RealEstat.id (Jakarta) – Gemuruh kabar anyar program 3 juta rumah datang dari Fahri Hamzah. Politisi yang juga menjabat Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) ini mengatakan, Pemerintah Pusat segera memanfaatkan 24 hektare lahan kompleks rumah dinas (rumdis) DPR di Kalibata, Jakarta Selatan menjadi lokasi Program 3 Juta Rumah.
Pertanyaannya: akankah dialokasikan untuk perumahan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)?
Bagaimana arah konsep pembangunan kawasan yang terdiri dari blok 20 hektare plus 4 hektare yang terpisah rel kereta tersebut? Siapa patut menikmati kawasan bernilai ekonomi tinggi eks rumdis anggota DPR Kalibata?
Jika memang untuk hunian MBR, apa terobosan menyasar warga miskin kota dan menata kawasan kumuh kota sekitar Kalibata? Akankah melibatkan pelaku usaha (pengembang) domestik yang bagian ekosistem pembangunan perumahan MBR?
Baca Juga: Dear Menteri PKP, Kelanjutan Program Rumah Gratis Banyak Dipertanyakan
Terkait hal itu, berikut sembilan catatan transformasi rumdis wakil rakyat menjadi hunian MBR
Pertama
Pemanfaatan tanah eks rumdis DPR Kalibata itu kebijakan yang menarik diulas dan patut diapresiasi dari hati.
Itu bandul gebrakan dari rumah wakil rakyat menjadi perumahan rakyat alias program 3 juta rumah yang kini dilabel Program Strategis Nasional (PSN).
Artinya, PSN bukan hanya proyek seperti halnya Program Sejuta Rumah (PSR) era Jokowi. Namun program transformasi lahan dalam penguasaan negara untuk hunian MBR.
Terobosan mengubah lahan “mahal” kompleks rumdis DPR menjadi hunian MBR, itu kebijakan pro MBR yang “mahal”.
Wajar jika gaungnya menggelegar. Beleids dan konsep perencanaan teknis details-nya dinanti publik, dan kudu melibatkan partisipasi publik.
Baca Juga: Patut Dinanti: Haluan Perumahan dan Kawasan Permukiman yang Bisa Bikin Rakyat Tersenyum
Terutama, peruntukannya untuk siapa? Tersebab itu jangan kendor mengawal dan memastikan untuk siapa hunian eks rumdis DPR itu dinugerahkan. Pro MBR 100%, atau ada koridor yang disisipkan untuk tower properti komersial?
Dulu, memang selalu saja dipakai dalih mengatasi kekurangan rumah (backlog) sebagai dasar Program Sejuta Rumah.
Apakah lahan bagus dan mentereng eks rumdis DPR yang lokasinya strategis dekat stasiun kereta itu menjadi perumahan publik atau hunian privat?
Walau kawasan itu berhampiran permukiman warga tepi kali yang butuh hunian sehat, layak dan terjangkau, maka Pemerintah Pusat mesti transparan ikhwal rancangan konsep pembangunan dan oleh siapa dan (sekali lagi) untuk siapa kawasan hunian hendak dirancang?
Jika untuk MBR dalam helat PSN 3 juta rumah dengan membangun belasan tower hunian vertikal menjulang, bisakah "towerisasi" itu diperluas turut menjadi penataan kawasan yang bisa mengatasi kawasan permukiman kumuh dan rumah tidak layak huni di Jakarta khususnya sekitaran Kalibata?
Apakah disiapkan agenda dan sepaket atensi khusus bagi warga prasejahtera yang berhampiran sekitar “tanah bertuah” Kalibata?
Baca Juga: Soroti Sepak Terjang Menteri, Pengembang Tidak Puas dengan Kinerja Kementerian PKP
Intervensi kebijakan menjawab soal kusut backlog kepemilikan rumah "agak laen" dengan senabut soal kawasan kumuh kota yang akut karena sudah eksis menjadi komunitas sosial tersendiri dengan sub kultur yang unik.
