Indonesia Jadi Pasar Incaran Operator Data Center Dunia

Dengan pasokan terbatas dan persaingan yang rendah antara operator, harga layanan data center di Indonesia relatif tinggi dibanding negara lain di Asia.

Data center (Foto: Pixabay.com)
Data center (Foto: Pixabay.com)

RealEstat.id (Jakarta) - Menengok ke belakang, pusat data (data center) pertama kali dibangun dan dioperasikan oleh sebuah perusahaan untuk digunakan untuk kepentingan sendiri. Namun, tingginya biaya yang dikeluarkan kemudian mendorong perusahaan untuk mencari opsi outsourcing di pusat data pihak ketiga yang menyediakan ruang khusus dan layanan manajemen. Model colocation ini kini mulai banyak dipakai untuk efisiensi tanpa mengurangi keandalannya.

Di Indonesia, salah satu pemain paling awal di sektor data center adalah Telkom. Lewat anak usahanya, Telkomsigma, Perusahaan BUMN ini membuka pusat data pertamanya pada 1997. Telkomsigma adalah penyedia pertama yang membangun fasilitas Tier III di Indonesia dan di ASEAN yang menerima sertifikasi Tier III Operations.

Baca Juga: Indonesia Dorong Pertumbuhan Properti Data Center di Asia Pasifik

Selain pertumbuhan ekonomi digital, permintaan data center juga didorong oleh kebijakan dan peraturan pemerintah yang baru. Peraturan (PP) 71/2019 menyatakan bahwa semua perusahaan, khususnya lembaga keuangan, wajib menyimpan data pribadi di pusat data yang berada di dalam negeri.

Bank sentral melalui Peraturan Bank Indonesia No 9/15/PBI/2007 juga menyatakan bahwa semua bank dan lembaga keuangan harus memiliki mekanisme cadangan melalui Disaster Recovery Center (DRC), fasilitas pengganti yang memungkinkan perusahaan untuk memulihkan data dan melanjutkan operasi di keadaan darurat. Peraturan yang memberlakukan penyimpanan data lokal ini telah mempercepat pertumbuhan pasar pusat data lokal.

Operator Data Center Rambah Luar Jabodetabek
Savills Indonesia dalam hasil riset "Market in Minutes" menyebut, saat ini pemain data center utama di Indonesia meliputi operator lokal dan internasional. Diperkirakan bahwa pusat data pihak ketiga menyumbang kapasitas daya 130 MW di negara ini, tersebar di lebih dari 120.000 m2.

Sebagian besar operator menawarkan opsi colocation, dengan beberapa juga menawarkan hosting terkelola dan model layanan cloud. Dari segi lokasi, pusat data sebagian besar masih terkonsentrasi di wilayah Jawa, khususnya Jabodetabek, karena ketersediaan serat optik dan daya yang andal.

Baca Juga: Potensi Sosial Ekonomi Indonesia Dukung Pertumbuhan Sektor Data Center

"Namun, banyak operator telah mulai memperluas jejak mereka di luar Jabodetabek ke kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Bandung, Pekanbaru dan Bali," jelas Anton Sitorus, Head of Research and Consultancy Savills Indonesia dalam hasil riset tersebut.

Di sisi lain, lanskap didominasi oleh pusat data Tier III dan Tier IV. Menurut Klasifikasi Tier Uptime Institute, hanya dua data center di Indonesia yang telah menerima sertifikasi Tier IV, yaitu fasilitas JK2 DCI dan fasilitas Telkomsigma Surabaya.

Harga Layanan Data Center Lebih Mahal
Kendala utama yang menghambat investasi data center di Indonesia, menurut Savills, adalah kurangnya infrastruktur jaringan dan pasokan listrik yang tidak stabil, terutama di daerah pedesaan. Dengan demikian, pembangunan selama ini hanya terkonsentrasi di kota-kota besar yang disebutkan di atas.

