RealEstat.id (Jakarta) - Setiap orang adalah calon pewaris, namun belum tentu mereka sempat mengajarkan hukum faraidh kepada anak-anaknya dalam membagi harta warisan. Akibatnya, perselisihan sesama ahli waris atau dengan pihak lainnya menjadi cerita duka.
Tanpa disadari, keteledoran melaksanakan kewajiban mempelajari dan mengajarkan hukum waris berakibat fatal. Sebelum mewariskan harta peninggalan, maka wariskan terlebih dahulu ilmu faraidh dalam membagi warisan.
Baca Juga: Waspada Sengketa Harta Warisan dalam Keluarga
Nah, bagaimana membagi harta warisan dari pewaris yang beragama Islam?
Pembagian Warisan
Pluralisme hukum waris di Indonesia berakibat berlakunya tiga macam sistem hukum waris yang sama-sama berlaku. Namun berdasarkan yurisprudensi MA RI No.172 K/Sip/1974, hukum yang diterapkan dalam pembagian waris adalah hukum agama dari pewaris itu sendiri. Konsekwensinya, bagi warga negara yang beragama Islam berlaku sistem hukum waris Islam.
Mereka yang beragama Islam membagi harta warisan berdasarkan hukum waris Islam (faraidh). Ketentuan ini mengatur bagaimana pemindahan hak pemilikan harta warisan pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing. Penentuan ahli waris dan porsi pembagiannya diatur Al-Qur’an Surah An-Nisaa ayat 11, 12, dan 176 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 176 - 181.
Baca Juga: Tips Mencegah Sengketa Harta Warisan dalam Keluarga
Pembagian terhadap harta warisan dilakukan setelah harta peninggalan dikeluarkan untuk menyelesaikan tiga kewajiban. Pertama, menyelesaikan biaya pengurusan dan sampai pemakaman jenazah. Kedua, menyelesaikan utang-utang berupa biaya pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris kepada penagih piutang. Ketiga, menyelesaikan wasiat pewaris semasa hidupnya sepanjang memenuhi persyaratan. Apabila masih terdapat sisa dari harta peninggalan maka ini yang disebut dengan harta warisan yang akan dilakukan pembagiannya.
Pembagian waris dilakukan setelah dipastikan siapa yang pewaris dan siapa ahli warisnya. Pertanyaan sentral dalam menentukan siapa ahli waris adalah siapa yang meninggal? Pertanyaan ini penting, karena kalau tidak ada yang meninggal maka tidak ada pembagian ahli waris. Beberapa kali muncul dan menjadi obyek yang dipermasalahkan oleh keluarga, sementara belum ada yang meninggal. Kemudian pertanyaan berikutnya adalah apakah pewaris memiliki harta peninggalan? Apabila harta peninggalan pewaris tidak ada maka tidak ada pembagian waris.
Pihak ahli waris yang menerima waris itu sudah ditentukan Allah SWT. Jumlah ahli waris sesunguhnya ada 22 pihak dan dapat dibedakan atas tiga pihak. Pertama, ahli waris dzawil furudz, yaitu ahli waris yang porsi bagiannya telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, ahli waris ashabah yaitu kelompok ahli waris yang bagiannya tidak ditentukan secara pasti (Q.S.An-Nisaa:11). Ketiga, ahli waris dzawil arham yaitu kerabat pewaris yang tidak termasuk golongan dzawil furudz dan ashabah.
Baca Juga: Perlu Diketahui, Jenis-jenis Akad KPR Syariah
Ada empat syarat yang harus dipenuhi agar ahli waris berhak atas harta peninggalan dengan porsi tertentu. Pertama, ahli waris sudah ditentukan berdasarkan hukum faraidh. Kedua, ahli waris hidup di saaat pewaris meninggal dunia. Ketiga, tidak terdapat beberapa alasan yang menggugurkan hak waris. Dalam Islam disebutkan beberapa hal yang menyebabkan gugurnya hak waris antara lain karena murtad dan/atau karena membunuh pewaris. Keempat, tidak terhijab atau terhalangi karena adanya ahli waris lain yang lebih berhak atas harta warisan.