Pembangunan hunian vertikal menjulang itu solusi atasi backlog, atau mencakup exit strategy menjawab kekumuhan kota?
Walau menyebut target dalam angka, hemat saya intervensi PSN program 3 juta rumah tidak hanya reproduksi hunian fisik dan mengejar capaian statistik bangunan unit hunian rumah susun.
Alhasil PSN program 3 juta rumah tidak melulu percepatan statistik fisik rumah tok, namun membangun hunian yang mengeliatkan deru mesin ekonomi MBR dan memberdayakan entitas terkecil masyarakat alias keluarga.
Itu artinya melampaui skenario capaian statistik hunian 3 juta rumah MBR, namun paket lengkap mengurangi angka kemiskinan absolut. Yang hendak membuat wajah rakyat tersenyum.
Baca Juga: Jamin Hak Konsumen Rumah Subsidi, Kementerian PKP Gandeng BPKN
Kedua
Transformasi lahan mahal eks rumdis DPR menjadi hunian MBR itu terobosan pemberani pro MBR. Sebab, patut ditenggarai ada godaan ekonomis menggunakan tuah lahan yang menggiurkan itu untuk investasi properti komersial atau real estat pro bisnis.
Saya kira dengan kelangkaan lahan di Jakarta, maka tidak rasional membangun rumah tapak untuk perumahan MBR, kecuali karena alasan idiologis pemihakan pro rakyat-cum-MBR untuk hunian vertikal yang bukan hanya dalam angka namun dalam maksus mulia memberdayakan keluarga rakyat biasa.
Tepat jika dibangun hunian vertikal atau rumah susun sewa karena berdiri di atas status tanah perbendaharaan negara.
Bahkan bukan hanya rumah susun sewa, namun hunian vertikal MBR yang "bersubsidi" paket utuh intervensi pemberdayaan ekonomi rakyat-MBR.
Itu bukan muskil dan ahistoris, sebab pernah ada paket pembiayaan multiguna yang embodied dengan program perumahan MBR.
Jika tidak, menyiapkan lahan eks rumdis DPR untuk rumah tapak (landed house) pun dikombinasikan dengan sisipan properti komersial, bukan hanya tidak rasional karena harganya tidak terjangkau MBR, bahkan tidak menjawab masalah ekonomi keluarga MBR yang hendak disasar dengan PSN program 3 juta rumah.
Baca Juga: Anggarkan Rp255 Miliar, Kementerian PKP Perbaiki Hunian di Kawasan Pesisir Lewat Program BSPS
Kiranya, bermula dari transformasi lahan eks rumdis DPR Kalibata menjadi hunian vertikal MBR, maka konsep dan kebijakannya harus bisa menjawab keraguan publik, bahwa hunian vertikal rumah susun belum bisa mengatasi masalah sosial-ekonomi kawasan permukiman kumuh yang akut dan unik.
Penting dicatat, isu itu lebih kompleks dari sekadar defisit perumahan MBR yang disebut kantor statistik dengan istilah backlog, baik backlog hunian maupun kepemilikan.
Sebab, tak terbantahkan dalam hal isu perumahan rakyat inheren sengkarut soal kemiskinan, kesempatan kerja, daya beli/ daya cicil, akses pendidikan, sanitasi, air bersih, kesehatan perkotaan, kerentanan anak dan perempuan.
Kiranya, PSN program 3 juta rumah bukan hanya utak atik atasi statistik backlog. Namun, bauran isu perumahan untuk manusia dengan bangunan sosial-ekonomi untuk pemberdayaan keluarga.
Sebab itu beralasan jika dalam helat besar PSN program 3 juta rumah, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman bukan hanya berada dalam lingkup koordinasi Menko Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah, namun menggandeng Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dan tentu saja Menteri Dalam Negeri ikhwal urusan konkuren pelayanan dasar perumahan rakyat pada tiap Pemerintah Daerah.
