RealEstat.id (Jakarta) - Sangkarut sengketa tanah di Bojong Koneng Babakan Madang Provinsi Jawa Barat antara pengembang PT Sentul City Tbk dengan warga masyarakat merupakan potret aktivitas pembebasan lahan yang masih menyisakan persoalan.
Pengembang mengklaim bahwa mereka berhak berdasarkan sertifikat hak guna bangunan yang dimilikinya, sementara warga terus bertahan dengan alasan juga merasa berhak atas penguasaan lahan dengan bukti dokumen penguasaaan tanah yang mereka miliki.
Realitas ini semakin meyakinkan pentingnya legal audit dalam kegiatan pembebasan lahan. Terlebih lagi ketika persoalan hukum yang timbul dalam pembebasan lahan tidak hanya semata-mata bisa diselesaikan secara transaksional.
Baca Juga: Sengketa Lahan Rocky Gerung - Sentul City, Ini Tanggapan ATR/BPN
Awas Bara Api
Dalam bisnis properti, pengembang senantiasa menghadapi risiko dalam aktivitas pembebasan lahan, apalagi pembebasan lahan dilakukan dalam skala besar. Risiko yang pertama sekali dihadapi pengembang adalah saat pemberian ganti rugi kepada pemilik tanah semula yang berhak.
Pemberian ganti rugi bukan kepada pemilik tanah yang berhak akan mengakibatkan pembelian lahan itu menjadi tidak sah. Pembelian itu dapat dituntut pembatalannya oleh pemilik tanah yang berhak.
Memastikan pemberian ganti rugi kepada pemilik tanah yang berhak bukan perkara mudah. Dalam pelaksanaan pembebasan lahan akan ditemukan maraknya aktivitas calo-calo tanah. Untuk memuluskan penjualan objek tanah mereka tidak jarang melakukan pemalsuan dan penipuan surat bukti pemilikan tanah.
Bagi mereka yang berpraktik dalam bidang percaloan ini, yang penting dana cair dan keuntungan diraup. Mereka tidak peduli dengan risiko hukum yang akan dihadapi pemilik tanah yang sesungguhnya dan pengembang.
Baca Juga: Sengketa Lahan dengan Sentul City, Rocky Gerung Tak Perlu Murung
Pengembang yang mendapatkan lahan dari area perkebunan dengan status HGU (Hak Guna Usaha) yang sudah berakhir jangka waktunya, jangan dikira sama sekali bebas dari sengketa. Dalam praktik ditemukan kasus-kasus perusahaan perkebunan yang belum selesai membebaskan lahan dari pemilik tanah semula.
Meskipun pemilik tanah yang berhak tidak menuntut karena masalah ketiadaan biaya dan kurangnya akses untuk memperjuangkan haknya, mereka masih tetap menempati lahan areal perkebunan itu. Dalam kasus lain ditemukan pula adanya lahan dikuasai perusahaan perkebunan, sementara sesungguhnya berada di luar areal HGU.
Adanya kelemahan dalam proses pemberian ganti rugi kepada pemilik tanah yang berhak, berdampak kepada munculnya kesulitan bagi pengembang untuk melakukan penguasaan fisik lahan. Pengembang terus mendapatkan perlawanan dari pemilik tanah yang merasa berhak dan kesal dengan aktivitas pengembang yang mengganggu kepentingannya. Keadaan ini membuat pengembang menghadapi kendala mengamankan asetnya, apalagi memulai pembangunan properti di atasnya.
Baca Juga: Ini Prosedur Jual Beli Tanah yang Tepat Menurut ATR/BPN
Pembangunan properti yang tidak serta merta dilakukan setelah pembebasan lahan, memunculkan aksi penggarapan lahan. Area tanah kosong yang luput dari penjagaan pemiliknya akan ditanami dengan tanaman produktif serta pembangunan rumah di atasnya. Di kalangan warga masyarakat, masih ada anggapan penguasaan lahan secara terus-menerus dalam waktu yang lama otomatis akan memunculkan hak atas tanah itu.
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang dikenal dengan UUPA tidak menganut asas daluarsa yang dapat mengakibatkan lahirnya hak atas tanah. Adanya surat-surat keterangan penguasaan tanah itu merupakan bukti permulaan hak yang dapat menjadi dasar untuk mengajukan permohonan hak kepada Negara. Objeknya harus merupakan tanah yang langsung dikuasai negara dalam pengertian belum terdapat hak-hak atas tanah yang sudah terdaftar berdasarkan UUPA.
Berdasarkan hukum Agraria yang dianut di negara ini, pengembang akan menghadapi risiko hukum meskipun tanahnya sudah terdaftar di Kantor Pertanahan. Keadaan ini disebabkan karena sistem pendaftaran tanah yang dianut di Indonesia adalah stelsel negatif bertendensi positif yang dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Baca Juga: Tips Aman Membebaskan Lahan dari Pakar Hukum Properti
Sertifikat hak atas tanah merupakan alat pembuktian yang kuat tetapi bukan merupakan satu-satunya alat bukti. Berdasarkan pengertian ini, maka sepanjang dapat dibuktikan sebaliknya sertifikat hak atas tanah dapat dibatalkan.
Dalam praktiknya, terdapat beberapa kasus sertifikat hak atas tanah dibatalkan karena cacat hukum. Sertifikat hak atas tanah cacat hukum dapat berupa sertifikat palsu, sertifikat asli tetapi palsu, dan sertifikat ganda.
