Soroti 7 Isu Strategis, Ini Rekomendasi The HUD Institute Terkait Perkotaan dan Perumahan Rakyat

The HUD Institute mengkritisi banyaknya regulasi dan pembentukan lembaga baru untuk menangani masalah perumahan, tetapi akar masalahnya tidak pernah tuntas.

Foto: Dok. Kementerian PUPR
Foto: Dok. Kementerian PUPR

RealEstat.id (Tangerang Selatan) - Sebagai refleksi akhir tahun 2021, Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia (LPP3I) yang lebih dikenal dengan nama The HUD Institute kembali memberikan beberapa catatan penting untuk menyongsong 2022 yang penuh tantangan, di tengah tekanan pandemi Covid-19 yang belum kunjung rampung.

Wadah berhimpun dan rumah besar pemangku kepentingan Perumahan, Infrastruktur Dasar, Permukiman dan Perkotaan ini menilai, penyediaan hunian dan tantangan perkotaan di masa pandemi harus menjadi semangat inklusif dalam menghadapi tantangan yang bisa berbuah setiap saat dan membuka peluang bagi berbagai pihak untuk memberikan inovasi baru dalam setiap menghadapi kesulitan.

Ketua Majelis Tinggi The HUD Institute, Adrinof Chaniago menyebutkan, untuk membuat usia kota sebagai kota berkualitas lebih lama, maka perumahan perkotaan harus didominasi oleh hunian vertikal.

Baca Juga: 10 Rekomendasi The HUD Institute Terkait Pembiayaan Properti Syariah

Menurutnya, Pemerintah Pusat dan pemerintah kota-kota di Indonesia harus punya kebijakan tegas memperbanyak pembangunan apartemen sederhana dan rumah susun di perkotaan. Salah satu caranya, menggunakan lahan-lahan negara, aset Pemda, BUMN, BUMD, baik yang sudah ada bangunan tidak efisien maupun lahan kosong, untuk lahan pembangunan apartemen murah dan rumah susun.

“Oleh karena itu, The HUD Institute juga akan terus mendorong secepatnya lahir RUU Perkotaan dan RUU Properti yang harus tegas mengarahkan pembangunan perumahan perkotaan agar didominasi hunian vertikal,” terang Adrinof Chaniago.

Sementara itu, belajar dari pengalaman pelaksanaan pembangunan perumahan, khususnya bagi Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR), Oswar M. Mungkasa, Wakil Ketua Umum The HUD Institute melihat ada dua kata kunci yang terabaikan.

Baca Juga: Pasar Properti Syariah Tak Terpengaruh Pandemi, Apa Sebabnya?

Pertama, masyarakat sebagai subyek pembangunan perumahan. Kedua, pemenuhan hak asasi perumahan melalui kolaborasi antarpemangku kepentingan adalah suatu keniscayaan. Kolaborasi, imbuhnya, adalah kunci terwujudnya keberhasilan dan keadilan, bentuk kepedulian terhadap yang tidak mampu.

“Bahwa masyarakat sebagai subjek masih dimaknai secara simbolis saja. Demikian pula dengan wacana pembangunan perumahan kolaboratif, bukan monopoli salah satu pihak, baik pemerintah, swasta bahkan masyarakat, itu juga belum sepenuhnya terwujud," ujar Oswar M. Mungkasa.

Norma baru kehidupan dalam masyarakat pascapandemi, menurut Arnold M. Mamesah, Wakil Ketua Bidang Data, Informatika & Komunikasi The HUD Institute, menuntut kemampuan “hijrah” dari cara lama dan beradaptasi dengan berbagai norma dan nilai baru menuju masa depan yang lebih baik.

“Penyedian hunian dan tantangan perkotaan perlu memperhatikan aspek utama masyarakat madani yang mengarusutamakan kesertaraan (equality), keberagaman (diversity & inclusiveness), kepedulian (care & attention) yang selaras dengan kearifan lokal dan peradaban yang ada di Nusantara,” terang Arnold M. Mamesah.