Pelaksanaan pembagian warisan sangat tergantung kepada kemaslahatan yang dibutuhkan oleh pihak keluarga, namun semakin cepat semakin baik. Setelah meninggal pewaris maka sudah terdapat hak ahli waris sehingga menguasai harta warisan secara berlarut-larut dapat menimbulkan sumber perselisihan.
Para ahli waris dapat dibedakan antara ahli waris dalam lingkaran pertama atau ahli waris dalam lingkaran kedua. Ahli waris dalam lingkaran pertama sesungguhnya lebih kepada keluarga inti yaitu anak-anak kandung, bapak dan ibu kandung, serta pasangan hidup yang sah yaitu suami atau istri saat pewaris meninggal. Ahli waris internal dari pewaris beserta pembagiannya akan kita uraikan lebih lanjut.
Bagian Anak Kandung
Pewaris ada yang meninggalkan anak, namun ada juga yang tidak meninggalkan anak. Anak yang ditinggalkan ada laki-laki atau perempuan. Bagian anak laki-laki sebanyak dua bagian hak waris anak perempuan. Anak kandung berarti terlahir dari pasangan hidup yang dimiliki saat pewaris meninggal atau dari pasangan hidup pernah dimiliki tetapi sudah berpisah. Anak kandung yang berhak menerima waris harus benar-benar titisan nasab dari pewaris bukan anak angkat, anak tiri dan bukan anak hasil zina. Anak kandung yang sah saja yang memiliki hak waris, sementara anak angkat, anak tiri, dan anak hasil zina tidak memiliki hak waris.
Bila pewaris meninggalkan anak perempuan seorang saja (tak ada anak laki-laki) maka seorang anak perempuan tunggal tersebut mendapat 1/2 (seperdua) dari harta warisan. Dan jika pewaris meninggalkan dua orang atau lebih anak perempuan saja mereka mendapat porsi 2/3 (dua pertiga) dan dlbagi rata di antara mereka. Apabila pewaris meninggalkan anak perempuan bersama dengan anak laki-laki maka anak perempuan bersama dengan saudara laki-lakinya berhak menerima warisan secara ashabah.
Baca Juga: 5 Langkah Restrukturisasi Kredit Properti Akibat COVID-19
Anak laki-laki menjadi ahli waris ashabah, mereka mendapat sisa setelah hak-hak ahli waris yang sudah ditentukan sudah mendapatkan bagian. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini mempunyai dua kemungkinan dalam hak atas harta warisan. Pertama, mendapatkan keseluruhan harta bila tidak ada ahli waris yang telah pasti bagiannya. Kedua, mendapatkan harta warisan yang besarannya tidak pasti karena tergantung seberapa besar sisa harta warisan yang ada karena hak para ahli waris dzawil furudz diperhitungkan terlebih dahulu.
Anak laki-laki merupakan ahli waris ashabah terkuat. Hak anak laki-laki menjadi ahli waris yang tidak akan tertutup oleh ahli waris manapun, selain itu anak laki-laki jiuga akan menarik anak perempuan menjadi ahli waris ashabah dengan ketentuan bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian dari anak perempuan.
Hak warisan anak tidak dipengaruhi oleh urutan anak dalam keluarga. Anak yang tertua bukan berarti mendapatkan hak waris lebih besar dibandingkan dengan anak bungsu. Hak warisan anak juga tidak dipengaruhi siapa yang lebih berjasa kepada pewaris semasa hidupnya dibandingkan dengan yang lainnya. Anak yang masa hidupnya tinggal serumah dengan pewaris dan banyak merawat saat sakitnya tidak berarti mendapatkan hak waris lebih besar. Anak yang lebih disayang bukan berarti pula mendapat jatah lebih besar atas harta warisan.
Bagian Pasangan Hidup
Pasangan hidup yang ditinggalkan pewaris dapat berupa suami atau istri. Pasangan hidup yang sah saat ahli waris meninggal menjadi ahli waris dari pewaris. Apabila seorang istri sudah bercerai dengan suaminya dan sudah habis masa iddahnya maka mantan istri tidak lagi sebagai ahli warisnya.