Keadaan ini berbeda dengan sistem pendaftaran yang menganut sistem pendaftaran tanah yang menganut stelsel positif. Dalam sistem pendaftaran tanah ini sertifikat hak atas tanah merupakan satu-satunya alat bukti. Negara bertanggung jawab bahkan berkewajiban memberikan ganti rugi apabila sertifikat hak atas tanah yang diterbitkannya itu batal atau tidak sah.
Baca Juga: Ini Strategi Kementerian ATR/BPN Berantas Mafia Tanah
Pentingnya Legal Audit
Potensi sengketa dalam pembebasan lahan yang terjadi, membuat pengembang harus senantiasa waspada. Pengembang sebaiknya melakukan langkah-langkah mitigasi atas risiko hukum tidak terjadi.
Munculnya risiko hukum dalam pembebasan lahan akibat pengembang tidak berhasil mengidentifikasi risiko hukum yang akan dihadapi. Salah satu langkah mitigasi risiko hukum yang dapat dilakukan pengembang adalah dengan melakukan legal audit atau melakukan pemeriksaan dari segi hukum kegiatan pembebasan lahan.
Bidang tanah yang dibebaskan ada yang sudah terdaftar (bersertifikat) dan ada juga yang belum terdaftar (belum bersertifikat). Untuk tanah-tanah yang sudah terdaftar, harus diketahui jenis hak atas tanahnya. Hak-hak atas tanah itu misalnya Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.
Baca Juga: Tiga Cara Memberantas Aksi Kejahatan Mafia Tanah
Masing-masing jenis hak atas tanah memiliki hubungan hukum antara pemilik dan hak atas tanah yang berbeda antara jenis yang satu dengan jenis yang lainnya. Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai juga dapat dibedakan berasal dari tanah yang langsung dikuasai Negara atau berasal dari tanah Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
Pemegang hak atas tanah yang dibebaskan dapat berupa perorangan maupun badan hukum seperti Perseroan Terbatas, Yayasan, dan Koperasi. Kewenangan bertindak dari masing-masing pemegang hak atas tanah harus dipastikan agar mereka bertindak sah dan berkekuatan hukum untuk mengalihkan hak atas tanahnya.
Dalam praktiknya, terkadang pengembang abai melakukan legal audit dalam kegiatan pembebasan lahan yang dilakukan. Dalam praktek pengembang hanya sudah merasa yakin apabila Notaris/PPAT sudah berkenan membuat akta pelepasan hak dengan ganti rugi dan/atau pembuatan akta jual belinya. Padahal sesuatu yang dapat dilakukan belum tentu aman secara legal atau bebas dari risiko hukum.
Baca Juga: Punya Kawasan dan Tanah Telantar? Siap-siap Disita Negara!
Legal audit pembebasan lahan dilakukan dengan menganalisis data fisik dan data yuridis dari lahan yang akan dibebaskan. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas, dan luas bidang tanah termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau segala sesuatu di atasnya. Sementara itu, data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya dan pihak lain serta adanya kepentingan pihak lain di atas tanah itu.
Pengumpulan data fisik tanah harus mengetahui secara persis siapa para pihak yang menguasai lahan itu. Penguasaan data fisik misalnya di atas lahan ditanami dengan tanaman kebun atau tanaman lainnya, terdapat bangunan yang didirikan, baik permanen maupun semi permanen. Informasi data fisik lahan termasuk akses masuk lahan proyek bisnis properti yang akan dibebaskan pengembang.
Legal audit memberikan manfaat besar bagi pengembang karena risiko-risiko hukum dalam pembebasan lahan teridentifikasi sejak awal. Risiko-risiko hukum yang teridentifikasi dapat dicegah/dihindari atau diatasi. Untuk mengatasinya, maka syarat-syarat sahnya suatu perjanjian berupa syarat subjektif dan syarakat objektif harus dipenuhi.
Baca Juga: Tanah Helikopter: Antisipasi dan Solusinya
Legal Auditor akan memberikan rekomendasi apakah langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh pengembang pada saat proses membaskan lahan. Rekomendasi ini tergantung kepada data fisik dan data yuridis yang diperoleh.
Dalam mencari solusi atas permasalahan hukum dalam pembebasan lahan maka patut dipertimbangkan pendapat Gustav Radbruch, seorang ahli hukum dan filsuf hukum Jerman. Beliau membuat teori tiga nilai dasar hukum.
Berdasarkan pandangan ini, solusi penyelesaian sengketa pembebasan lahan yang berlangsung bukan hanya persoalan nilai kepastian hukum, tetapi juga soal nilai kedilan dan nilai kemanfaatan. Kreativitas dalam mencari solusi permasalahan pembebasan lahan akan semakin berkembang dalam perspektif ini.
Baca Juga: ATR/BPN: Ini Penyebab Sengketa Tanah TNI dengan Masyarakat
Penutup
Penyelesaian permasalahan hukum yang timbul dari pembebasan lahan besar kemungkinan akan menempuh perjalanan panjang. Pengembang sebaiknya menghitung ulang pro & cons dalam menempuh cara penyelesaiannya dengan warga masyarakat.
Bagi warga masyarakat yang memiliki bukti penguasaan lahan yang kuat patut dipertimbangkan langkah non litigasi berupa mediasi dalam penyelesaiannya. Masih banyak bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat dilakukan dalam mediasi menuju win-win solution.
Akhirnya pesan kepada para pengembang yang melakukan pembebasan lahan, aman dan bijaklah dalam bisnis properti. Semoga artikel ini bermanfaat.
Juneidi D. Kamil, SH, ME, CRA adalah Praktisi Hukum Properti dan Perbankan. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis. Untuk berkorespondensi, dapat disampaikan melalui email: kamiljuneidi@gmail.com.