Hindari Risiko, Penerapan Rupiah Digital Perlu Kesiapan Legal

Setidaknya terdapat tiga hal yang penting diperhatikan dalam memitigasi risiko dari penerapan Rupiah digital.

Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)

RealEstat.id (Jakarta) – Pada 30 November 2022 lalu, Bank Indonesia sudah mempersiapkan central bank digital currency (CBDC), yang diberi nama 'Proyek Garuda'.

Langkah Bank Indonesia dalam pengembangan sistem pembayaran Indonesia melalui Rupiah digital patut diapresiasi.

Bank Indonesia menjadikan Rupiah Digital sebagai rencana program yang akan direalisasikan dalam Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025-2030. 

Kendati demikian, kehadiran Rupiah digital ini perlu dipastikan kesiapan dari aspek legal, agar risiko yang timbul dapat termitigasi.

Setidaknya terdapat tiga hal yang penting diperhatikan dalam mitigasi risiko dari penerapan Rupiah digital.

Baca Juga: 3 Hal Penting Sebelum Investasi Properti Lewat Skema DIRE (Dana Investasi Real Estat)

Tiga hal penting memitigasi risiko penerapan Rupiah digital

1. Kepastian Hukum

Indonesia telah memiliki undang-undang tentang mata uang, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang. Dalam undang-undang ini hanya dikenal uang logam dan uang kertas.

Seiring dengan perkembangan zaman, pemerintah telah mengubah jenis Rupiah menurut undang-undang ini dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).

Berdasarkan UU P2SK, mata uang Rupiah terdiri dari Rupiah kertas, Rupiah logam dan Rupiah digital.

Rupiah digital atau Rupiah dalam bentuk digital yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan merupakan kewajiban moneter Bank Indonesia.

Rupiah digital memiliki fungsi yang sama dengan Rupiah Kertas dan Rupiah Logam, yaitu sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, alat tukar (medium of exchangel) dan alat penyimpan nilai (store of value).

Namun demikian, ketentuan tersebut dipandang masih belum bisa menjadi landasan yang kuat dalam penerapan Rupiah digital.

Baca Juga: Tanggung Jawab dan Risiko Pemberi Personal Guarantee Dalam Kredit Perbankan

Masih terdapat beberapa ketentuan yang belum diatur dalam ketentuan ini sehingga menyebabkan adanya kekosongan hukum.

UU P2SK mengamanatkan agar diatur ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan Rupiah digital dalam Peraturan Bank lndonesia.

Peraturan Bank Indonesia yang akan dikeluarkan seyogianya mengubah dan/atau menyempurnakan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 21/10/PBI/2019 tentang Pengelolaan Uang Rupiah yang sudah terbit khusus pengelolaan uang logam dan uang kertas.

Pengelolaan Rupiah digital meliputi pada perencanaan, penerbitan, pengedaran, dan penatausahaan.

Dalam melakukan perencanaan Rupiah digital, Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah.

Berdasarkan UU P2SK, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan pengelolaan Rupiah digital.

Baca Juga: Tiga Cara Mencegah Terjadinya Sengketa Tanah

Pengelolaan Rupiah digital harus memperhatikan 5 (lima) aspek. Pertama, penyediaan Rupiah digital sebagai alat pembayaran yang sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kedua, efektivitas pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas moneter, sistem pembayaran, dan sistem keuangan.

Ketiga, dukungan terhadap inovasi teknologi dan inklusi ekonomi dan keuangan digital.

Keempat, pengembangan ekonomi dan keuangan digital yang terintegrasi secara nasional.

Kelima, pemanfaatan teknologi digital yang dapat menjamin keamanan sistem data dan informasi serta pelindungan data pribadi.

Dengan Rupiah digital maka sistem pembayaran terpusat di Bank Sentral, sehingga lembaga ini memiliki kekuasaaan untuk penerbitan, peredaran, pembekuan, penyitaan, percepatan dan perlambatan.

Permasalahan terkait pembekuan dan penyitaan perlu diatur dengan memperhatikan ketentuan dalam hukum acara perdata dan acara pidana yang sudah berlaku.

Baca Juga: Pengembang Apartemen Pailit, Debitor KPA Tersandera: Bagaimana Solusinya?

2. Perlindungan Nasabah

Nasabah bank selaku pemilik Rupiah digital merupakan konsumen yang harus mendapatkan jaminan dan perlindungan dalam penggunaan dan pemakaian Rupiah digital.

Harus disadari bahwa dalam penggunaan layanan digital banking, ancaman siber menjadi tidak terhindarkan.

Serangan sistem layanan digital banking akibat malware, rasomware dan sosial engineering merupakan ketiga jenis ancaman siber yang dirasakan bank dan nasabah.

