HGU Megamendung, RUU Pertanahan, dan Kemakmuran Rakyat

Mengemukanya kembali isu HGU membuka mata hukum kita untuk melakukan kritik hukum dan berdialektika pada UUPA (Undang-undang Pokok Agraria).

Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)

RealEstat.id (Jakarta) - Ramainya polemik terkait HGU (Hak Guna Usaha) di Megamendung, membuat pikiran saya bongkar akar dan melihat permasalahan ini sebagai juristconstitutionalist. Saat ini, HGU tengah diulas ulang dalam RUU Pertanahan. Beyond positivisme hukum yang asumsikan hukum juncto Undang-undang (UU) itu lengkap, mapan, kuat bertahan. Cepat buang pikiran nyaris “dogmatis” itu.

Hukum yang termaktub dalam sebuah undang-undang tidaklah stagnan. Bukan stabil permanen. Hukum selalu hidup dan berkembang. Tidak otonom dari anasir sosiologis, ekonomis, politis, historis, dan kulturalis.

Baca Juga: Aspek Legal HGB Apartemen di Atas HPL

Mengemukanya kembali isu HGU membuka mata hukum saya untuk melakukan kritik hukum dan berdialektika pada UUPA (Undang-undang Pokok Agraria). Mengapa titel HGU—dinormakan Pasal 28 ayat (1) UUPA—hanya untuk usaha pertanian, perikanan dan peternakan. Kiranya UUPA juncto norma HGU menisbahkan diri menjadi aturan agraria yang sangat kental usaha agraris belaka.

Dengan watak fungsi sosial yang kental dan kentara. RUU Pertanahan belum eksplisitkan fungsi soal dalam membuat hak-hak baru, seperti hak ruang atas/bawah tanah.

Tunggu, benarkah negara kita agraris lagi? Seperti norma UUPA, pun HGU. Berdaulatkah kita ikhwal isme-isme agraria? Di balik itu, untuk apa dan siapa daulat agraria kita? Kemana wangi dan megarnya isme agraria guna menyasar kesejahteraaan rakyatnya?

Baca Juga: Bank Tanah untuk Perumahan Rakyat: Menuju Kenyataan yang Omni?

Kalau usaha agraria menjadi tidak utama lagi. Kalau menjadi petani, nelayan dan pekebun bukan lagi minat generasi muda bangsa juncto kaum milenial. Petani dan nelayan tradisional yang semakin tua-renta juncto miskin-papa. Yang kalah dengan nelayan asing dan petani berdasi. Lantas, benarkah usaha non-agraris (selain pertanian, perikanan, peternakan) semisal properti, real estat, juga perumahan dan perkotaan; apakah bukan mesin pertumbuhan? Jenis usaha yang menjanjikan kesejahteraan.

Konstitusi begitu lugas daripada hunian alias perumahan sebagai hak bertempat tinggal yang eksplisit dalam konstitusi: Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Tugas negara-lah kua konstitusi dan UU No. 1 Tahun 2011 menyediakan perumahan publik bagi MBR yang dikenal dengan perumahan rakyat. Terkait perumahan, tentu tak terpisahkan dengan pembangunan perkotaan. Di Amerika Serikat keduanya tergabung dalam portofolio housing and urban development.

Pertanyaan Generasi Milenial
Di zaman milenium ke-3 kini, generasi milenial bisa bertanya: adakah geliat membangun kota-kota publik baru? Mengapa hanya geliat kota baru mandiri yang menjadi kota “swasta”. Apakah memang ada diksi kota swasta? Swasta artinya bukan publik? Di mana hadir negara juncto pemerintah/pemerintah daerah?

Menjawab itu, kiranya perlu UU Pembangunan Perkotaan. Pun perlu portofolio, urusan dan kelembagaan yang kokoh ikhwal perumahan (dan/dalam perkotaan) yang kompleks.

Kembali ke UUPA dan HGU. Apakah usaha bidang perumahan dan pembangunan perkotaan bukan suatu usaha yang menumbuhkan perekonomian? Padahal tak ada perumahan dan perkotaan lepas dari tanah (agraria).

Baca Juga: Aturan Bank Tanah untuk Perumahan Dalam Omnibus Law Belum Spesifik

Merujuk Pasal 12 ayat (1) UUPA, segala usaha bersama dalam lapangan agraria, yang diupayakan bersama demi kesejahteraan bersama, dalam bentuk koperasi atau bentuk gotong royong lainnya. Properti dan real estat adalah jenis usaha terkait agraria (tanah dan ruang bahkan perairan) yang menjadi industri dengan sangkut paut usaha yang jenisnya ratusan.

