Kampung Pecinan: Keindahan yang Tergerus Roda Ekonomi

Masa depan Kampung Pecinan menjadi pertanyaan, karena tidak lagi menjadi pusat ekonomi dan bangunan-bangunan khas di lokasi tersebut pun terancam.

Arsitektur dan ragam hias di Kampung Pecinan.
Arsitektur dan ragam hias di Kampung Pecinan.

RealEstat.id (Jakarta) - Kampung pecinan di Indonesia kerap menjadi atraksi turis yang memukau. Bentuk arsitektur serta ragam hias yang unik, khas, dan mencolok, membuat kampung pecinan menjadi obyek fotografi yang menarik—dan Instagrammable.

Memang Kampung Pecinan terasa sangat khusus di antara kampung lainnya yang ada di kota-kota di Indonesia, maupun di banyak negara. Pasalnya, kawasan permukiman etnis Tionghoa ini sejatinya merupakan kawasan pusat perdagangan yang sibuk dengan kegiatan ekonomi yang menjadi generator kawasan di sekitarnya.

Kegiatan perdagangan menjadi ciri utama berbaur dengan tradisi budaya Tionghoa yang khas, bila dilihat kenyataan dari arsitektur hunian, pertokoan, dan bangunan ibadah yang berwarna cerah-semarak. Sementara itu, keindahan kriya kerajinan ukir, kain cita, fashion sampai kulinernya juga memiliki daya tarik tersendiri.

Baca Juga: Pandemi Membuat Hunian di Perkotaan Lebih Humanis

Kendati demikian, masa depan Kampung Pecinan menjadi tanda tanya besar, lantaran kawasan tersebut tidak lagi menjadi pusat ekonomi. Di sisi lain, keberadaan bangunan-bangunan khas di lokasi tersebut juga terancam.

Harapan untuk tetap memiliki Kampung Pecinan yang lebih teratur, bersih, dan tetap menjaga tradisi seni budaya khas Tionghoa, dibahas dalam seminar nasional arsitektur dan budaya yang diselenggarakan Pusat Studi Permukiman Kampung Kota (PSPKK) Universitas Trisakti, dan Jurusan Arsitektur Universitas Trisakti, yang bekerja sama dengan Kenari Djaja, perusahaan penyedia kunci dan kelengkapan pintu.

Melalui seminar bertajuk "Kampung Pecinan: Kenyataan dan Angan-angan" ini diharapkan bisa memberikan arah kemana perkembangan kawasan komunitas Tionghoa ini nantinya, karena banyak potensi yang dapat digali dan dimanfaatkan sebagai elemen sejarah dalam merajut komunitas pemukiman dan perdagangan pecinan modern yang tetap menarik wisatawan. 

Baca Juga: Arsitektur dan Desain di Era 4.0, Peluang atau Tantangan?

Seminar yang diikuti oleh 524 peserta ini turut dihadiri oleh Direktur Utama dan Founder PT Kenari Djaja Prima, Hendra B. Sjarifudin serta Johny Fajar Sofyan Subrata, Direktur Rumah Khusus Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) sebagai Keynote Speaker. Dalam pemaparannya, Johny Subrata menerangkan, Kampung Pecinan merupakan fenomena di kota-kota di dunia—tentu dengan skala yang berbeda.

Di Indonesia, Kawasan Pecinan terpengaruh kebijakan penguasa, terutama pemerintah kolonial Belanda. Pasca-terjadinya pemberontakan etnis Tionghoa di beberapa wilayah, pemerintah Belanda membentuk zona-zona permukiman berbasis etnis. Hal ini membuat Kawasan Pecinan sangat eksklusif, sehingga keguyuban dan nilai keetnisan sangat terjaga.

"Pada perkembangannya, Kampung Pecinan menjadi pusat perdagangan kota atau inner city. Namun, dengan berkembangnya pusat ekonomi di lokasi lain dalam kota menjadikan fungsi Kawasan pecinan terdegradasi, demikian pula dari sisi arsitektur bangunannya," jelas Johny FS Subrata.

Kampung Pecinan di Lasem, Semarang, dan Yogyakarta
Jalannya seminar yang dipandu oleh Dermawati DS, Ketua Pusat Studi Permukiman Kampung Kota/PSPKK Universitas Trisakti tersebut memunculkan sejumlah pemikiran tentang potensi kampung pecinan, terutama di Jawa Tengah.

LMF Purwanto, Peneliti Kampung Pecinan dari Universitas Soegijapranata, Semarang, yang menjadi narasumber menjelaskan Kampung Pecinan di Lasem dan Semarang yang mengalami perkembangan berbeda.

