Tips Mencegah Sengketa Harta Warisan dalam Keluarga

Kuatnya silaturahim dari para ahli waris yang dilandasi atas keimanan, pendidikan dan pengetahuan menjadi kunci untuk mencegah sengketa harta warisan.

Juneidi D. Kamil, Pakar Hukum Properti (Foto: RealEstat.id)
Juneidi D. Kamil, Pakar Hukum Properti (Foto: RealEstat.id)

Oleh: Juneidi D. Kamil

RealEstat.id (Jakarta) - Banyak pertanyaan yang muncul saat artikel penulis, “Waspada Sengketa Harta Warisan Keluarga” yang baru saja dipublikasikan di RealEstat.id. Pertanyaan yang muncul di antaranya adalah bagaimana cara mencegah sengketa harta warisan antara sesama ahli waris atau pihak lain di luar ahli waris. 

Kuatnya silaturahim dari para ahli waris yang dilandasi  atas  keimanan, pendidikan dan pengetahuan menjadi kunci untuk mencegah sengketa harta warisan ini. Sebuah peribahasa Inggris menyatakan, “A chain is no stronger than its weakest link.” Kekuatan sebuah rantai tidaklah lebih kuat daripada sambungan terlemahnya.

Baca Juga: Waspada Sengketa Harta Warisan dalam Keluarga

Nah, berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan itu perlu diungkapkan ada tiga hal yang perlu dilakukan orang tua atau keluarga guana mencegah jangan sampai sengketa harta warisan terjadi. 

Membekali Anak-anak
Orang tua berkewajiban membekali anak-anaknya dengan pendidikan agama dan pendidikan dan pengetahuan lainnya. Anak-anak harus dibekali pendidikan dan pengetahuan agar siap dalam menghadapi tantangan kehidupannya.

Orang tua jangan sampai meninggalkan generasi yang lemah baik pendidikan dan pengetahuan maupun kehidupan ekonominya. Pendidikan agama dan pendidikan serta pengetahuan lainnya sangat penting dibekali kepada anak-anak agar kehidupan anak menjadi terarah dan sukses untuk mencapai tujuan hidupnya. Kewajiban orang tua kepada anak-anaknya tidak semata hanya mencukupi kebutuhan pangan, papan dan sandang semata. 

Baca Juga: AKI Group Rilis Bluebell, Rumah Rp300 Jutaan dengan Fasilitas Solar Panel

Salah satu pendidikan dan pengetahuan agama yang penting diketahui adalah ilmu faraid yaitu ilmu hukum kewarisan dalam agama Islam. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. 

Hukum kewaris Islam dalam Al-Qur’an sudah ditetapkan allah SWT melalui firman-Nya. Kewajiban pembagian waris bagi agama Islam berdasarkan hukum waris Islam dapat diperhatikan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa ayat 7, 11, 12, 13, 14, serta 176. Nabi Muhammad SAW bersabda,“Pelajarilah dan ajarkanlah ilmu waris, karena ilmu itu adalah separuh (dari keseluruhan) ilmu. Ilmu waris adalah ilmu yang mudah dilupakan dan yang pertama kali dicabut dari umatku” (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni). 

Meskipun orang tua sendiri belum memiliki pengetahuan terhadap masalah ini setidak-tidaknya kepada anak-anak disampaikan kesadaran pentingnya memahami ilmu faraid serta kewajiban menerapkannya saat pembagian warisan. Allah SWT berfirman: “Hukum-hukum pembagian warisan itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya niscaya Allah memasukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya niscaya Allah memasukkan ke dalam api neraka dan ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.”  

Baca Juga: Rilis Sahaja, Unilever Punya Produk Pembersih Rumah Berkonsep Islami

Ketaatan pembagian berdasarkan hukum waris Islam merupakan bentuk ketakwaan kepada Allah SWT. Dalam Al Quran laki-laki berhak dua bagian dibandingkan dengan perempuan (Q.S.An-Nisa : 11). Allah akan memasukkan ke dalam surga bagi yang taat dan akan memasukkan ke dalam api neraka bagi mereka yang melanggar ketentuan-Nya. (QS. An-Nisa : 13 - 14). Asas ijbari dalam hukum waris Islam dalam segi jumlahnya bagian atau hak ahli waris sudah jelas ditentukan oleh Allah SWT. Sehingga pewaris maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau mengurangi apa yang ditentukan itu.

Kewajiban mempelajari ilmu faraid hukumnya fardu kifayah, yaitu kewajiban yang bersifat kolektif. Namun menerapkannya dalam pembagian warisan hukumnya fardu ‘ain yaitu kewajiban setiap individu. Jika dalam suatu kelompok masyarakat tidak ada yang memahami ilmu faraid sehingga mereka membagi warisan dengan kesepakatan dan hawa nafsu, seluruh anggota masyarakat itu akan berdosa. Namun jika telah ada satu orang yang memahami ilmu faraid masyarakat akan terbebas dari suatu kewajiban. 

Memastikan Bagian Harta 
Orang tua berkewajiban memastikan bagian harta yang dimilikinya antara bagian harta dirinya sendiri, bagian harta isterinya dan juga bagian harta bersama diantara keduanya. Suami dan isteri dalam sebuah perkawinan yang sah saling mewarisi jadi apabila salah satu pihak meninggal salah satu pihak berhak sebagai ahli waris dari yang lain.

