Kota-kota Asia Pasifik Mesti Prioritaskan Dekarbonisasi Sektor Properti, Bagaimana Caranya?

Untuk mewujudkan rencana dekarbonisasi bangunan secara holistik dan efektif, diperlukan kerja sama antara pemilik lahan, investor, pengembang, dan penghuni.

Foto: Pixabay.com
Foto: Pixabay.com

RealEstat.id (Jakarta) – Sektor properti diperkirakan menyumbang rata-rata 60% dari keseluruhan emisi karbon. Demikian hasil sebuah studi yang dilakukan di 32 pusat kota dunia. Angka ini melebihi perkiraan World Green Building Council (WorldGBC), yakni hanya 40%.

Menurut laporan terbaru konsultan properti global, JLL, "kontribusi" emisi karbon di sektor properti ini bahkan lebih tinggi di beberapa pusat bisnis terbesar di Asia Pasifik seperti Tokyo (73%), Seoul (69%) dan Melbourne (66%).

Laporan terbaru JLL bertajuk “Decarbonising Cities and Real Estate” (Dekarbonisasi Kota-kota dan Properti) mendapati kesenjangan yang signifikan antara kebijakan yang diberlakukan di perkotaan, dampak industri properti, dan ilmu sains iklim yang menunjukkan perlunya tindakan cepat untuk mengatasi pemanasan global.

Baca Juga: JLL: Kuartal I 2022, Investasi Properti Asia Pasifik Naik 20%

Menurut laporan tersebut, pemerintah kota menetapkan target keberlanjutan yang ambisius, seringkali jauh di atas target nasional. Di Asia Pasifik, misalnya, kota-kota seperti Sydney dan Shanghai menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar masing-masing 70% dan 65% pada tahun 2030.

Namun, upaya  mengatasi emisi karbon sering kali tidak mendapatkan perhatian yang cukup dan beberapa kota seperti Hong Kong, Shanghai dan Mumbai tidak memiliki target nyata untuk mengembangkan gedung atau bangunan bebas karbon.

Untuk mewujudkan rencana dekarbonisasi properti dan bangunan secara holistik dan efektif, laporan JLL menekankan pentingnya kerja sama dengan pemilik lahan, investor, pengembang, dan penghuni.

Baca Juga: Diprediksi Meningkat, Persaingan Aset Properti di Asia Pasifik Jadi Tantangan Bagi Investor

Kamya Miglani, Head of ESG Research JLL Asia Pasifik menjelaskan, bangunan atau gedung merupakan masalah sekaligus solusi bagi krisis iklim yang kita hadapi dan kerja sama antara sektor swasta dan publik adalah sangat penting untuk mendorong kemajuan nyata dalam dekarbonisasi ekonomi.

Untuk Asia Pasifik, imbuhnya, hal ini sangat penting terutama bagi kota-kota seperti Hong Kong yang 85% bangunannya berusia lebih dari 10 tahun dan memerlukan peremajaan. Sayangnya, belum ada target yang ditetapkan untuk dekarbonisasi bangunan.

"Jika hal tersebut tidak dilakukan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengeluarkan peraturan ketat dan penalti yang berat terkait standar bangunan—hal ini berarti akan ada yang menang dan kalah dalam perlombaan mencapai net-zero karbon,” tutur Kamya Miglani.

Kota-kota Asia Pasifik Mulai Gunakan Berbagai Instrumen Dekarbonisasi Sektor Properti

Kota Asia Pasifik dekarbonisasi real estat net-zero JLL realestat.id dok
Sumber: JLL

Penelitian JLL menunjukkan bahwa kota-kota yang paling mungkin berhasil dalam mengurangi emisi karbon adalah kota-kota yang mampu menyeimbangkan regulasi, insentif, inovasi, dan akselerator. Sejumlah kota menerapkan pendekatan inovatif untuk mengurangi emisi bangunan, seperti Singapura dengan Rencan Induk Bangunan Hijau (Green Building Masterplan) yang menargetkan dekarbonisasi bangunan sebesar 80% hingga 2030. Sementara itu, Tokyo menerapkan program cap-and-trade yang memberi insentif kepada pemilik bangunan untuk mengurangi emisi karbon dan menggunakan energi terbarukan.

Baca Juga: Naik 26% di 2021, Investasi Properti Asia Pasifik Kembali ke Level Sebelum Pandemi

Namun, penelitian tersebut juga mengingatkan bahwa kebijakan dan regulasi yang saat ini diterapkan di seluruh dunia belum sepenuhnya mengikuti perkembangan ilmu sains, sehingga sektor swasta mengemban tanggung jawab lebih besar dalam merespons tantangan perubahan iklim.

Kondisi ini sangat relevan di kota-kota Asia, seperti Shanghai, Hong Kong, dan Mumbai yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim dan berada dalam situasi mendesak untuk meningkatkan ketahanan terhadap suhu panas, kekeringan, kebakaran dan curah hujan tinggi.

Waktunya Bertindak
Alih-alih menunggu regulasi, pemilik bangunan, investor, dan penghuni diharapkan untuk segera berupaya mengembangkan aset-aset berdaya tahan lebih baik untuk menciptakan keunggulan yang kompetitif.

Ini mencakup upaya melipat gandakan inisiatif efisiensi energi dan mengeksplorasi potensi energi terbarukan onsite dan offsite—yang nantinya menuntut pemerintah kota untuk menyelaraskan langkah dan menyediakan jaringan energi hijau. Berbagi pengetahuan dan program akselerator akan berperan penting dalam meningkatkan kualitas bangunan-bangunan yang ada, terutama bagi penghuni dan pemilik skala kecil.

Baca Juga: Pasar Properti Asia Pasifik Berakselerasi di Tengah Ketidakpastian Tahun 2022

Lebih jauh lagi, riset JLL juga menggaris bawahi bahwa perkotaan perlu berpikir lebih dari sekedar dekarbonisasi lingkungan dengan mempertimbangkan regenerasi, sirkularitas, dan ketahanan. Ini mencakup ekonomi sirkular untuk menghilangkan limbah dan berinvestasi pada penghijauan kota serta keanekaragaman hayati untuk mengembangkan kota yang berkelanjutan, sehat dan layak huni.

Hasil riset JLL “Decarbonising Cities and Real Estate” mencakup berbagai peraturan dan struktur pelaporan yang diluncurkan oleh pemerintah, serta berbagai metrik dan definisi yang diadopsi di Asia Pasifik dan seluruh dunia.

Redaksi@realestat.id

Berita Terkait

SKYE Suites Hotel Green Square, Sydney (Foto: Dok. Crown Group)
SKYE Suites Hotel Green Square, Sydney (Foto: Dok. Crown Group)
ONE Macquarie Park (Foto: Dok. ONE Global Capital)
ONE Macquarie Park (Foto: Dok. ONE Global Capital)
Shanghai, China (Foto: Dok. Pixabay.com)
Shanghai, China (Foto: Dok. Pixabay.com)
Apartemen MUZE di Penang International Commercial City. (Foto: Dok. Hunza Properties)
Apartemen MUZE di Penang International Commercial City. (Foto: Dok. Hunza Properties)