Menurutnya, Kampung Pecinan di Lasem—dari kata Lao Sam yang berarti Tiongkok Kecil—berkembang dengan lebih natural dan akulturasi dengan budaya lokal Jawa terjadi, baik di sisi arsitektur, pola tata ruang, dan detail bangunan, maupun bentuk seni lain, seperti Batik Lasem.

Baca Juga: Kiat Arsitek dan Dunia Arsitektur di Masa Pandemi

"Permukiman masyarakat Tionghoa di Lasem berada di dekat sungai. Selain untuk mempermudah transportasi, juga dinilai memiliki feng shui yang baik," katanya.

Berbeda dengan Lasem, Kampung Pecinan di Semarang merupakan akibat kebijakan segregasi—pemisahan kelompok sosial tertentu dalam ruang masyarakat—yang diambil pemerintah Kolonial Belanda, menyusul pemberontakan etnis Tionghoa di kota tersebut.

"Bisa kita lihat, permukiman penduduk etnis Tionghoa di Semarang cenderung lebih kecil dan menafikan konsep denah rumah seperti di Lasem, karena mereka dipaksa untuk pindah ke lokasi yang areanya terbatas," jelas LMF Purwanto.

Kini, imbuhnya, bangunan di pecinan Lasem dan Semarang mulai terlihat hancur. Hal ini disebabkan beberapa faktor, yakni sentimen etnis, penetapan sebagai cagar budaya yang terlambat, penghilangan ornamen/identitas Tionghoa, dan pertimbangan ekonomi dalam perawatan bangunan.

Baca Juga: Catat: Arsitektur dan Desain Tradisional Indonesia Berkelas Dunia!

Sementara itu, FX Eddy Arinto, Peneliti Perumahan dan Permukiman Universitas Atmajaya Yogyakarta memaparkan Kampung Pecinan di Yogyakarta juga merupakan hasil segregasi (wijkstelsel) yang dilakukan Pemerintah Belanda. Ada 10 kawasan (onderwijk) yang terdapat di Yogyakarta, yakni Ketandan, Lor Pasar, Klingan, Menduran, Gandekan, Malioboro, Tugu, Kranggan, Ngabean, dan Gondomanan.

"Uniknya, kesepuluh Kampung Pecinan ini berada di garis imajiner yang membelah Yogyakarta dari Utara (Gunung Merapi) ke Selatan (Laut Selatan) yang melewati kawasan Tugu, Malioboro, dan Kraton," katanya.

Seperti yang terjadi di Lasem dan Semarang, Kampung Pecinan di Yogyakarta juga menghadapi permasalahan, di antaranya lantaran tekanan ekonomi.

Baca Juga: Mengupas Konsep Desain Arsitektur Bambu dalam Bangunan Modern

"Harga tanah (land value) di sumbu imajiner Yogyakarta semakin tinggi, sehingga perebutan area untuk fungsi komersial semakin meningkat pula," jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, Punto Wijayanto, Peneliti Kawasan Kota Pusaka dari Universitas Trisakti lebih menyoroti Kampung Pecinan sebagai cagar budaya. Pasalnya, Kementerian PUPR juga telah menetapkan kota pusaka, yakni kota yang di dalamnya terdapat kawasan cagar budaya dan atau bangunan cagar budaya yang memiliki nilai-nilai penting bagi kota, menempatkan penerapan kegiatan penataan dan pelestarian pusaka sebagai strategi utama pengembangan kotanya.

"Alangkah baiknya kita melestarikan Kampung Pecinan, sehingga kita dapat menikmati manfaatnya bagi kawasan perkotaan tersebut," kata Punto Wijayanto.

Banyak Ide Kreatif dan Inovatif
Direktur Kenari Djaja, Hendry Sjarifudin berharap, seminar ini banyak menjaring ide kreatif dan inovatif dalam menjaga kelestarian peninggalan bersejarah di kawasan perkotaan melalui pemikiran akademik dan teknologi industri modern.  

“Sebagai penyelenggara, menikmati sekali pemikiran para arsitek untuk mengembangkan kampung pecinan menjadi kawasan yang lebih baik dan modern tanpa menghilangkan ciri khasnya sebagai kawasan perdagangan yang dibanggakan masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia,” jelas Hendry.

Baca Juga: Ternyata Shio Berpengaruh pada Pengaturan Feng Shui Rumah

Sementara itu  Ketua Jurusan Arsitektur Universitas Trisakti, Etty R. Kridarso, menyambut baik kolaborasi para arsitek dari beberapa universitas yang masing-masing memiliki keahlian tentang kawasan Pecinan diperkotaan ini.

“Kita bisa mendapatkan banyak ide yang inovatif untuk membangun salah tujuan pariwisata urban yang unik dan tetap popular ini,” pungkasnya

>

Redaksi@realestat.id