RealEstat.id (Jakarta) - Arsitektur rumah Pasundan atau rumah tradisional masyarakat Jawa Barat, mewakili karakter masyarakat Sunda yang agraris. Dengan bahan baku yang terbuat dari material alami seperti bambu, kayu, dan batu, rumah Pasundan menampilkan arsitektur tropis yang ramah lingkungan.
Rumah Pasundan yang berciri saung bambu ini, belum banyak diungkap asal-usul serta keistiwewaannya. Untuk mengupas seluk-beluk rumah Pasundan yang merupakan salah satu ikon arsitektur Nusantara, Kenari Djaja bekerja sama dengan Majalah Asrinesia, kembali menggelar webinar arsitektur bertajuk berjudul "Balada Rumah Pasundan", Kamis (14/4/2022).
Dalam acara yang diikuti 700-an peserta ini, tiga pakar arsitektur tradisional memaparkan pengetahuan dan pengalamannya terkait Rumah Pasundan, yakni Purnama Salura, Guru Besar Arsitektur Unika Parahyangan; pengamat Budaya Sunda Rd. Roza Rahmadjasa Mintaredja; dan arsitek Pon S. Purajatnika.
Baca Juga: Seni dan Filosofi Arsitektur Rumah Panggung Tradisional Sulawesi
Pada seminar yang dipandu Moderator Yenny Gunawan ini, masing-masing pakar memaparkan pengalaman mereka tentang latar belakang, konsep, filosofi, arsitektur, dan potensi Rumah Pasundan yang menjadi kebanggan masyarakat Jawa Barat.
Direktur PT Kenari Djaja Prima, Hendry Sjarifudin mengatakan, bangunan khas Jawa Barat yang akrab dengan kehidupan masyarakat Pasundan sangat menarik dibahas dalam sebuah seminar. Pasalnya, banyak orang yang merasa kehilangan dan merasa rindu dengan arsitektur yang akrab dengan lingkungan alam ini.
"Tema Rumah Pasundan ini dibahas oleh para ahli yang kompeten. Kami juga berharap, para narasumber dapat mendukung upaya agar arsitektur rumah Pasundan dapat dilestarikan dan menjadi potensi wilayah yang bisa dibanggakan," tutur Hendry Sjarifudin dalam kata sambutannya.
Baca Juga: Arsitektur Rumah Jawa: Transformasi Bentuk dan Ruang dalam Desain yang 'Timeless'
Pada kesempatan kali ini, Purnama Salura, Guru Besar Arsitektur Unika Parahyangan memaparkan latar belakang sejarah dan budaya kehidupan masyarakat Sunda yang mempengaruhi bentuk bangunan bergaya tropis. Dari tata kehidupan masyarakat ini lahir banyak tipologi ‘Saung Sunda’ sesuai fungsinya masing-masing.
Pada pemaparannya, Purnama Salura juga menyinggung arsitektur rumah Pasundan di Kampung Papandak, Garut, yang telah punah. Lantaran menggunakan bahan alam, rumah-rumah di Kampung Papandak pernah terbakar pada masa penjajahan Belanda, yakni di sekitar tahun 1926 dan 1929.
"Kekurangan masyarakat kita pada masa itu adalah tidak pernah mencatat bentuk atau arsitektur rumah. Catatan tersebut justru ada di museum di Negeri Belanda, sehingga kita susah untuk mengaksesnya," jelas Purnama.
Baca Juga: Arsitektur Masjid: Filosofi, Desain, dan Kemegahan Zaman
Berbeda dengan catatan arsitektur Jawa yang terbilang lengkap, imbuhnya, catatan mengenai arsitektur rumah Pasundan terbilang nihil. Untuk itu, Purnama mesti memulai lewat catatan kuno yang diperoleh dari ahli antropologi dan filologi.
Dari naskah kuno tersebut diketahui, bahwa konsep tempat hidup masyarakat Sunda (Buana Panca Tengah). Manusia yang hidup di Buana Panca Tengah harus menyadari bahwa ada batas dengan 'dunia' Yang Maha Kuasa (Buana Nyuncung) dan alam sekitarnya (Buana Larang).
"Jadi, konsep tempat tinggal masyarakat Sunda selalu dibarengi dengan konsep keseimbangan, sehingga tempat tinggal orang Sunda itu ditempatkan sekaligus menempatkan diri," papar Purnama Salura, menambahkan.
Baca Juga: Arsitektur Tradisional Bali: Antara Seni, Filosofi, dan Modernisasi
Keunikan arsitektur tradisional Jawa Barat ini tidak kalah menarik dari arsitektur bangunan Joglo di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang dicermati dan penelusuran pada arsitektur kekinian oleh Arsitek praktisi yang juga pengamat budaya Sunda Rd. Roza Rahmadjasa Mintaredja. Beberapa dari karya arsitekturnya ada juga yang memanfaatkan falsafah arsitektur Pasundan.
