RealEstat.id (Jakarta) – Apakah Anda pernah berpikir, mengapa konstruksi bangunan gedung di negara-negara maju terasa lebih kokoh dan nyaman dibanding gedung-gedung di Indonesia?
Atau pernahkah Anda mempunyai pengalaman buruk dengan kontraktor di Indonesia, baik terkait masalah saat proses pembangunan atau bangunan yang masih relatif baru tapi sudah bermasalah?
Memang ada beberapa faktor penting yang menjadi pembeda antara proses konstruksi di Indonesia dengan negara-negara yang lebih maju, misalnya Australia. Dibanding dengan Negara Kanguru ini, ada tiga faktor utama yang menjadi pembeda.
Tiga Perbedaan proses konstruksi di Indonesia dengan Australia:
Baca Juga: Kenaikan Biaya Konstruksi Tidak Akan Matikan Pasar Apartemen Indent di Australia
1. Proses Mendapat Lisensi Usaha Bidang Konstruksi
Proses mendapatkan lisensi berusaha di bidang konstruksi di Indonesia tergolong sangat cepat dan mudah, sehingga banyak kontraktor yang melakukan praktik usaha tanpa adanya bekal ilmu dan pengalaman yang cukup.
Lain halnya dengan di Australia. Institusi resmi pemerintah mewajibkan serangkaian syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum seseorang atau sebuah badan usaha dapat mengajukan lisensi konstruksi.
Syarat pertama, pendidikan aplikan setara sarjana dalam bidang konstruksi.
Kedua, pengalaman bekerja selama bertahun-tahun di bawah pengawasan seorang Licensed Contractor atau Qualified Supervisor di proyek. Pengalaman ini tidak hanya dalam bidang manajemen konstruksi, tetapi aplikan juga harus handy alias mampu menggunakan alat-alat pertukangan dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tukang, seperti memasang bata, plafon, keramik, dan lain sebagainya.
Setelah dapat dibuktikan bahwa aplikan sudah memenuhi syarat, barulah aplikan tersebut dapat mengajukan lisensi berusaha atau Contractor License.
Baca Juga: Peluang Industri Konstruksi di Tengah Pesta Demokrasi 2024
2. Regulasi Nasional dan Penegakannya
Perbedaan kedua adalah regulasi nasional dan enforcement-nya. Di Australia, semua kontraktor yang akan membangun rumah tinggal atau Gedung tidak hanya memerlukan lisensi, tetapi juga asuransi yang membatasi nilai maksimum proyek yang dapat diambil seorang kontraktor dalam waktu tertentu.
Pihak asuransi juga akan melakukan 'background check' termasuk pengecekan kesehatan finansial dari kontraktor tersebut jika ingin mengajukan nilai plafon yang lebih tinggi.
Selain itu, material yang dijual di pasar untuk melayani kebutuhan proyek sudah pasti lolos uji dan sesuai dengan Australian Standards, sehingga kualitas material yang didapatkan oleh end user sangat baik.
Contoh: tidak ada jendela aluminium yang terlalu tipis yang tidak kedap suara, lalu tidak ada besi beton "banci" yang beredar di pasar, sehingga kualitas struktur bangunan selalu terjaga.
Selain itu, bangunan di negara maju seperti Australia terasa lebih aman dan nyaman, karena dalam proses desain dan konstruksi, arsitek dan kontraktor harus mengikuti panduan-panduan yang terdapat dalam Building Codes of Australia (BCA).
Contoh: tinggi stop kontak, kedalaman conduit/perkabelan listrik jika tertanam dalam tanah, sampai dengan dimensi minimum ruangan dan tinggi minimum plafon sudah diatur sedemikian rupa dengan jelas dalam BCA demi keamanan dan kenyamanan pengguna jasa konstruksi.
Jika ada kontraktor, arsitek, atau supplier yang kedapatan tidak mengikuti aturan, maka bangunan yang akan dibangun berisiko tidak akan mendapatkan izin untuk mendirikan bangunan (di Indonesia seperti IMB atau PDB).
Baca Juga: Perusahaan Teknologi Konstruksi Indonesia Ini Raih Pendanaan Rp216 Miliar
Bahkan, sanksi-sanksi tegas lain menanti, seperti pencopotan lisensi hingga sanksi perdata atau pidana akan diberlakukan secara ketat kepada oknum-oknum kontraktor yang melanggar.
Sebaliknya, kurangnya aturan dan penegakan hukum yang tegas di Indonesia seringkali dimanfaatkan oleh penyedia jasa konstruksi untuk membanting harga sampai di bawah harga normal, tetapi dengan kompensasi kualitas dari material yang diberikan dan metode kerja yang buruk atau tidak layak.