Baca Juga: Kementerian PKP Siapkan Saluran dan Sarana Pengaduan Terkait Masalah Perumahan
Ketiga
Pengembangan hunian vertikal dari lahan eks kompleks rumdis DPR Kalibata yang berlokasi strategis, lahan mahal dan terlebih lagi dekat dengan stasiun kereta.
Ya, karena itu beralasan dirancang menjadi model pemanfaatan lahan milik negara menjadi kawasan hunian vertikal untuk MBR yang analog menjawab kekumuhan kota yang setarikan nafas dengan jeratan kemiskinan warga kota.
Juga, beralasan dan cocok dirancang dengan konsep hunian Transit Oriented Development (TOD) karena lokasinya dalam radius terjangkau ke stasiun kereta.
Namun tidak meninggalkan kemanfaatan hunian berbasis TOD yang berkeadilan untuk semua. Pastikan hunian vertikal berbasis TOD yang terintegrasi bisa mengurangi beban biaya penghuni atau konsumen dan beban kepadatan transportasi kota.
Kawasan TOD yang dirancang kudu mematok beleids yang mengendalikan "tata niaga" kawasan hunian dengan TOD Kalibata sehingga bisa mengendalikan indeks kemahalan dalam relasi kerjasama pemanfaatan kawasan.
Baca Juga: Kementerian PKP Ancam Buka Daftar Pengembang Rumah Subsidi Nakal
Agar “towerisasi” itu tidak menjadi kausal penyingkiran kembali warga penghuni hunian vertikal dengan tarif iuran dan biaya yang membebani kemampuan membayar warga kawasan.
Pak Tjuk Kuswartojo menyebutnya dengan istilah “subsidi ongkos menghuni” –yang bisa dibebankan kepada Pemerintah Daerah.
Maksud asli menyediakan kawasan dan unit hunian layak bagi warga miskin kota via PSN perumahan MBR, jangan menjadi jebakan penyingkiran kembali dengan indeks kemahalan ongkos hunian yang tak terjangkau.
Keempat
Agar dipastikan sasaran penerima manfaat dan penggunaan serta penghuni hunian vertikal tersebut menarget kelompok MBR dan kurang mampu khususnya dari kawasan sekitar lahan rumdis DPR Kalibata, pinggiran kali dan kawasan kumuh kota yang tersisihkan.
Agar mereka bisa bangkit dari intervensi penyediaan hunian layak, sehat, terjangkau dan produktif. Pun, hal itu menjadi terobosan keadilan ruang dan akses memenuhi hak dasar atas hunian.
Baca Juga: Bank Indonesia Akan Beri Insentif Likuiditas kepada Bank Penyalur KPR
Kelima
Selain masalah kebijakan eksternalitas pembangunan kawasan rumah susun untuk MBR dan dinamika mengatasi kekumuhan kota itu, yang tak kalah penting menata ulang pengelolaan rumah susun yang perlu dirumuskan dengan patut dan pasti agar tidak menimbulkan masalah klasik konflik internal pemilik dan/ atau penghuni dengan pengelola dan pengembang yang berlarut.
Sebab itu segerakan infrastruktur nonfisik berupa regulasi pengelolaan dan pemanfataan kawasan hunian bahkan housing codes penghunian. Patut menyokong PP tentang Pengelolaan dan Penghunian Rumah Susun disegerakan, termasuk evaluasi pengaturan PPPSRS.
Dengan status Jakarta sebagai Kota Global, maka mendesak regulasi hunian vertikal yang lengkap, housing codes, building codes yang patut, dipatuhi dan diikuti, termasuk pengawasan penggunaan, pengelolaan dan penghunian rumah susun.
Keenam
Memastikan pengguna dan penghuni yang riil adalah sebenar-benar MBR. Memastikan agar hunian vertikal itu tepat sasaran, dengan cara evaluasi ketat secara periodik atas status penghunian dan penggunaannya.
Bisa jadi penghuni semula masuk kriteria MBR, kemudian menjadi bukan MBR lagi. Soal ini perlu diatur jelas dalam tatanan regulasi yang ketat dan pengawasan yang tegak lurus, dengan pengelola yang kapabell dan kredibel.
