rumah panggung tradisional Sulawesi yang telah menjadi daya tarik wisatawan dan penggemar arsitektur rumah kayu.

Menurutnya, arsitektur rumah panggung tradisional Sulawesi dipengaruhi oleh empat faktor, yakni:
♣ Filosofi, yang terkait dengan alam atas, alam tengah dan alam bawah.
♣ Geografis yang terkait kontur dan lahan.
♣ Kebutuhan, baik sosial, ekonomi, maupun ternak.
♣ Peperangan antar sub suku.  

"Di Sulawesi Selatan, Sudjar menitikberatkan pada rumah tradisional Sa’dan Toraja yang tersebar di beberapa kawasan: Tana Toraja dan Toraja Utara, Toraja Mamasa, dan Toraja Enrekang," terang Sudjar Adityadjaja.

Baca Juga: Arsitektur Masjid: Filosofi, Desain, dan Kemegahan Zaman

Rumah Tradisional Toraja dapat disebut sebagai Tongkonan bila memiliki fungsi hukum adat, pemerintahan adat, dan sistem sosial kekeluargaan. Tongkonan juga selalu dibangun berpasangan dengan alang (lumbung padi). Sebuah tongkonan dikatakan paripurna bila berada dekat dengan hutan, kebun, dan sawah adat, memiliki kuburan adat, menjadi tempat upacara adat, dan menjadi benteng pertahanan.

Sementara itu, rumah tradisional Toraja di Mamasa, Sulawesi Barat, disebut Banua. Umumnya, Banua memiliki atap tidak simetris, di mana bagian depan dibuat memanjang dengan ditopang beberapa tiang kayu.

Ada beberapa jenis Banua, seperti Banua Sura atau rumah yang diukir. Banua ini dimiliki oleh bangsawan tinggi (tana bulawan) yang sekaligus memegang adat dalam suatu kampung. Selain itu ada pula Banua Bolong (rumah hitam) yang diperuntukkan bagi kesatria dan bangsawan. Ada pula Banua Rapa’ yaitu rumah dengan warna kayu alami untuk rakyat biasa.

Baca Juga: Arsitektur Tradisional Bali: Antara Seni, Filosofi, dan Modernisasi

Beralih ke rumah suku Bugis Makassar, strata sosial terlihat dari jumlah susun atap. Suku Bugis menyebutnya sebagai Timpa Laja’, sementara Makassar menyebutnya Timba’ Sela.

Atap rumah lima susun milik raja yang berkuasa, atap empat susun untuk raja yang merangkap panglima perang, atap tiga susun untuk raja yang tidak memegang kekuasan, atap dua susun untuk keturunan raja, sedangkan atap satu susun untuk rakyat biasa.

Keunikan lain, ukuran rumah Bugis Makassar dibuat secara antropometris alias ukuran tubuh sang pemilik: suami dan istri. Misalnya, tinggi kolong rumah panggung sama dengan tinggi suami (berdiri) ditambah tinggi suami (duduk) hingga garis mata.

seminar online rumah panggung sulawesi kenari djaja asrinesia realestat.id dok
Foto: istimewa

Mengupas Arsitektur Rumah Tradisional Sulawesi Selatan
Sementara itu, Andika Ferial, seorang peneliti Rumah Toraja yang juga pengajar jurusan Arsitektur Universitas Hasanuddin, menuturkan keindahan arsitektur tropis bangunan Rumah Toraja yang melegenda.

Dalam pemaparan bertema “Arsitektur Tradisional Sulsel: Meniti Tradisi dalam Perubahan”, Andika Ferial menggarisbawahi bahwa arsitektur rumah tradisional di Sulawesi Selatan terbagi dua berdasarkan suku, yakni Bugis Makassar dan Toraja.

"Kampung tradisonal Bugis Makassar biasanya terdiri dari 10 - 200 rumah yang berderet menghadap selatan atau barat, dan atau membelakangi sungai," paparnya.

Andika menerangkan, pola perkampungan Bugis Makassar bisa mengelompok padat atau menyebar. Pola mengelompok banyak terdapat di dataran rendah seperti persawahan, tepi laut, dan danau. Sedangkan pola menyebar terdapat di pegunungan atau perkebunan. 

