Sektor Perhotelan di Bali Belum Kembali Normal Seperti Jakarta dan Surabaya, Apa Sebabnya?

Di Jakarta dan Surabaya, volume bisnis perhotelan hampir sama dengan tahun 2019, di masa pra-pandemi, namun Bali masih tertinggal jauh.

Tanah Lot (Foto: realestat.id)
Tanah Lot (Foto: realestat.id)

RealEstat.id (Jakarta) – Sektor perhotelan (hospitality) masih berusaha mengatasi tantangan akibat lemahnya kinerja industri pariwisata dalam beberapa tahun terakhir. Secara umum, sektor perhotelan juga menghadapi penyesuaian ulang secara bisnis, menyusul imbas pandemi yang memengaruhi karyawan, pemilik, pemasok/vendor, dan konsumen. Demikian nukilan Market Insights yang dirilis Colliers Indonesia.

Satria Wei, Head of Hospitality Services Colliers Indonesia mengungkapkan, ketidakpastian dalam keberlangsungan bisnis telah dialami oleh seluruh pemangku kepentingan, mengingat bahwa bisnis perhotelan sangat rentan terhadap perubahan di lingkungan sekitarnya.

“Tujuan bagi sektor perhotelan yaitu untuk mengembalikan kinerja pada tingkat pra-pandemi dan hal tersebut berarti harus ada perubahan atau pergeseran. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, sektor ini membutuhkan kreativitas dan keandalan dari para pemimpin dan semua orang yang terlibat,” tutur Satria Wei.

Baca Juga: Penerbangan Dari Mancanegara Kembali Dibuka, Sinyal Positif Perhotelan di Bali?

Hasil riset Colliers Indonesia memperlihatkan, tingkat hunian hotel dapat mencapai tingkat pra-Covid 19 lebih cepat dari yang diproyeksikan. Di Jakarta, volume bisnis perhotelan hampir sama dengan tahun 2019. Sementara, sektor hotel di Surabaya mengalami situasi yang sama dengan Jakarta, terutama karena wisatawan domestik masih mendominasi pasar.

Di sisi lain, tingkat hunian hotel di Bali masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan situasi pra-Covid 19. Sebagian besar wisatawan yang pergi ke Bali lebih memilih akomodasi hotel berbintang yang lebih tinggi atau akomodasi vila mewah.

"Kami menilai, tingkat hunian di Jakarta dan Surabaya lebih tinggi karena terdapat kegiatan tambahan seperti pernikahan, MICE (Meetings, Incentives, Conferences, Exhibitions) dan acara offline lain. Namun, Bali lebih mengandalkan wisatawan rekreasi dengan lebih sedikit aktivitas MICE. Pertumbuhan tingkat hunian ditentukan menurut musimnya, namun, bila tingkat hunian Bali dilihat secara keseluruhan, peningkatannya masih sangat moderat," ungkap Satria Wei.

Baca Juga: Dibuka di 2022, Ini Deretan Hotel Mewah yang Paling Dinanti 'The Haves'

Colliers Indonesia juga mencatat dampak yang dialami stakeholder sektor perhotelan di Tanah Air. Pemilik hotel di tahun-tahun yang akan datang, harus memilih apa yang dapat menjadi investasi terbaik. Contoh investasi riil adalah investasi yang melibatkan perhitungan keuangan seperti ROI, IRR (Internal Rate of Return), Cap Rates, dan yang tidak mengedepankan target non-finansial.

Bagi para pekerja profesional hotel, salah satu dampak terbesar yang dialami adalah jumlah personel yang tersedia. Saat ini, kepercayaan calon personel di sektor pariwisata terlihat sebagai sektor yang sangat sensitif/rapuh jika terjadi krisis. Kurangnya personel juga akan berdampak pada siklus operasional, karena akan berdampak pada kualitas layanan dan, dengan itu, berdampak pula pada jumlah penjualan dan pendapatan yang dihasilkan.

Pada pemasok/vendor, terjadi penurunan tidak langsung pada kualitas produk atau jasa yang ditawarkan atau disediakan kepada pelaku industri, sebagai akibat dari penurunan daya beli dan biaya produksi yang tinggi,

Sementara pada konsumen, pandemi telah menciptakan kebiasaan baru yang berorientasi pada kesehatan dan keamanan. Berlakunya protokol baru yang harus diterapkan oleh industri akan berdampak pada biaya dan kenaikan biaya tersebut berarti harga yang lebih tinggi yang harus dibayar oleh konsumen.

Baca Juga: Marriott Bangun Proyek Hunian-Bermerek-Hotel Terbesar di Dunia

Pada akhirnya, Colliers Indonesia menyimpulkan bahwa saat ini aset yang paling berharga bagi pelaku industri adalah sumber daya manusia. Sekitar 22% - 26% dari biaya operasional akan dialihkan untuk tenaga kerja. Tetapi tanpa menghabiskan jumlah seperti itu, akan ada efek domino pada kualitas produk yang ditawarkan, yang akan mempengaruhi kepuasan pelanggan dan, pada akhirnya berpengaruh terhadap angka pendapatan.

Investasi dalam pemilihan personel juga merupakan bagian penting mengingat kesalahan akan mengakibatkan biaya yang lebih tinggi dan kemungkinan hilangnya potensi pendapatan. Beberapa strategi perlu ada untuk memikat personel kembali ke industri.

"Oleh karena itu, pemilik/investor memiliki rencana untuk melakukan investasi pada sektor perhotelan tidak lagi hanya berfokus pada konsep, lokasi, dan tipe properti, melainkan juga mengedepankan investasi pada sumber daya manusia," tutup Satria.

Redaksi@realestat.id

Berita Terkait

Johannes Weissenbaeck, Founder & CEO OXO Group Indonesia
Johannes Weissenbaeck, Founder & CEO OXO Group Indonesia
Praktisi Perkotaan dan Properti, Soelaeman Soemawinata (kanan) dan Pengamat Tata Kota, Yayat Supriatna dalam Diskusi Forwapera bertajuk "Tantangan Perkotaan dan Permukiman Menuju Indonesia Emas 2045" (Foto: realestat.id)
Praktisi Perkotaan dan Properti, Soelaeman Soemawinata (kanan) dan Pengamat Tata Kota, Yayat Supriatna dalam Diskusi Forwapera bertajuk "Tantangan Perkotaan dan Permukiman Menuju Indonesia Emas 2045" (Foto: realestat.id)