Gagasan dan bentuk usahanya? Usaha properti dan real estat juncto perumahan dan pembangunan perkotaan adalah usaha dalam lapangan agraria, yang terbukti menjanjikan keuntungan. Titel haknya? Mengapa tidak dengan HGU? Tidak HGB melulu. Apalagi UUPA menyediakan landasan usaha bersama dalam lapangan agraria.

Mengapa mencari argumentasi menolak koperasi, atau usaha gotong royong lainnya yang dibentuk sebagai relasi peoples-public-private partnership (PPPP)? Normanya sudah jelas dalam Pasal 12 UUPA.

Baca Juga: Buatlah ‘Jalan Baru’, Bahkan ‘Kota Baru’ Hukum

Silakan mencerna dengan hati damai ketentuan Pasal 12 UUPA yang berbunyi: “(1) Segala usaha bersama dalam lapangan agrarian didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong-royong lainnya”.

“(2) Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria”.

Ketentuan Pasal 12 UUPA itu bertaut erat dengan semangat hak menguasai negara (HMN) Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Konstitusi haruslah dilaksanakan dengan “tidak kepalang tanggung”, meminjam istilah ayahanda Prof. Laica Marzuki, mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Konstitusi hukum paling tinggi. Constitutie is de hoogste wet.

HGU: Untuk Kemakmuran Rakyat!
Pembaca, izinkan saya berdialektika sehat dengan kata “jika”: (1) Jika kota-kota hendak dibangun menjadi milik bersama. (2) Jika kota-kota baru hendaknya tidak meninggalkan satu pun warganya (no one be left). (3) Jika Sustainable Development Goals (SDGs) hendak mencapai tujuan Sustainable Cities and Communities. (4) Jika HGU diberikan untuk isme-isme agraria dalam UUPA. (5) Jika UUPA adalah pengakuan atas Hak Menguasai Negara (HMN). (6) Jika HMN adalah ingredient konstitusi yang diberikan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (7) Jika rakyat adalah constituent power dalam demokrasi konstitusional yang menjadi kepatuhan bernegara.

Baca Juga: BP3: Kemana Air Hendak Cepat Mengalir?

Dengan dalil-dalil jika seperti itu, izinkan saya mengambil ijtihad agar HGU dalam UUPA diuji dan dimaknai lagi, bahwa HGU diberikan untuk usaha perumahan publik (public housing) dan pembangunan perkotaan untuk kemakmuran rakyat. Bukan limitatif hanya usaha pertanian, perikanan dan peternakan.

Maksudnya? Untuk memastikan kota menjadi empowering cityinclusive city, dan kota yang membahagiakan semua warga. Bukan menyisihkannya dengan instrumen pajak tanah mahal. Bukan menggusurnya dengan dalih penataan kumuh dan beautifikasi kota. Bukan merebut tanahnya karena menjadi “kampung terjepit” di belantara kota.

Majelis pembaca, telaahlah dengan damai pertanyaan ini: mengapa tidak HGU untuk perumahan dan perkotaan? Salam literasi properti. Tabik.

Muhammad JoniAdvokat, Managing Partner Joni & Tanamas Law Office. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis. Untuk berkorespondensi, dapat disampaikan melalui email: mhjonilaw@gmail.com.

Berita Terkait

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) dan Satu Kahkonen, Country Director World Bank Indonesia dan Timor Leste, saat pertemuan di Jakarta, Rabu, 20 Maret 2024. (Foto: Dok. ATR/BPN)
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) dan Satu Kahkonen, Country Director World Bank Indonesia dan Timor Leste, saat pertemuan di Jakarta, Rabu, 20 Maret 2024. (Foto: Dok. ATR/BPN)
Dari kiri ke kanan: Basuki Hadimuljono, Menteri PUPR; Agus Harimurti Yudhoyono, Menteri ATR/Kepala BPN; dan Airlangga Hartarto Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. (Foto: Dok. ATR/BPN)
Dari kiri ke kanan: Basuki Hadimuljono, Menteri PUPR; Agus Harimurti Yudhoyono, Menteri ATR/Kepala BPN; dan Airlangga Hartarto Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. (Foto: Dok. ATR/BPN)
Foto: Dok. Kementerian ATR/BPN
Foto: Dok. Kementerian ATR/BPN