Di awal pemaparannya, Roza menggugat arsitektur rumah Pasundan yang diklaim sebagai khas Jawa Barat, karena menurutnya wilayah budaya tidak dibatasi dengan wilayah administrasi Pemerintah. Sebaliknya, buda dibatasi oleh alam, di mana budaya tersebut eksis berkehidupan.
"Di Pulau Jawa sendiri, tatar Pasundan terbagi dua: Jawa Wetan (Galuh) dan Jawa Kulon (Sunda). Kita juga mengenal kawasan Sunda Besar (Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi) dan Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara). Kita juga pernah mendengan Sunda Land, sebuah kawasan besar 60.000 tahun lalu yang sekarang menjadi Asia Tenggara," paparnya.
Baca Juga: Kampung Pecinan: Keindahan yang Tergerus Roda Ekonomi
Berada di wilayah Ring of Fire atau kawasan gunung berapi, masyarakat Sunda telah menerapkan arsitektur yang tahan gempa. Rumah-rumah tidak disatukan dalam sistem sendi, namun sistem engsel, sehingga mampu meredam guncangan akibat gempa.
Bentuk rumah Sunda Bihari dapat dibedakan dalam tiga kelompok besar, yakni: Galudra Mupuk, Julang Mapak, dan Saung Ranggon. Semua nama ini diambil dari nama burung, di mana bentuk atapnya dibuat menyerupai sayap burung.
Arsitektur merupakan musik yang dibekukan. Saung Ranggon mewakili Ketuk Tilu atau Jaipongan; Julang Ngapak mewakili Kacapi Suling; sementara Galudra Mupuk mewakili Degung.
"Dari sini kita bisa mengetahui setiap jenis rumah dihuni berdasarkan tingkatan jabatan penghuninya. Saung Ranggong untuk masyarakat umum, Julang Ngapak dihuni pejabat tertentu. Sementara Galudra Mupuk merupakan bangunan resmi yang dihuni pejabat pemerintahan," urai Roza.
Baca Juga: Arsitektur Minangkabau: Kearifan Lokal dan Keharmonisan dengan Alam
Sementara itu, Arsitek Pon S. Purajatnika, yang juga ahli dalam membuat bangunan khas Jawa Barat, mengakrabi tata ruang rumah tradisional Jawa Barat yang diterapkan pada bangunan rumah bambu bergaya arsitektur modern.
"Nenek moyang karuhun Sunda telah memiliki kearifan dalam penataan lingkungan (ekologi) yang dimunculkan dalam bentuk tabu.Sikap tabu untuk melakukan sesuatu, khususnya dalam pembuatan rumah, sangat dihormati masyarakatnya. walaupun kini situasi menuntu untuk berubah seiring perkembangan zaman," katanya.
Masyarakat Sunda pada masa lalu sangat memperhatikan kualitas tanah dalam pemilihan lahan untuk lokasi bangunan rumah, tempat hunian atau perkampungan baru. Pemilihan lahan selalu mempertimbangkan bagian letaknya, kemiringannya, bekas apa pada masa lalunya, warna dan aroma tanah, serta bentuk ilamiah lahan tersebut.
"Semua itu akan memberi pengaruh kepada para penghuninya," kata Pon lebih lanjut.
Baca Juga: Mengupas Inovasi Bahan Bangunan di Era Arsitektur Digital
Penjelasan tentang kualitas atau klasifikasi lahan tersebut, imbuhnya, diterangkan dalam naskah kuno Sanghyang Siksakandang Karesian. Paling sedikit ada 19 jenis tanah yang mempunyai pengaruh buruk dan dapat mendatangkan bahaya atau bencana pada penghuninya.
Lahan yang dianggap “sampah bumi” atau mala ning lemah adalah: Tanah sodong, sarongge, cadas gantung, mungkal pategang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nunggang, catang nonggeng, garunggungan, garenggengan, lemah sahar, dangdang wariyan, hunyur, lemah laki, pitunahan celeng, kolomberan, jariyan, dan sema. (Sutrisno Murtiyoso, 1989).
Sedangkan, lahan yang bersifat baik, mendatangkan kesejahteraan kepada penghuninya, dapat dipilih dari enam jenis:
❑ Galudra Ngupuk: lahan yang mendatangkan kekayaan.
❑ pancuran Emas: lahan miring ke selatan dan barat yang mendatangkan kekayaan dan banyak istri.
❑ Satria Lalaku: lahan miring ke selatan dan timur, di mana penghuni tidak akan kekurangan harta dan dihormati.
❑ Kancah Nangkub: lokasi di puncak perbukitan dan gundukan tanah, serta dikelilingi pegunungan, yang membuat penghuni sehat sejahtera.
❑ Gajah Palisungan: lahan datar di atas gundukan tanah miring ke arah timur dan barat yang membuat penghuni akan mendapat kekayaan.
❑ Bulan Purnama: desa yang berlokasi di lahan dengan aliran sungai dekat mata air.