Apalagi, tidak semua proyek residensial di Indonesia menggunakan jasa konsultan Quantity Surveyor yang dapat membantu membuatkan dokumen kontrak yang benar serta membantu untuk memastikan spesifikasi dan metode kerja yang ditawarkan kontraktor sesuai dengan Rencana Kerja dan Syarat-Syarat (RKS) dan Spesifikasi Teknis di saat proses pemilihan kontraktor/tender.
Jika mengandalkan jasa arsitek pada umumnya saja, akan ada banyak hal yang tidak di spesifikasi kan dengan jelas dalam gambar dan Bills of Quantity (BQ).
Hal ini dapat dimanfaatkan kontraktor nakal untuk menggunakan material atau menerapkan metode kerja yang di bawah standar.
Contoh yang umum terjadi adalah pekerjaan plafon yang biasanya dalam gambar kerja hanya diberikan keterangan brand gypsum dan rangka hollow tertentu, tanpa spesifikasi yang jelas.
Alhasil, ketebalan dan ukuran rangka yang dipakai kontraktor terlalu tipis (banci) sehingga berisiko menghasilkan produk plafon yang kurang baik dan tidak tahan lama.
Baca Juga: Aplikasi SiPetruk (Sistem Pemantauan Konstruksi) Sudah Bisa Diunduh
3. Moral dan Tanggung Jawab
Faktor terakhir adalah perbedaan moral dan tanggung jawab dari pelaku usaha konstruksi.
Di Australia, mayoritas kontraktor menjunjung tinggi asas kejujuran, norma-norma yang baik, serta duty of care bahwa kontraktor tidak hanya menjaga integritas dalam lingkungan proyek, tetapi juga mempunyai beban moral dan tingkat kepedulian yang tinggi terhadap hasil kualitas bangunan. Mereka tidak semerta-merta berpatokan pada faktor untung rugi saja.
Berbeda dengan di Indonesia, praktik-praktik pungli, gratifikasi, dan koruptif sejenis lainnya hampir selalu ada di lingkungan proyek. Ditambah dengan banyaknya kontraktor yang orientasinya hanya cuan dan tidak terlalu memperhatikan kualitas dan tidak take pride in their work.
Faktor ini berperan penting dan turut andil dalam melahirkan proyek- proyek gagal di Indonesia.
Semua hal ini dapat dicegah jika pengguna jasa konstruksi memahami betul iklim konstruksi di Indonesia sehingga terdorong untuk lebih kritis sebelum memilih kontraktor.
Jangan terkecoh dengan harga murah, tetapi harus melakukan planning yang matang sebelum memulai proses Pembangunan.
Gambar Kerja, BQ, RKS, Spesifikasi Teknis, dan dokumen-dokumen kontrak lainnya harus dipersiapkan dengan matang sebagai dasar untuk memilih kontraktor.
Bila perlu, gunakan jasa konsultan Quantity Surveyor (QS) dan Construction Management (MK) yang mempunyai rekam jejak baik dan terpercaya untuk mempersiapkan proses pra-konstruksi dan melakukan pengawasan mutu selama proses konstruksi dengan baik.
Baca Juga: Gravel Siap Sediakan Kebutuhan Konstruksi di IKN Nusantara
Penutup
Saya ingin melihat kualitas output bangunan di Indonesia semakin meningkat hingga dapat bersaing dengan negara-negara maju di dunia. Hal ini dapat dicapai jika seluruh stakeholder proyek sadar atas pentingnya hal ini, dan mengambil peran untuk saling akuntabel dan melakukan prosedur dengan proper sebagaimana mestinya.
Terutama saya mendorong para stakeholder yang sudah familiar atau pernah tinggal di negara maju supaya dapat membantu memberikan contoh dan pengaruh yang baik, serta menerapkan budaya/kultur kerja yang positif di Indonesia.
Saya juga berharap agar masyarakat pengguna jasa konstruksi di Indonesia lebih cermat dalam melakukan due diligence sebelum memilih kontraktor, untuk memastikan bahwa kontraktor yang ditunjuk adalah kontraktor yang cakap dan ahli, serta yang tidak kalah penting mempunyai tanggung jawab moral yang tinggi dalam mengemban tugas usaha.
Artikel ini ditulis oleh: Onesiforus Elihu Susanto, B.Cons. Mgt. & Property, MPolEc.
Penulis adalah Director & Founder PT Sanata Pembangun Karya (Indonesia) dan Sanata Interconstruction Australia Pty Ltd (Australia), juga kontraktor Indonesia yang memiliki lisensi dan sertifikasi di negara bagian New South Wales, Australia. Korespondensi dapat dilakukan melalui email: frontdesk@sanataconstruction.com
Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News