Baca Juga: Inklusivitas, Kunci Sukses Properti dan Pembiayaan Syariah

Sementara, Yayat Supriatna, Wakil Ketua Bidang Urban Development The HUD Institute mengkritisi banyaknya regulasi dan pembentukan lembaga baru untuk penanganan masalah perumahan. Tetapi akar masalahnya tidak pernah tuntas.

“Semua terlalu fokus pada ego centris-nya masing-masing, bukan socio centris. Padahal, masalah perumahan dan permukiman lebih banyak pada aspek socio centris-nya. Jangan lagi penanganannya dilakukan dengan pendekatan ego centris,” harap Yayat Supriatna.

Oleh karena itu, paparnya, diperlukan dukungan penuh agar Kementerian PUPR, mampu menjembatani semua stakeholder perumahan. Dibutuhkan kekuatan regulasi dan aktor yang paham lapangan, lincah dan taktis untuk menyelesaikan masalah dan menjadikan perumahan adalah tanggung jawab bersama.

"Pemerintah perlu berani lakukan terobosan dan ambil resiko serta menetapkan target jangka panjang yang masif, misalnya Zero Backlog yang disusun secara terstruktur dan sistematis berbasis tahapan pencapaian," tambah Yayat.

Baca Juga: Tautkan Housing dengan Urban Development, Sokong UU Perkotaan

Sedangkan, Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum The HUD Institute menyoroti beberapa hal. Di antaranya terkait perlunya Peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang memahami perumahan dan pembangunan perkotaan di semua lini, terutama dalam hal penyusunan regulasi dan pelayanan publik.

"Pemanfaatan APBN lewat program-program padat karya. Demikian juga persoalan klasik soal peran swasta dalam hal perizinan, pembiayaan, pertanahan yang memerlukan kemudahan, akuntabilitas dan kepastian agar tercipta iklim usaha yang kondusif," tutur Zulfi Syarif Koto.

Tujuh Isu Strategis Perumahan
Mencermati berbagai dinamika tersebut, Muhammad Joni, Sekretaris Umum The HUD Institute, mencatat, sedikitnya ada tujuh isu strategis utama dan sekaligus rekomendasi dari The HUD Institute yang perlu dicermati para pemangku kepentingan ke depan.

1. National Affordable Housing selaras dengan Housing Grand Design (HGD) 2045 yang berbasis data dan informasi.
HGD 2045 mencakup (i) Penyediaan big data properti/ perumahan; (ii) Kebijakan penyediaan tanah nasional  (national land policy) untuk properti/ perumahan rakyat; (iii) Kepastian penataan ruang; (iv) Akuntabilitas dan aksesibilitas perizinan; (v) Inovasi pembiayaan dan inklusi keuangan; (vi) Edukasi, literasi dan akses perlindungan konsumen.

2. Reposisi Industri Properti/Perumahan pasca-putusan MKRI tentang UU Cipta Kerja.
Beberapa isu yang bisa diharmonisasi adalah (i) Re-Analisis substansi hukum mengenai kelembagaan Bank Tanah, Badan Percepatan Pembangunan Perumahan (BP3), efektifitas Hunian Berimbang, aturan yang pasti dan berkeadilan perihal tanah terlantar demi kepentingan perumahan rakyar, (ii) Pola partisipasi dan agregasi substansi hukum  perlindungan konsumen kedalam proses revisi UU Cipta Kerja; (iii) Mengisi substansi UU Cipta Kerja yang masih kosong (rechvacuum), terutama perihal perumahan rakyat; (iv) Yang perlu didukung satu tim kerja yang kolaboratif dengan pembuat UU dan multistakeholder; (v) Dengan media literasi, kampanye dan advokasi perumahan rakyat yang terjangkau, layak, berkeadilan.

