Punya Kawasan dan Tanah Telantar? Siap-siap Disita Negara!

Berdasarkan UU Cipta Kerja, hak, izin, atau konsesi atas tanah atau kawasan yang ditelantarkan pemiliknya, akan dikembalikan kepada negara.

Kawasan dan Tanah Telantar (ilustrasi: Pixabay.com)
Kawasan dan Tanah Telantar (ilustrasi: Pixabay.com)

RealEstat.id (Jakarta) – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyebut, sebagian besar permasalahan pertanahan di Indonesia terjadi karena banyak penelataran tanah, baik yang dikuasai badan usaha/perusahaan swasta maupun perorangan. Munculnya status kawasan dan tanah telantar terjadi karena pemilik tanah tidak memanfaatkan, tidak mengusahakan, tidak mempergunakan atau tidak memelihara tanahnya.

Tidak jarang, hal ini menimbulkan sengketa dan konflik pertanahan. Guna mengantisipasi terjadinya sengketa dan konflik pertanahan, pemerintah berupaya melakukan percepatan pendaftaran tanah guna memberikan kepastian hukum atas tanah.

Baca Juga: ATR/BPN Tawarkan Skema Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan

Pemerintah sendiri tidak mudah mengambil alih kawasan dan tanah yang berstatus telantar, dan kebanyakan usaha bersidang di pengadilan berujung dengan kegagalan. Namun, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), dalam pasal 180 sudah menegaskan bahwa apabila hak, izin, atau konsesi atas tanah atau kawasan yang sengaja tidak usahakan atau ditelantarkan pemiliknya dalam jangka waktu dua tahun sejak diberikan akan dikembalikan kepada negara.

“Ini yang melatarbelakangi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar karena kami menyadari kurang optimalnya Kementerian ATR/BPN dalam mengatur tanah telantar,” kata Dirjen Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (PPTR), Budi Situmorang pada kegiatan Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan RPP Turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 di Hotel Gran Mahakam, Jakarta, Selasa (12/01/2021).

Baca Juga: ATR/BPN: Ini Penyebab Sengketa Tanah TNI dengan Masyarakat

Budi Situmorang mengatakan bahwa selain UUCK Pasal 180, Kementerian ATR/BPN memang akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Menurutnya ada lima hal yang disasar dalam revisi PP tersebut.

“Tujuannya adalah untuk mewujudkan keadilan dalam pertanahan, menjamin kepastian hukum, mewujudkan kepatuhan atas aturan, mewujudkan kemanfaatan atas tanah, serta memperkuat fungsi sosial hak atas tanah,” tutur Budi dalam siaran pers yang dirilis Kementerian ATR/BPN.

Apabila yang ditelantarkan di bawah 25%, imbuhnya, maka hak atas tanah bagian yang ditelantarkan akan hilang dan pemiliknya dapat mengajukan permohonan revisi luas bidang tanah. Kemudian setelah UUCK terbit, apabila terdapat sebagian tanah yang ditelantarkan akan mengakibatkan hapusnya hak atas tanah atau hak pengelolaan pada bagian tanah yang ditelantarkan, namun tidak mengakibatkan terhapusnya hak atas tanah atau Hak Pengelolaan pada bagian tanah yang tidak ditelantarkan.

Baca Juga: Sertifikat Tanah Tak Bisa Terbit di Zona Rawan Bencana

Budi Situmorang menyebutkan, RPP Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar juga mengatur mengenai objek kawasan telantar serta objek tanah telantar. Objek kawasan telantar terdiri dari kawasan industri, kawasan pertambangan, kawasan perkebunan, kawasan pariwisata serta kawasan lain yang pengusahaannya didasarkan pada izin, konsesi atau perizinan berusaha. Untuk objek tanah telantar di antaranya tanah hak milik, tanah hak pengelolaan, tanah Hak Guna Bangunan (HGB), tanah Hak Guna Usaha (HGU), tanah Hak Pakai, serta tanah yang diperoleh atas dasar penguasaan.

Hal tersebut diakibatkan karena memang pemilik dengan sengaja tidak mempergunakan/tidak memanfaatkan/tidak mengusahakan/tidak memelihara tanahnya.

“Yang dimaksud dengan sengaja di sini adalah apabila memang secara de facto, pemegang hak atas tanah tidak mengusahakan, tidak mempergunakan, tidak memanfaatkan atau tidak memelihara tanah sesuai dengan pemberian haknya atau rencana pengusahaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah,” jelasnya.

Baca Juga: Dukung UU Cipta Kerja, ATR/BPN Susun 5 RPP Pertanahan

Budi Situmorang mengungkapkan, RPP Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar ini memuat 8 bab, 45 pasal serta penjelasan. Draf terakhir RPP ini per tanggal 8 Januari 2021, yang sudah memuat masukan dari akademisi, instansi serta asosiasi.

"Berbagai masukan yang diperoleh merupakan hasil dari pelaksanaan Serap Aspirasi, Portal Cipta Kerja yang dikelola oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Focus Group Discussion (FGD) dengan para pakar maupun surat tertulis,” pungkas Budi.

Redaksi@realestat.id

Berita Terkait

SKYE Suites Hotel Green Square, Sydney (Foto: Dok. Crown Group)
SKYE Suites Hotel Green Square, Sydney (Foto: Dok. Crown Group)
Agus Harimurti Yudhoyono, Menteri ATR/Kepala BPN (Foto: Dok. ATR/BPN)
Agus Harimurti Yudhoyono, Menteri ATR/Kepala BPN (Foto: Dok. ATR/BPN)
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) dan Satu Kahkonen, Country Director World Bank Indonesia dan Timor Leste, saat pertemuan di Jakarta, Rabu, 20 Maret 2024. (Foto: Dok. ATR/BPN)
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) dan Satu Kahkonen, Country Director World Bank Indonesia dan Timor Leste, saat pertemuan di Jakarta, Rabu, 20 Maret 2024. (Foto: Dok. ATR/BPN)