Suami dan istri menjadi pihak yang saling mewarisi karena sebagai salah satu ahli waris. Harta yang diwarisi oleh masing-masing pihak suami atau istri bukan harta bersama tetapi harta ekslusif dari pasangan hidupnya. Harta ekslusif maksudnya harta yang benar-benar diperoleh istri seperti harta bawaan yang bukan menjadi bagian dari harta bersama. Suami atau istri yang sudah bercerai maka mereka tidak lagi saling mewarisi.
Baca Juga: ATR/BPN Tawarkan Skema Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan
Bagian hak waris yang berhak diterima istri yang terikat dalam perkawainan sah adalah 1/8 apabila pewaris meninggalkan anak. Kalau istri yang sah ada dua, maka hak mereka berdua adalah tetap 1/8, jadi masing-masing mendapat bagian 1/16 bagian. Dalam hal suami tidak meninggalkan anak maka istri mendapat 1/4 (seperempat) bagian sehingga apabila terdapat 2 (dua) istri yang sah maka masing-masing mendapat 1/8 (seperdelapan).
Seorang suami memiliki hak waris atas istrinya yang meninggal dunia. Suami berhak ½ bagian dari harta warisan apabila istri tidak memilik anak. Kalau istri memiliki anak maka suami berhak ¼ bagian dari harta warisan istrinya.
Bagian Orang Tua
Orang tua pewaris terdiri dari ayah dan ibu. Adakalanya pewaris lebih dahulu meninggal dibandingkan dengan kedua orang tuanya. Ayah dan ibu kandung menjadi ahli waris dari anak yang meninggal dunia. Sedangkan ayah dan ibu angkat tidak berhak atas warisan anak angkatnya. Demikian pula halnya dengan ayah dan ibu tiri, mereka juga tidak berhak atas warisan anak tirinya.
Seorang ayah memiliki tiga kemungkinan dalam menerima hak waris. Pertama, porsi bagian ayah adalah 1/6 bagian harta waris apabila pewaris meninggalkan fara’ waris laki-laki. Fara’ waris laki-laki adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki. Kedua, Ayah berhak menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan sisa harta yang ada apabila anaknya yang meninggal itu memiliki fara’ waris perempuan dan tidak memiliki fara’ waris laki-laki. Fara’ waris perempuan adalah anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Ketiga, Ayah mendapatkan seluruh harta warisan dengan cara ashabah setelah dzawil furudz mengambil bagiannya sepanjang pewaris tidak memiliki fara’ waris laki-laki dan fara’ waris perempuan.
Baca Juga: Walau Ada Omnibus Law, RUU Properti Masih Diperlukan, Lho!
Sedangkan seorang Ibu memiliki tiga kemungkinan dalam menerima hak waris. Besarnya hak waris Ibu tergantung kepada ada atau tidaknya fara’ waris yaitu salah satu dari anak laki-laki, anak perempuan, anak laki-laki dari anak laki-laki dan anak perempuan dari cucu laki-laki. Pertama, mendapatkan 1/6 dari harta warisan pewaris bila anaknya yang meninggal memiliki fara’ waris. Kedua, mendapatkan 1/3 dari harta warisan pewaris bila anaknya yang meninggal tidak memiliki fara’ waris. Ketiga, mendapatkan 1/3 dari sisa harta yang sudah diambil oleh para dzawil furudz, namun haknya 1/3 lainnya tidak berlaku.
Penutup
Pembagian waris ini penting dipelajari dan diajarkan calon pewaris kepada calon ahli waris. Karena sesungguhnya semua kita adalah calon pewaris yang pastinya tidak ada calon pewaris yang mengharapkan adanya perselisihan dalam membagi harta warisan. Oleh karenanya, pewaris berkewajiban membekali pengetahuan pembagian waris berdasarkan ilmu faraidh kepada calon ahli waris.
Akhirnya, calon pewaris perlu mengetahui cara aman dan bijak atas porsi pembagian warisan sesuai faraidh agar tidak menimbulkan gejolak. Semoga artikel ini bermanfaat.
Juneidi D. Kamil, SH, ME, CRA adalah Praktisi Hukum Properti dan Perbankan. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis. Untuk berkorespondensi, dapat disampaikan melalui email: kamiljuneidi@gmail.com.