Lima Catatan Awal Terkait RUU Ibu Kota Negara

Jika mengacu UUD 1945, ibu kota negara (IKN) adalah pemerintah setingkat provinsi yang dipimpin gubernur, tidak dikenali nomenklatur yang lain.

Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)

RealEstat.id (Jakarta) - Rancangan Undang-undang atau RUU mengenai Ibu Kota Negara mulai berproses dalam aras legislasi. Parlemen telah bergegas membentuk panitia khusus (Pansus) yang dipimpin Ketua Ahmad Doli Kurnia Tandjung dan empat wakil ketua.

Tak lama setelah putusan Konstitusi Indonesia (MKRI) mengenai Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat, tentu kokoh alasan jika RUU Ibu Kota Negara itu ditelisik dari sisi konstitusi dan dimensi konstitusionalitas.

Berikut ini lima Jika dan lima catatan terkait Rancangan Undang-undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN).

Baca Juga: REI dan 99 Group Luncurkan Pusat Informasi Ibu Kota Negara Baru

Pertama
Jika mengacu kepada UUD 1945 Pasal 18B ayat (1), mesti dipahamkan erat-erat bahwa Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (7) dan Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 itu masuk ke dalam BAB mengenai Pemerintah Daerah. Tidak ada BAB Ibu Kota Negara.

Oleh karena itu, jika mengacu Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 maka jalan berpikir yang dibangun dalam RUU Ibu Kota Negara menghendaki IKN sebagai konsep hukum Pemerintah Daerah—yang memiliki wilayah dan rakyat/penduduk bahkan kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional—yang sudah ada dan masih hidup dalam provinsi dan kabupaten/kota calon IKN.

Kedua
Jika masih mengacu UUD 1945 Pasal 18 ayat (1) bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan daerah. Sebab itu, IKN adalah Pemerintah Propinsi IKN yang dipimpin Gubernur.

Tidak dikenali nomenklatur yang lain, walaupun beralasan sebagai pemerintah daerah yang bersifat khusus (vide Pasal 18B ayat (1) UUD 1945).

Baca Juga: Pakar: Pandemi COVID-19 Buka Peluang Redesign Ibu Kota Negara

Ketiga
Jika mengacu UUD 1945, frasa Ibu Kota Negara itu bermartabat dan penting karena disebut dalam konstitusi.

Oleh karena itu setiap norma RUU IKN patut diulas tuntas sisi konstitusionaitasnya. Cermatilah pasal yang melekatkan IKN dengan norma konstitusi bahwa MPR RI bersidang di ibu Kota negara (vide Pasal 2 ayat (2) UUD 1945).

Beda dengan DPR RI dan DPD RI yang tidak explicit by constitution dinormakan bersidang di ibu Kota negara.

Menariknya, BAB III UUD 1945 mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara, tidak dibunyikan Presiden dan Wakil Presiden berkedudukan di IKN. Malahan BPK RI dibunyikan dalam konstitusi berkedudukan di ibu kota negara (vide Pasal 23G UUD 1945).

Perlu cermat membedakan lembaga negara yang disebutkan UUD 1945 dengan yang hanya dalam Undang-undang saja dalam konteks pemindahan IKN.

Baca Juga: 7 Alasan Perumahan Madani Berkelanjutan (Harus) Berbasis Syariah

Keempat
Jika mengacu kepada UUD 1945, RUU IKN itu absah dianalisis berdasarkan konstitusi yang tak lain adalah demi menjaga konstitusionalisme dan demi mengoptimalisasi kepatuhan konstitusi. Tak juga keliru mendefenisikan IKN itu domein identitas negara—dalam makna kehendak mengentalkan kepatuhan konstitusi dan menjaga konstitusionalisme yang merupakan lawan daripada absolutisme.

UUD 1945 BAB V secara eksplisit hanya menormakan Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Merujuk konstitusi, Bendera Negara ialah Sang Merah Putih Pasal 35 UUD 1945, Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia (Pasal 36), Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Pasal 36A), dan Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya (Pasal 36B), yang merupakan identitas bernegara dan antitesis daripada penjajahan kolonialisme.

Baca Juga: UUCK Omnibus Law Inkonstitusional Bersyarat, Pemerintah Lakukan Apa?

Kelima
Jika IKN merupakan norma bermartabat dalam UUD 1945 karena dibunyikan terkait tempat sidang MPR RI dan kedudukan BPK, maka beralasan RUU Ibu Kota Negara dibahas secara terbuka dan secara bermartabat melibatkan partisipasi warga masyarakat guna memenuhi syarat formal legislasi, serta diulas sebagai tema penting bernegara dan berkonstitusi guna memenihi syarat materil.

Walau penting, namun norma RUU Ibu Kota Negara tidak sekadar cara pemindahan fisik IKN. RUU Ibu Kota Negara lebih dari pekerjaan teknis urban development saja dan bukan urusan urban planner profesional belaka, akan tetapi garis kebijakan negarawan yang berbasis bernasnya analisis kalangan jurist constitutionalist.

Sebab itu, jamak RUU yang terkait perlu disusun sebagai Paket RUU terkait IKN, yang tidak hanya RUU Ibu Kota Negara, termasuk misalnya RUU Pembangunan Perkotaan.

Tabik.

Muhammad Joni, Advokat Joni & Tanamas Law Office, Sekretaris Umum The HUD Institute, Ketua Kornas Perumahan Rakyat, dan Wakil Ketua Badan Advokasi Konsumen DPP Realestat Indonesia. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis. Untuk berkorespondensi, dapat disampaikan melalui email: mhjonilaw@gmail.com.

Berita Terkait

Foto: Dok. Kementerian PU
Foto: Dok. Kementerian PU
Ilustrasi program 3 juta rumah, (Sumber: BP Tapera)
Ilustrasi program 3 juta rumah, (Sumber: BP Tapera)
Anak-anak penghuni Rusun Pasar Rumput (Foto: Dok. Kementerian PKP)
Anak-anak penghuni Rusun Pasar Rumput (Foto: Dok. Kementerian PKP)