Pengembang Dinyatakan Pailit, Cicilan KPR Otomatis Lunas?

Hubungan hukum jual beli antara pembeli rumah dengan pengembang, serta hubungan hukum pinjam meminjam antara debitur dengan bank melahirkan konsekuensi yuridis.

Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: realestat.id)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: realestat.id)

RealEstat.id (Jakarta) - Dalam beberapa kesempatan menangani permasalahan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau kepailitan di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, banyak muncul pertanyaan dari konsumen properti: apabila pengembang pailit, apakah angsuran KPR saya di bank menjadi lunas?

Pertanyaan tersebut diyakini mewakili banyak konsumen yang membeli rumah lewat fasilitas KPR (kredit pemilikan rumah) namun si pengembang dalam keadaan PKPU atau dinyatakan pailit.

Untuk menjawab pertanyaan ini, sebelumnya perlu diketahui hubungan hukum di antara para pihak, agar dapat dipahami oleh konsumen properti.

Baca Juga: Kredit Bermasalah Bikin Bank Resah, Saatnya Legal Action!

Hubungan Jual Beli

Konsumen yang membeli properti baik berupa rumah, apartemen atau ruko dari pengembang, pasti akan menjadi resah dan gelisah saat mengetahui pengembang mengalami sengketa utang di Pengadilan Niaga.

Mereka akan langsung memikirkan bagaimana nasib kepemilikan properti yang dibelinya. Apakah kepemilikan properti mereka akan aman-aman saja? Apakah saat pengembang dinyatakan pailit, kewajiban utang KPR mereka di Bank tetap berjalan dan harus dibayar?

Jika diperhatikan, pengembang selaku penjual properti dapat berupa perorangan atau badan usaha. Pengembang sebagai badan usaha ada yang sudah berbadan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi. Adakalanya badan usaha pengembang belum berbadan hukum berupa Commanditaire Vennootschaap (CV).

Pengembang selaku penjual berkewajiban untuk menyelesaikan bangunan properti dilengkapi dengan dukungan sarana dan prasarananya. Selaku penjual, pengembang berkewajiban menyelesaikan sertipikat tanah dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) atas nama konsumen.

Baca Juga: Waspada! Inilah Modus Debitur Nakal Hindari Kewajiban Bayar Utang

Dalam hukum perdata, hubungan hukum antara konsumen dengan pengembang properti tunduk kepada ketentuan yang mengatur jual beli. Penjual berkewajiban menyelesaikan pembangunan properti dilengkapi sarana dan prasarana sesuai dengan yang dijanjikan kepada konsumen properti. Sedangkan konsumen selaku pembeli berkewajiban membayar harga yang disepakati kepada penjual properti.

Penjual juga berkewajiban untuk menyelesaikan bukti kepemilikan tanah serta perizinan bangunan gedung atas nama konsumen properti. Bahkan, penjual juga berkomitmen untuk memberikan kenyamanan kepada pembeli untuk bebas dari tuntutan pihak manapun atas properti yang sudah dibelinya.

Nah, bagaimana hubungan pembeli properti dengan bank yang memberikan pinjaman uang dalam fasilitas KPR untuk membayar harga properti?

Pinjam Meminjam

Dalam praktiknya, ada beberapa kemungkinan pola transaksi yang dilakukan konsumen dalam membeli properti. Ada yang melakukannya secara tunai (cash), tunai bertahap (cash termijn), atau lewat pinjaman uang kepada bank melalui fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Pada umumnya, masing-masing pola transaksi itu dituangkan dalam perjanjian pengikatan jual beli (PPJB). Pola transaksi dapat saja dilakukan dengan cara langsung penandatanganan Akta Jual Beli (AJB) apabila sertipikat tanah sudah pecah dan pembayaran pajak sudah dapat dilakukan.

Baca Juga: Penting Diketahui: Risiko Legal Bank Digital

Konsumen yang bermaksud membeli rumah melalui fasilitas KPR harus mengajukan permohonan pinjaman kepada bank penyalur kredit KPR. Pengembang kerapkali membantu pembeli rumah untuk mendapatkan dukungan KPR dari bank yang sudah melakukan kerja sama dengannya. Hubungan hukum pinjam meminjam antara pembeli rumah dengan bank diatur dalam perjanjian kredit.

Dalam perjanjian kredit diatur hak dan kewajiban pembeli rumah lewat fasilitas KPR yang disebut debitur dengan bank yang merupakan kreditur. Adapun yang menjadi objek perjanjian kredit adalah berupa uang. Dalam perjanjian kredit dicantumkan besarnya plafon kredit, jangka waktu, beban bunga, jaminan kredit, lokasi jaminan, serta hal-hal lain sesuai kesepakatan bersama.