Karena proyek ini dibangun di Kota Global Jakarta, maka Peraturan Daerah mengenai Rumah Susun, PPPSRS, pengelolaan dan penghunian perlu disegerakan, agar konflik horizontal direduksi, dan kekosongan aturan bisa diatasi.
Prospek dan kepercayaan investor pada keberlangsungan properti hunian vertikal bisa tercipta dengan regulasi yang pasti, lengkap, patut, dan adil, serta dapat ditegakkan. Bayangkan benih kekisruhan yang terjadi jika Kota Global Jakarta masih semberaut dan tidak pasti dalam vertical housing codes?
Baca Juga: Kementerian PKP Dorong Emisi Bebas Karbon di Sektor Perumahan
Ketujuh
Walau berada di atas lahan tanah bertuah milik pemerintah, namun beralasan menurut hukum melibatkan peran pelaku usaha atau pengembang MBR domestik yang telah terdaftar ke dalam ekosistem perumahan dan kawasan permukiman (PKP), dan teruji kinerjanya dalam jejak program PSR.
Hemat saya, pengembang MBR domestik tidak bisa diabaikan karena mereka developer “pejuang MBR” yang terbukti produktif, berpengalaman, dan konsisten membangun rumah MBR; tabah-loyal sebagai mitra PKP yang tidak "hit and run" dalam ekosistem PKP.
Bahkan, tak boleh lupa pengembang MBR itu menjadi bagian ekosistem pembangunan PKP dari masa ke masa jejak pembangunan perumahan rakyat.
Tulisan ini merekomendasikan transformasi tata kelola dan kolaborasi Pemerintah dan Pemerintah Daerah–dalam urusan konkuren perumahan rakyat dan kawasan permukiman–dengan pelaku usaha domestik kudu terus ditingkatkan.
Menilai suksesnya PSN tiga juta rumah bukan hanya capaian statistik produksi rumah MBR saja, namun PSN yang berhasil jika sanggup menggerakkan mesin pembangunan PKP dalam eksositem yang ajeg, termasuk pengembang MBR yang terbukti efektif menyerap tenaga kerja.
Diwartakan, bidang properti menggerakkan 175 jenis industri turunan dan 350 rantai usaha kecil yang menyertainya.
Baca Juga: Skema Pemanfaatan Aset BUMN Untuk Rumah MBR Dimatangkan
Kedelapan
Sekali lagi, program 3 juta rumah PSN yang diintegrasikan dengan akses kepada pemberdayaan ekonomi keluarga MBR. Postulat saya, defenisi PSN program 3 juta rumah selain akses hunian MBR juga akses pemberdayaan ekonomi keluarga.
Agar tekat Presiden Prabowo Subianto mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan perumahan yang sehat, layak dan terjangkau namun menjadi kawasan hunian yang bertumbuh. Ya, menjadi kawasan hunian layak, terjangkau, sehat dan produktif.
Kesembilan
Dengan tidak menafikan kecepatan dan ketepatan, namun tidak belebihan jika membuka partisipasi bermakna untuk menciptakan kawasan hunian MBR dengan melombakan disain pengembangan kawasan hunian vertikal bebasis TOD Kalibata yang tidak menyisihkan satu pihak manapun.
Suksesnya kebijakan berani terobosan transformasi lahan bertuah eks rumdis DPR Kalibata itu menjadi taruhan tekad Presiden Prabowo yang menginginkan rakyat bisa auto-tersenyum menikmati hunian yang layak, terjangkau, sehat, dan berkeadilan.
Yang tepat sasaran, dan juga produktif! Tanah bertuah memiliki logika tersendiri menemui sasaran. Walau tuah kudu diperjuangkan. Tabik.
Artikel ini ditulis oleh: Muhammad Joni, SH, MH.
Penulis praktisi hukum perumahan, Ketua Umum Kornas Perumahan Rakyat, dan Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (IKA USU).
Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News