Malware merupakan perangkat lunak dengan fitur atau kemampuan yang berpotensi mengganggu suatu sistem informasi.

Gangguan yang dimaksud dapat menimbulkan kerugian bagi pemilik sistem informasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Ransomware merupakan jenis malware yang mengenkripsi file korban dan menuntut pembayaran tebusan untuk mendekripsi file tersebut.

Baca Juga: Penting Disimak! Ranah Penyelesaian Sengketa Utang Pengembang Apartemen

Ransomware dapat menyebabkan kerugian finansial yang signifikan bagi individu dan organisasi.

Sedangkan Sosial Engineering merupakan manipulasi psikologis untuk menipu korban agar melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri atau orang lain.

Contohnya, meyakinkan korban untuk mengklik tautan berbahaya, memberikan informasi sensitif, atau mentransfer uang.

Dalam layanan digital banking saat ini, nasabah bank masih merasa kesulitan memulihkan kerugiannya saat terjadi kehilangan dana akibat kelemahan dalam sistem perbankan.

Meskipun dalam hukum perlindungan konsumen tanggung jawab tiada kesalahan berada pada pelaku usaha, namun dalam prakteknya tidak mudah untuk diperoleh nasabah.

Penyelesaiannya masih berlarut-larut, tidak jelas sehingga berpotensi merugikan nasabah bank.

Baca Juga: Waspada! Ini 5 Faktor Penyebab Sengketa Tanah Dalam Bisnis Properti

Harapannya, nasabah pemilik Rupiah digital dapat segera dipulihkan kerugiannya apabila terjadi insiden dalam penerapan sistem pembayaran Rupiah digital.

Hal ini membawa konsekuensi, Bank Indonesia harus memastikan bahwa aktivitas tanggap insiden mematuhi hukum yang berlaku, menangani dampak hukum yang timbul dari insiden, memberikan nasihat mengenai kewajiban pelaporan dan berinteraksi dengan penegak hukum apabila diperlukan.

Perlindungan data pribadi pemilik Rupiah digital menjadi penting karena menjadi rahasia bank.

Kebocoran informasi yang mengakibatkan kerugian nasabah dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.

Oleh karenanya kebijakan pelindungan data mencakup enkripsi data, keamanan penyimpanan data, dan kontrol terahadap akses penting untuk diatur keamanannya.

Baca Juga: Bagaimana Status Tanah dari Rumah yang Masih Dalam Cicilan KPR?

3. Peningkatan Edukasi

Pengembangan dan penguatan sektor keuangan dalam sistem pembayaran Rupiah digital harus dapat memberikan pemahaman dan membuka wawasan bagi masyarakat sebagai pelaku usaha dan pengguna jasa di sektor keuangan.

Mereka harus ditingkatkan pemahaman dan wawasannya sehingga memiliki kesadaran terhadap hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya dalam menjalankan perannya di sektor keuangan.

Perlindungan data pribadi pemilik Rupiah digital bukan hanya menjadi tanggung jawab pengendali data tetapi juga tanggung jawab pemilik data.

Pemilik Rupiah digital menjadi penting memiliki pemahaman dan wawasan terkait perlindungan data agar tidak diretas oleh pihak lain yang bermaksud melakukan kejahatan.

Bank Indonesia menjadi penting melakukan kampanye peningkatan awareness kepada  pemilik Rupiah digital dan pemangku kepentingan lainnya untuk meningkatkan pemahaman terkait risiko keamanan siber.

Hal ini dapat dilakukan dengan kampanye keamanan siber, edukasi yang berfokus kepada pemilik Rupiah digital, kolaborasi dan peningkatan awareness, dan memberikan kemudahan aksesabilitas informasi bagi pemilik Rupiah digital.

Baca Juga: Cara Membebaskan Properti dari Boedel Pailit

Penutup

Kepastian hukum, perlindungan pemilik Rupiah digital dan peningkatan edukasi pemilik Rupiah digital menjadi issue legal yang penting untuk diantisipasi Bank Indonesia.

Dengan mengantisipasinya sejak dini, maka Bank Indonesia dapat memitigasi risiko legal.

Mumpung masih masuk dalam tahap Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025-2030, kepastian kesiapan aspek legal dalam penerapan Rupiah digital menjadi penting untuk diperhatikan. 

Artikel ini ditulis oleh: Dzaky Wananda Mumtaz Kamil, SH.

Penulis adalah Director Vox Law, Praktisi Hukum Properti dan Perbankan yang berdomisili di Jakarta. Alumni Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini tengah mengikuti Program Studi Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada. Korespondensi dapat dilakukan melalui email: dzakywanandamumtazk@gmail.com

Redaksi@realestat.id

Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News

Berita Terkait

Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)