Biasanya bank dalam perjanjian kredit yang dibuat dengan debitur juga sudah memitigasi risiko kredit dan risiko hukum. Dalam perjanjian kredit dicantumkan klausula tanggung jawab pihak debitur yang membeli rumah lewat fasilitas KPR.

Pilihan rumah yang dibeli dengan kredit bank sepenuhnya menjadi tanggung jawab debitur sebagai pembeli. Debitur menanggung risiko atas pilihan properti yang dibelinya lewat fasilitas KPR.

Baca Juga: Tiga Cara Mendapat Cuan Lewat Cessie Bank

Dengan demikian, selesai atau belum selesainya properti, demikian pula selesai atau belumnya selesainya sertipikat tanah serta perizinan dari properti yang dibeli debitur, merupakan risiko debitur selaku pembeli.

Bahkan dalam perjanjian kredit disebutkan, bahwa bank tidak bertanggung jawab terhadap penyelesaian surat/dokumen kepemilikan atas obyek properti yang dibeli melalui fasilitas KPR. Keadaan ini mengharuskan debitur selaku pembeli harus cerdas setidak-tidaknya memiliki pengetahuan yang cukup dalam membeli properti termasuk melalui fasilitas KPR.

Bagaimana kalau debitur enggan melakukan pembayaran angsuran KPR-nya? Keadaan ini dapat mengakibatkan performance kredit berpotensi kurang lancar, diragukan, bahkan menjadi macet.

Keadaan ini, di samping bank, tentu saja merugikan debitur sendiri, karena nama debitur akan tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) pada Otoritas Jasa Keuangan. Debitur akan terkendala dalam mengajukan permohonan kredit pada industri jasa keuangan lainnya.

Baca Juga: Nasabah Peminjam dalam PKPU, Bank Bisa Berbuat Apa?

Konsekuensi Yuridis

Hubungan hukum jual beli antara pembeli rumah dengan pengembang properti, serta hubungan hukum pinjam meminjam antara debitur dengan bank melahirkan konsekuensi yuridis. Pengembang berkewajiban melaksanakan kewajibannya selaku penjual properti dan pembeli rumah selaku debitur tetap berkewajiban membayar angsuran KPR kepada bank.

Berdasarkan pengalaman yang selama ini diikuti dalam rapat-rapat kreditur di Pengadilan Niaga, yang menjadi kegelisahan dari para konsumen properti adalah properti belum selesai dibangun dan sertipikat tanah bukti kepemilikan belum selesai atas nama konsumen. Keadaan ini membuat para konsumen khawatir atas nasib kepemilikan propertinya.

Para konsumen properti mulai khawatir sejak diketahuinya pengembang yang membangun properti yang dibelinya dalam keadaan PKPU/Pailit berdasarkan putusan pengadilan Niaga.

Putusan itu memberikan kewenangan kepada Pengurus/Kurator yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga untuk mengurus atau membereskan penyelesaian utang. Konsumen properti diundang untuk menghadiri rapat kreditur serta mengajukan tagihan kepada Pengurus/Kurator.

Baca Juga: Debitur Tersandung Kasus PKPU/Kepailitan, Risiko Bank Meningkat

Berdasarkan hubungan hukum yang sudah diuraikan di atas, maka kewajiban untuk menyelesaikan pembangunan properti dan menyelesaikan sertipikat ke atas nama konsumen selaku pembeli adalah pengembang selaku penjual bukan bank. Bank tetap dapat melakukan penagihan angsuran KPR terhadap debitur.

Perjanjian pinjam meminjam uang antara Bank dengan debitur KPR adalah berdiri sendiri dan tidak dapat dikaitkan dengan status pengembang yang dinyatakan PKPU/Pailit setelah ditandatangani perjanjian kredit.

Konsumen properti memang tidak mudah menghadapi permasalahan yang dihadapi saat pengembang diputus PKPU/Kepailitan. Penyelesaian pembangunan properti, sarana dan prasana serta proses balik nama sertipikat tanah atas nama konsumen menjadi terkendala. Sementara itu, konsumen selaku debitur KPR tetap berkewajiban membayar angsuran KPR-nya.

Kondisi ini sama seperti kata pepatah sudah jatuh ditimpa tangga pula. Konsumen properti harus cerdas (smart) saat melakukan transaksi properti termasuk pembelian melalui properti fasilitas KPR.

Artikel ini ditulis olehDzaky Wananda Mumtaz Kamil, SH.
Penulis adalah Praktisi Hukum Properti dan Perbankan berdomisili di Jakarta. Alumni Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini tengah mengikuti Program Studi Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada. Korespondensi dapat dilakukan melalui email: dzakywanandamumtazk@gmail.com

Redaksi@realestat.id

Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News

Berita Terkait

Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)