Namun, dengan tujuan yang ambisius, Indonesia menargetkan untuk menangkap 40% dari ekonomi digital ASEAN pada tahun 2025 dan diperkirakan akan ada lebih banyak inisiatif yang ditujukan untuk mempercepat transformasi digital, mempersempit kesenjangan infrastruktur dan mendukung permintaan akan lebih banyak layanan data.

Baca Juga: Permintaan Lahan Kawasan Industri di Koridor Timur Jakarta Meningkat

Ekspansi yang kuat di kelas aset ini telah menguntungkan sejumlah kawasan industri (IE) karena pengembangan seperti proyek Amazon Web Services (AWS) dan Princeton Digital Group (PDG), telah terkonsentrasi di IE utama di sekitar Jabodetabek. Sektor keuangan tetap menjadi kelompok pengguna terbesar karena peraturan membatasi data mereka ke penyimpanan lokal di Indonesia.

"Namun, dengan pasokan yang terbatas dan persaingan yang rendah di antara operator pusat data, harga layanan relatif tinggi dibandingkan dengan negara lain di Asia," kata Anton Sitorus.

Biaya untuk pusat data kolokasi grosir mencapai USD201 - USD257 per kW per bulan, sementara harga untuk kolokasi ritel dapat melonjak hingga USD259 - USD316 per kW per bulan. Sedangkan untuk pusat data cloud hyperscale, harga rata-ratanya antara USD168 - USD205 per kW per bulan.

Pasar Empuk Bagi Raksasa Dunia
Dengan pertumbuhan ekonomi internet dan ekspansi pesat perusahaan e-commerce dan teknologi, Savills Indonesia memprediksi akan terjadi lonjakan permintaan selama beberapa tahun ke depan. Pure Data Centres dan SpaceDC adalah beberapa pemain internasional yang berjanji untuk berinvestasi di negara ini.

Selain pusat colocation, penyedia layanan cloud juga telah mengincar Indonesia untuk berinvestasi dalam fasilitas cloud hyperscale. Misalnya, raksasa teknologi China, Tencent, baru-baru ini meluncurkan pusat data internet pertamanya di Indonesia. Sementara itu, Alibaba dan Google Cloud telah merencanakan untuk meningkatkan operasi mereka saat ini. AWS juga akan meluncurkan pusat data di Jawa Barat pada tahun 2022.

Baca Juga: Pandemi dan Perilaku Konsumen Ubah Bisnis Properti di Sektor Logistik

Sebuah laporan yang dirilis Mordor Intelligence menunjukkan bahwa pasar data center Indonesia bernilai USD1,53 miliar pada tahun 2020 dan diperkirakan akan berlipat ganda pada tahun 2026 menjadi USD3,07 miliar. Namun, pandemi COVID-19 telah mempercepat laju transformasi digital dan adopsi cloud.

"Oleh karena itu, kami berharap pengembangan pusat data akan semakin cepat, seiring dengan semakin banyaknya pemain baru yang memasuki pasar. Kawasan industri yang ada perlu meningkatkan jaringan dan infrastruktur catu daya (power supply) mereka untuk memenuhi persyaratan teknis yang berkembang dan bersaing untuk penyewa," pungkas Anton.

Redaksi@realestat.id

Berita Terkait

Johannes Weissenbaeck, Founder & CEO OXO Group Indonesia
Johannes Weissenbaeck, Founder & CEO OXO Group Indonesia
Praktisi Perkotaan dan Properti, Soelaeman Soemawinata (kanan) dan Pengamat Tata Kota, Yayat Supriatna dalam Diskusi Forwapera bertajuk "Tantangan Perkotaan dan Permukiman Menuju Indonesia Emas 2045" (Foto: realestat.id)
Praktisi Perkotaan dan Properti, Soelaeman Soemawinata (kanan) dan Pengamat Tata Kota, Yayat Supriatna dalam Diskusi Forwapera bertajuk "Tantangan Perkotaan dan Permukiman Menuju Indonesia Emas 2045" (Foto: realestat.id)