Baca Juga: Adaptasi Arsitektur Hijau Pada Bangunan dan Lingkungan Perkotaan

Ornamen bubungan rumah Bugis Makassar biasanya berupa figur ayam jantan yang bermakna keberanian atau kepala kerbau yang melambangkan kekayaan dan status sosial. atau naga yang melambangkan kekuatan dahsyat. sedangkan jumlah sirip/timpalaja pada sisi depan atap menunjukkan tingkatan pelindung masyarakat.

Secara vertikal, rumah Bugis Makassar terbagi tiga:
♣ Awaso atau kolong rumah yang dipakai menyimpan peralatan dan ternak.
♣ Alo bola atau ruang di mana penghuni tinggal. Bagian ini dibagi menjadi ruang tamu, ruang tidur, dan ruang makan.
♣ Rakeang/Pammakkang atau ruang di atap rumah yang dipakai untuk menyimpan padi dan persediaan pangan serta benda-benda pusaka.

Baca Juga: Kampung Pecinan: Keindahan yang Tergerus Roda Ekonomi

Sementara itu, di Toraja, rumah disebut sebagai Banua, sementara Tongkonan lebih merujuk pada pusat sosial dan keagamaan sebuah kelompok keluarga. Tongkonan berasal dari kata "tongkon" yang berarti duduk atau diduduki. Jadi, Tongkonan dianggap sebagai tempat duduk para leluhur yang menemukan bangunan rumah.

"Rumah Toraja berpengaruh besar pada kehidupan masarakatnya, sehingga masyarakat Toraja dikategorikan sebagai masyarakat rumah. Claude Levi-Strauss, Bapak Pelopor Paham Strukturalisme menyebur bahwa masyarakat rumah merujuk pada besarnya perhatian yang ditujukan pada pengolahan fasade rumah," terangnya.

Rumah Tongkonan menurut masyarakat Toraja merupakan representasi dari alam semesta (kosmos) dalam bentuk yang kecil, yang terbagi tiga: dunia atas (langi/suangan), dunia tengah (lino/padang), dan dunia bawah (kerajaan dewa Tatokengko/dewa berekor).

"Saat ini, bentuk-bentuk arsitektur rumah tradisional di Sulawesi Selatan ini telah diadopsi menjadi bangunan modern, sebut saja Kantor Gubernur, bahkan hotel," katanya.

Punahnya Arsitektur Tradisional
Di segmen terakhir, Yori Antar, seorang arsitek yang telah menelusuri dan mendalami peninggalan budaya tradisional justru menyoroti kepunahan arsitektur tradisional nusantara.  

Ada beberapa alasan mengapa arsitektur tradisional punah. Pertama, karena dianggap peninggalan masa lalu, dianggap arsitektur peninggalan zaman kebodohan dan kegelapan, dianggap bangunan semi permanen, serta dianggap bangunan yang tidak sehat dan tidak layak huni. Padahal, arsitektur tradisional ini telah hidup ribuan tahun dan menjawab kebutuhan papan masyarakat.

"Jadi, mindset kita yang harus diubah. Tradisi dan budaya itu bukan masa lalu, tetapi masa depan kita," tukas Yori Antar.

Baca Juga: Catat: Arsitektur dan Desain Tradisional Indonesia Berkelas Dunia!

Pada kesempatan tersebut Yori juga menyoroti perbedaan pendidikan arsitektur modern dengan arsitektur tradisional Indonesia. Menurutnya, arsitektur modern datang dari budaya tulisan, sedangkan arsitektur tradisional dari budaya lisan, bisa berupa obrolan, lagu, puisi, atau pantun.

Kedua, arsitektur modern menggunakan material industri, sementara arsitektur tradisional memakai material alam. Ketiga, konstruksi arsitektur modern masuk ke tanah, sedangkan arsitektur tradisional di atas tanah.

Keempat, bangunan modern dibangun oleh kontraktor berdasarkan rancangan arsitek dengan sistem top down, sedangkan bangunan tradisional dibangun secara gotong royong dengan sistem bottom up.

"Terakhir, arsitektur modern berasal dari negara empat musim yang berorientasi ke dalam, di mana sebuah rumah dipenuhi dengan program. Sedangkan, arsitektur tradisional berorientasi keluar yang menghasilkan masyarakat outdoor yang bergotong royong," pungkasnya.

Redaksi@realestat.id