RealEstat.id (Jakarta) - Arsitektur Rumah Jawa memiliki keunikan tersendiri. Pasalnya masyarakat Jawa menyukai bahasa simbol. Demikian penuturan Pakar Javanologi, Yuwono Sri Suwito, saat menjadi narasumber dalam seminar online bertema Arsitektur Rumah Jawa yang diselenggarakan Kenari Djaja dan Majalah Asrinesia, Kamis (13/1/2022).
“Kehidupan masyarakat Jawa yang berada di sepanjang bentang pulau Jawa ini memiliki ciri keistimewaan masing-masing, sehingga setiap daerah memiliki karakteristik desain rumahnya termasuk yang tinggal di pegunungan dan pesisir,” terang Yuwono Sri Suwito.
Aktif di Balai Konservasi Candi Borobudur dan Prambanan, Yuwono memiliki banyak catatan penting tentang bangunan rumah Jawa kuno. Menurutnya, dalam perkembangannya, rumah tradisional Jawa digunakan sebagai tempat tinggal dan berlindung manusia dari gangguan alam, sebagai rumah ibadah, tempat menyimpan, dan tempat bermusyawarah.
Baca Juga: Arsitektur Minangkabau: Kearifan Lokal dan Keharmonisan dengan Alam
"Arsitektur Rumah Jawa sebagai unsur kebudayaan, sangat dipengaruhi oleh manusia, tradisi dan kepercayaan, filosofi Jawa, bahan baku yang tersedia, serta teknik dan teknologi membangun," katanya.
Yuwono mencatat, setidaknya ada enam hal yang mewakili kearifan lokal dalam arsitektur Rumah Jawa. Pertama, pengontrolan iklim dan kelembapan melalui bentuk atap, peninggian lantai (bangunan panggung), dan penyelesaian dinding.
Kedua, pengamanan kenyamanan dan privacy melalui penyelesaian dinding, pintu dan jendela, serta halaman yang baik. Ketiga, naluri untuk mempertahankan diri terhadap lingkungan melalui konstruksi yang mudah dibongkar pasang.
Baca Juga: Arsitektur Masjid: Filosofi, Desain, dan Kemegahan Zaman
"Keempat, masyarakat Jawa juga telah membangun rumah tahan gempa melalui konstruksi khusus, seperti hubungan sendi antar tiang dan umpak, konstruksi dudur dan tumpangsari, sistem sambungan dengan pasak, serta sambungan purus dan lubang tanpa paku, sambungan ekor burung, sambungan miring berkait, dan sebagainya," tutur Yuwono.
Kelima, rumah Jawa memisahkan area sakral dan profan. Sebagai contoh, dari halaman pendhapa dan pringgitan merupakan area publik (public space) yang bersifat profan atau non-sakral. Sementara, dalem ageng—terutama senthong tengah—bersifat sakral, sedangkan gandhok, gandri, dapur merupakan private space.
"Keenam, tata vegetasi juga diperhatikan dalam arsitektur Rumah Jawa, di mana tanaman digunakan sebagai unsur lanskap Rumah Jawa. Tanaman pun dipilih berdasarkan kegunaan, karakterisitik visual, filosofi, dan tanaman sebagai pencipta keindahan," jelas Yuwono.
Baca Juga: Arsitektur Resort & Leisure: Perkawinan Harmonis Desain dan Alam
Tampil sebagai pembicara kedua, Revianto Budi Santoso, Dosen Arsitektur UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta, memaparkan konsep desain arsitektur Rumah Jawa dari masa ke masa, sejak masa pra-Islam hingga zaman modern. Menurutnya, arsitektur rumah Jawa memiliki tiga dimensi, yakni bentuk, ruang, dan konstruksi.
"Dilihat dari berbagai peninggalan pra-Islam berupa relief dan arca candi, arsitektur rumah tradisional Jawa memiliki beberapa ciri, seperti rumah berbentuk panggung dengan atap pelana dan limasan, sementara atap joglo baru dikenal setelah masa Islam," tutur Revianto Budi Santoso.
Di masa Islam, imbuhnya, Rumah Jawa membentuk bangunan majemuk yang berdempet yang terbagi penjadi area publik yang bersifat terang dan terbuka, serta area privat yang tertutup dan gelap. Pembagian areanya sebagai berikut: latar, pendopo, longkang, pringgitan, dalem, dan sentong.
Baca Juga: Arsitektur Instalasi Bambu: Beragam Gaya, Ramah Lingkungan, dan Tahan Lama
"Pada perkembangannya, arsitektur rumah Jawa mengalami transformasi bentuk dan ruang. Hal ini terutama dipengaruhi arsitektur dan budaya kolonial Belanda yang saat itu menguasai Jawa," jelas Revianto.