Kepastian terhadap harta bukan hanya mencakup jenis fisik harta yang dimiliki, tetapi juga menyangkut keberadaannya, perolehannya serta bukti kepemilikannya. Harta dapat berupa tanah pekarangan beserta bangunan yang terdapat di atasnya, tanah sawah, simpanan di bank (tabungan, giro, dan deposito), saham dan lain-lain. Keberadaan penyimpanannya juga perlu diketahui apakah disimpan di rumah saja atau di tempat lain. Perolehan harta ada yang sudah dimiliki sepenuhnya bisa jadi ada juga yang masih menjadi jaminan bank karena diperoleh dari fasilitas pembiayaan bank. Di samping itu yang juga sangat penting adalah bukti kepemilikan harta waris.

Baca Juga: Kementerian PUPR Serahkan 20 Rumah Khusus Bagi MBR di Pegunungan Arfak

Tanah pekarangan atau tanah sawah misalnya, mungkin hak atas tanah itu belum terdaftar di Kantor Pertanahan atau belum bersertifikat. Bukti penguasaannya/pemilikannya masih berupa Surat Keterangan Tanah, Akta Pelepasan Hak dan Ganti Rugi di atas kertas bermeterai atau segel.  Sertifikat hak atas tanah atau bukti-bukti dokumen penguasaan/pemilikan tanah seyogianya sudah tertera atas nama pewaris sendiri, bukan nama pemilik sebelumnya. Dalam beberapa kasus yang pernah ditangani, dokumen-dokumen itu masih tertera atas nama pihak lain dan belum tertera atas nama pewaris.

Sebagian harta itu bisa jadi ada yang dihibahkan atau diwasiatkan baik secara lisan maupun tertulis. Penghibahan atau pemberian wasiat secara lisan akan berpotensi menimbulkan sengketa dan tidak bisa dilaksanakan. Sebaiknya pelaksanaan hibah dan wasiat itu disempurnakan dalam bentuk tertulis sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pembuatan wasiat diatur ketentuan hanya boleh dilakukan maksimal sebanyak 1/3 dari total harta warisan. 

Kepastian bagian harta warisan, keberadaannya, perolehannya serta dokumen bukti kepemilikannya sangat penting diketahui ahli waris untuk mencegah munculnya sengketa. Para ahli waris sudah dapat memastikan harta yang akan dibagi setelah sebelumnya dilakukan pengurusan jenazah, pelaksanaan wasiat, dan pembayaran utang dari pewaris. 

Tidak Menunda Pembagian
Pembagian waris sebaiknya tidak dtunda pelaksanaannya. Pembagian berlarut-larut berpotensi akan menimbulkan sengketa. Misalnya seorang suami meninggal dunia, meninggalkan ahli waris isteri, anak laki-laki dan anak perempuan, ayah dan ibu.

Begitu suami meninggal dunia, sebaiknya langsung dibagi berapa porsi bagian isteri, anak laki-laki serta anak perempuan yang sudah dewasa, ayah dan ibu. Apabila tidak dilakukan pembagian segera akan menambah kesulitan dalam pembagian ketika isteri dari suami yang meninggal dunia menikah lagi dengan laki-laki lain.

Baca Juga: Dari Omnibus Law ke Omnibus “Happy” Law (3)

Begitu suami meninggal maka terdapat hak isteri, hak anak laki-laki dan anak perempuan serta hak ayah dan hak ibunya. Pernikahan isteri yang sudah ditinggal mati suaminya mengakibatkan penguasaan harta itu dipengaruhi oleh suami baru yang bisa jadi menghalang-halangi pembagian warisan itu. Keadaan ini membuat adanya hak ahli waris yang masih dikuasai oleh pihak lain yang sangat dilarang dalam ajaran agama Islam.

Pembagian harta warisan bukan berarti harus dijual kepada pihak lain. Pembagian dilaksanakan berdasarkan faraid untuk mengetahui perhitungan porsi bagian masing-masing. Meskipun rumah peninggalan suami masih ditempati oleh isterinya namun seluruh ahli waris sudah mengetahui berapa bagian porsinya atas rumah itu.

Pembagian porsi dari masing-masing ahli waris dibuatkan dalam sebuah dokumen sesuai hasil perhitungan ilmu faraid. Seluruh ahli waris membubuhkan tanda tangannya pada dokumen atas perhitungan sesuai porsi sebagai tanda persetujuan dengan diketahui oleh aparat Kelurahan dan Kecamatan setempat serta adanya saksi-saksi.

Penutup
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk mencegah munculnya sengketa harta warisan dalam keluarga. Pertama, membekali anak-anak dengan keimanan dalam menjalankan ajaran agama termasuk pendidikan dan pengetahuan ilmu faraid. Kedua, memastikan bagian harta warisan. Ketiga, keluarga yang ditinggalkan tidak menunda-nunda pembagian harta warisan.

Kesadaran orang tua atau keluarga untuk melaksanakan ketiga hal ini akan membuat seluruh sambungan mata rantai seperti pepatah Inggris tadi, memiliki cukup kekuatan menautkan silaturahmi di antara sesama ahli waris. Akhirnya, harta warisan benar-benar menjadi berkah bukan sebagai petaka.

Semoga artikel ini bermanfaat.

Juneidi D. Kamil, SH, ME, CRA adalah Praktisi Hukum Properti dan Perbankan. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis. Untuk berkorespondensi, dapat disampaikan melalui email: kamiljuneidi@gmail.com.

Berita Terkait

Ilustrasi cara mengasah pisau blender dengan garam dan kulit telur. (Sumber: Camacho9999)
Ilustrasi cara mengasah pisau blender dengan garam dan kulit telur. (Sumber: Camacho9999)
(Sumber: Shutterstock)
(Sumber: Shutterstock)