Baca Juga: The HUD Institute Angkat Tagline “Rumah Sehat Produktif untuk Keluarga Sejahtera”

3. Memastikan efektivitas BP TAPERA dalam pembiayaan perumahan MBR bersubsidi pascaperalihan dari PPDPP.
Perlu pengawasan dan advokasi peran BP TAPERA—yang bukan lembaga bisnis, namun nirlaba—dalam pembiayaan perumahan MBR. Perlu garis kebijakan yang afirmatif dan special treatment yang membedakan pembangunan perumahan MBR dengan perumahan komersial, untuk perizinan dan pembiayaan perumahan MBR, termasuk dalam penyediaan tanah, agar tidak menjadi beban birokrasi, administrasi, dan beban biaya.

BP TAPERA juga perlu transparan dalam hal kebijakan perumahan, dan tata kelola yang baik serta membuka akses kepada sistem pembiayaan perumahan TAPERA yang terbuka, cepat dan mudah diakses, guna menjawab kebutuhan nasabah dan pelaku  pembangunan perumahan MBR.

4. Penyelenggaraan perumahan (subsidi/umum dan komersial) berbasis pembiayaan syariah:

  • Perlu menginisiasi dan respon kritis-substantif atas RUU Ekonomi Syariah—untuk pembiayaan properti/perumahan dan inklusi keuangan syariah.
  • Meluaskan porsi ekonomi syariah untuk properti/perumahan komersial dan perumahan MBR.
  • Memperkuat sistem rantai pasok penyediaan perumahan berbasis syariah.
  • Membuat panduan teknis penyediaan perumahan berbasis manajemen syariah.
  • Membuat payung hukum perlindungan konsumen perumahan berbasis pembiayaan syariah.
  • Memperkuat modal sosial/pelembagaan nilai pembiayaan syariah bagi komunitas.

Baca Juga: The HUD Institute Berikan Sejumlah Masukan Terkait Omnibus Law Cipta Kerja

5. Kawasan perkotaan dan permukiman yang madani dengan menghadirkan kelayakhidupan (liveability)
Di tengah perkembangan teknologi informasi, maka perlu terus mengembangkan (i) Digitalisasi Program Sejuta Rumah; (ii) Spesial treatment dalam mengatasi  hambatan rantai pasok perumahan MBR; (iii) Menggerakkan pembangunan Sejuta Rusun. (iv) Mendorong RUU Perkotaan dan RUU Properti serta adendum UU Pemda terkait urusan perumahan dan kawasan permukiman (v) Pendampingan penyusunan RKPD untuk utilitas dan fasilitas permukiman MBR.

6. Edukasi, literasi, perlindungan konsumen properti/perumahan. Dengan melakukan (i) Digitalisasi edukasi, literasi, dan mekanisme komplain konsumen. (ii) Aktivasi Badan Layanan Perlindungan Konsumen.  (iii) Program Edukasi Konsumen: Mediasi dan Mitigasi  PKPU/ Kepailitan. (iv) Penguatan kesadaran diskursif (inisiatif bertindak positif) bagi komunitas.

7. IKN yang tagging terintegrasi dengan dengan agenda kebijakan perumahan rakyat dan pembangunan perkotaan ke dalam kebijakan dan regulasi UU IKN.
Untuk memastikan alokasi dan penyediaan perumahan MBR di pemerintah provinsi khusus IKN (ibu kota negara). Juga, kebijakan merumahkan kembali bagi warga terkena relokasi/pemindahan lokasi permukiman, dan pengembangan perumahan berbasis layanan transportasi yang terintegrasi.

Redaksi@realestat.id

Berita Terkait

Johannes Weissenbaeck, Founder & CEO OXO Group Indonesia
Johannes Weissenbaeck, Founder & CEO OXO Group Indonesia
Praktisi Perkotaan dan Properti, Soelaeman Soemawinata (kanan) dan Pengamat Tata Kota, Yayat Supriatna dalam Diskusi Forwapera bertajuk "Tantangan Perkotaan dan Permukiman Menuju Indonesia Emas 2045" (Foto: realestat.id)
Praktisi Perkotaan dan Properti, Soelaeman Soemawinata (kanan) dan Pengamat Tata Kota, Yayat Supriatna dalam Diskusi Forwapera bertajuk "Tantangan Perkotaan dan Permukiman Menuju Indonesia Emas 2045" (Foto: realestat.id)