Beberapa transformasi bisa dilihat dengan penambahan balerata dengan pediment atau penambahan lojen (loji) sebagai gaya hidup baru (new lifestyle) pada saat itu. Ada pula rumah yang mengganti pendopo joglo kayu menjadi limasan besi dengan balerata yang menonjol.
Di masa peralihan yang lebih modern, bentuk arsitektur kian beragam, terutama dengan penggunaan bahan baku yang lebih kuat dan fungsional, seperti dinding tembok dan atap seng. Bentuk rumah pun banyak mengadopsi arsitektur Eropa dengan sentuhan lokal—biasa disebut rumah bergaya Indis.
Sementara, di masa kontemporer, masyarakat berusaha menggali kembali arsitektur Rumah Jawa dengan pendekatan yang lebih personal.
Baca Juga: Kampung Pecinan: Keindahan yang Tergerus Roda Ekonomi
Salah satu praktisi yang menerapkan filosofi arsitektur Jawa dalam desain bangunan modern adalah Eko Agus Prawoto. Arsitek lulusan Berlage Institute, Amsterdam ini bahkan memiliki beberapa karya arsitektur Rumah Jawa dalam konteks kekinian alias reuse construction.
Dari pengalamannya sebagai praktisi dan pakar di bidang konstruksi arsitektur bambu, Eko memperlihatkan bahwa pelestarian arsitektur rumah Jawa dapat terpelihara dan dikembangkan dalam arsitektur lebih baru, asal dilakukan secara baik dan benar.
"Jejak panjang berarsitektur masyarakat Jawa ini mengagumkan, sekalipun tampilannya mungkin sangat sederhana dan biasa saja," kata Eko Agus Prawoto.
Baca Juga: Mengupas Konsep Desain Arsitektur Bambu dalam Bangunan Modern
Menurutnya, untuk melakukan adopsi dan adaptasi arsitektur tradisonal Jawa menjadi bagian dari bangunan modern, perlu memerhatikan beberapa hal, yaitu kondisi dan dimensi, fungsi, relasi (orientasi ketinggian), transisi, artikulasi, dan energi baru.
Kendati demikian, Eko mengakui bahwa selalu ada kejutan saat pengerjaan di lapangan, sehingga perlu dicari solusi yang terbaik, tanpa “merendahkan” arsitektur tradisional atau menjadikan posisinya lebih rendah dari bangunan modern.
"Untuk itu diperlukan imajinasi dari arsitek sebagai pembuat aturan main, dan desain di sini merupakan playground bagi sang arsitek," katanya.
Lebih lanjut, dia mengatakan, keberadaan arsitektur Jawa telah teruji dalam rentang waktu yang panjang dan mampu melepaskan diri dari keterikatan ruang dan waktu. Bahkan atap limasan dan joglo sudah menjadi ikon arsitektur yang timeless dan melampaui batas geografis tempat asalnya.
Baca Juga: Adaptasi Arsitektur Hijau Pada Bangunan dan Lingkungan Perkotaan
Sementara itu, Direktur PT Kenari Djaja Prima, Hendry Sjarifudin mengatakan, potensi arsitektur di Indonesia bisa dilihat juga dari nilai seni budaya yang dikandungnya, yang masih mampu menggugah pelaku seni budaya dan pemerhati arsitektur.
"Keunikan arsitektur tradisional Nusantara di seluruh Tanah Air dapat diangkat menjadi daya tarik kalangan generasi muda dan pengembangan pariwisata arsitektur bagi turis mancanegara, kita harus dapat memelihara peninggalan budaya bersejarah ini dan menyampaikannya pada khalayak luas sesuai eranya," kata Hendry Sjarifudin, saat membuka seminar online yang diikuti 800-an peserta tersebut.
Pada kesempatan tersebut, Laretna T. Adishakti, pengajar Pascasarjana Arsitektur Universitas Gajah Mada yang menjadi moderator, berharap Seminar Arsitektur Rumah Jawa ini dapat memberi gambaran asal-usul bentuk arsitektur beratap Joglo, serta memberi pengalaman baru mengenai salah satu ikon arsitektur tradisional Nusantara.
Baca Juga: Kiat Arsitek dan Dunia Arsitektur di Masa Pandemi
Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Ahmad Saifudin Mutaqi mengapresiasi seminar online tentang arsitektur Rumah Jawa yang diselenggarakan Kenari Djaja dan Majalah Asrinesia sebagai wacana napak tilas warisan arsitektur Nusantara.
Bangunan Jawa yang berarsitektur Joglo, tutur Ahmad Saifudin Mutaqi, saat ini merupakan metamorfosa arsitektur masa lalu yang mudah diterima dalam era kekinian, karena bentuk, filosofi maupun konstruksinya mudah diadaptasi pada desain rumah modern.
"Keunikan arsitektur Joglo Rumah Jawa perlu terus dipelihara dan disosialisasikan, agar pengembangannya kemudian desainnya tetap berpijak pada pakem tradisi budaya yang adiluhung," pungkasnya.