RealEstat.id (Jakarta) – Konsultan properti global, JLL memprediksi, volume investasi properti di Asia Pasifik akan turun 5% - 10% pada tahun 2023. Hal ini menyusul penurunan sebesar 25% secara tahunan pada 2022.
JLL menyebut, penurunan ini disebabkan oleh kondisi ekonomi dan keuangan yang bergejolak sehingga mempengaruhi sentimen pasar.
Kendati demikian, tren sebaliknya dapat terjadi di industri perhotelan. Aliran investasi ke aset perhotelan diperkirakan meningkat 6% pada tahun 2023, melanjutkan kenaikan 10% - 15% pada 2022, seiring pelonggaran untuk sejumlah pembatasan akibat pandemi.
Baca Juga: Suplai Data Center Asia Pasifik Tumbuh 300%, Jakarta Nomor Dua
Roddy Allan, Chief Research Officer JLL Asia Pasifik mengatakan, optimisme yang dipicu oleh ekspektasi bahwa pandemi akan segera berakhir, perlahan beralih menjadi sikap kehati-hatian di tengah kekhawatiran tentang inflasi, suku bunga, dan geopolitik.
Dia menuturkan, meskipun kawasan Asia Pasifik cenderung lebih baik, karena permintaan domestik yang lebih kuat, kawasan ini tidak akan luput dari tantangan yang lebih luas.
"Akibatnya, akan ada peningkatan tekanan kepada pembuat kebijakan untuk berhati-hati dalam menyeimbangkan langkah-langkah dukungan saat ketidakpastian terus berlanjut,” kata Roddy Allan dalam siaran pers yang diterima RealEstat.id.
Baca Juga: Transparansi Sektor Properti Asia Pasifik Meningkat, Indonesia Masuk Kategori Semi-Transparan
Meskipun kegiatan penggalangan dana melambat, JLL melihat bahwa investor akan melihat ke sektor-sektor yang memiliki potensi faktor penarik struktural dan keuntungan yang lebih tinggi, yaitu: pusat data (data center), logistik, multikeluarga, dan sejumlah proyek greenfield yang terjadwal di pasar negara berkembang, termasuk India dan Asia Tenggara.
Menurut JLL, Jepang akan muncul sebagai tujuan investasi paling menarik, Hal ini didukung pelemahan Yen ditambah dengan suku bunga yang rendah.
Sementara itu, status Singapura sebagai tempat berlindung yang aman dan fundamental properti yang sehat akan terus menarik modal investasi. Selain itu, sistem kerja Australia yang sangat transparan serta karakteristik beta yang rendah dapat menarik para investor inti ke negara ini.
Baca Juga: Kota-kota Asia Pasifik Mesti Prioritaskan Dekarbonisasi Sektor Properti, Bagaimana Caranya?
Riset JLL menunjukkan bahwa mayoritas perusahaan (74%) bersedia membayar premi untuk menyewa sebuah gedung yang mengutamakan keberlanjutan (sustainability) atau memiliki kredensi ramah lingkungan dan sebanyak 22% mengatakan bahwa mereka sudah melakukannya.
Dengan sangat terbatasnya bangunan yang ramah lingkungan dan efisien, pemilik properti yang melakukan proyek retrofit bisa mendapatkan keuntungan dari sewa yang lebih tinggi, risiko keuangan yang lebih rendah, meningkatkan akses investasi yang lebih baik dengan harga yang menguntungkan, dan prospek yang lebih baik untuk menarik dan mempertahankan penyewa.
Peluang terletak pada premi sewa untuk bangunan bersertifikasi ramah lingkungan, yang muncul karena kesenjangan permintaan dan penawaran.
Baca Juga: JLL: Kuartal I 2022, Investasi Properti Asia Pasifik Naik 20%
Menurut riset JLL, penghuni di Asia Pasifik bercita-cita untuk memiliki sertifikasi keberlanjutan yang diakui pasar untuk setidaknya setengah dari portofolio mereka pada 2025.
Namun, pasokan gedung bersertifikasi ramah lingkungan yang saat ini sebesar 40% untuk stok perkantoran Grade A tidak cukup untuk memenuhi ambisi target net zero yang ditetapkan oleh penghuni
Di sektor perkantoran, survei JLL mengungkapkan bahwa 77% responden setuju bahwa kantor tetap akan menjadi pusat ekosistem jangka panjang bagi perusahaan mereka, tetapi aset kantor premium yang berkualitas tinggi akan mengungguli aset lainnya secara signifikan karena penghuni ingin meningkatkan kualitas ruang kantor mereka.
Baca Juga: Diprediksi Meningkat, Persaingan Aset Properti di Asia Pasifik Jadi Tantangan Bagi Investor
Sementara itu, di sektor logistik dan industri, permintaan terkait e-commerce masih bertahan dan diharapkan menjadi pendorong jangka panjang utama untuk ruang gudang, terutama di negara berkembang Asia di mana pertumbuhannya masih panjang.
Hal ini telah memicu pertumbuhan pembangunan properti yang signifikan di beberapa wilayah tersebut dengan 25,9 juta meter persegi stok baru diharapkan mulai beroperasi pada 2023 untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat.
“Prospek pasar real estat Asia Pasifik untuk 2023 masih memiliki ketidakpastian yang terus berlanjut. Sementara, prospek real estat yang tampak menantang dalam jangka pendek juga menghadirkan banyak peluang. Gangguan terhadap ekonomi akan relatif singkat, dan pelaku pasar harus berpikir untuk melampaui periode ini dengan memanfaatkan peluang yang ada di depan,” pungkas Roddy Allan.