Suku Bunga KPR Enggan Turun, Kredit Macet Bakal Melambung

Penurunan suku bunga acuan yang dilakukan Bank Indonesia dinilai hampir tidak ada manfaatnya, karena suku bunga KPR tidak ikut turun secara signifikan.

RealEstat.id (Jakarta) - Kendati ada kecenderungan tren menurun, Bank Indonesia (BI) tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuan di angka 4%. Ironisnya, sampai saat ini penurunan tersebut tidak diikuti oleh penurunan suku bunga acuan kredit (SBAK) dari pihak perbankan.

Bahkan, SBAK di sejumlah bank BUMN penyalur KPR tercatat masih cukup tinggi, Bank BTN masih mematok bunga 10,5%, Bank BRI 9,9%, Bank Mandiri 10,20%, dan Bank BNI 10,20%. Kondisi ini membuat para pelaku pasar khususnya sektor properti mempertanyakan alasan pihak perbankan yang masih enggan juga belum menurunkan suku bunga.

Baca Juga: Tips Mudah Generasi Milenial Memilih Produk KPR

Padahal, turunnya suku bunga kredit diharapkan akan memberikan harapan bagi para pelaku, khususnya di sektor properti untuk mengurangi beban bunga yang selama ini cukup tinggi. Demikian pula harapan masyarakat untuk dapat menikmati bunga KPR lebih rendah lagi, sehingga daya beli menjadi semakin terjaga.

Melihat kondisi yang terjadi dilapangan, Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch (IPW) mengatakan, turunnya suku bunga acuan yang dilakukan BI hampir tidak ada manfaatnya. Pasalnya, suku bunga KPR perbankan masih bertengger cukup tinggi belum juga terlihat adanya penurunan yang signifikan.

Baca Juga: BNI Griya Expo Sasar Generasi Milenial Pencari Rumah Bergaji Minimal Rp2 Juta

“Harusnya pihak perbankan bisa lebih mengedepankan kewajaran dengan ikut menurunkan suku bunga kredit mereka. Karena selama ini menurunnya BI 7-Day Reverse Repo Rate tidak selalu diikuti dengan penurunan suku bunga perbankan,” kata Ali Tranghanda.

Menanggapi banyaknya pihak perbankan yang memberikan alasan bahwa cost of fund yang masih tinggi dan risiko yang juga tinggi, Ali mengatakan, bahwa tanpa adanya keringanan dalam kondisi—krisis akibat pandemi— seperti saat ini, malah risiko NPL (kredit macet) akan semakin tinggi.

Baca Juga: Perlu Diketahui, Jenis-jenis Akad KPR Syariah

“Bila tidak ada penurunan suku bunga oleh perbankan, maka justru risiko NPL akan semakin tinggi menyusul menurunnya daya cicil dari konsumen dan pelaku bisnis. Artinya pihak perbankan harus dapat membantu kondisi konsumen dan pelaku bisnis dengan mengurangi beban dari bunga,” tegas Ali.

Seperti diketahui juga, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) meminta perbankan untuk mewaspadai kinerja kredit bermasalah non performing loan (NPL) per Juni 2020 mencapai 3,11% atau naik dibandingkan Mei 2020 yang mencapai 3,01%. Tertinggi ada di kelompok bank skala kecil dan menengah.

Baca Juga: 5 Langkah Restrukturisasi Kredit Properti Akibat COVID-19

Menyitir Anggota Dewan Komisioner LPS, Didik Madiyono, Ali menuturkan, bila angka NPL cenderung naik, perlu diwaspadai juga restrukturisasi kredit yang saat ini posisinya naik mencapai 21%.

Penurunan suku bunga diharapkan malah akan memberikan dampak positif karena beban bunga akan menjadi lebih ringan dan mempunyai kecenderungan NPL juga bisa ditekan. Tanpa ada penurunan suku bunga perbankan maka para pelaku bisnis menjadi terbebani dengan omset yang juga menurun saat ini.

“Kita mengharapkan pihak perbankan untuk segera menurunkan suku bunganya, jangan sampai momentumnya hilang dan malah pasar terlambat untuk dapat merespon dengan baik,” pungkasnya.

Redaksi@realestat.id

Berita Terkait

Fahri Hamzah, Wamen PKP (Foto: Dok. Kementerian PKP)
Fahri Hamzah, Wamen PKP (Foto: Dok. Kementerian PKP)
Ilustrasi mengurus HGB ke SHM, (Sumber: Shutterstock)
Ilustrasi mengurus HGB ke SHM, (Sumber: Shutterstock)
Ilustrasi-perhitungan-Pajak-Penjualan-Apartemen-Second-Bagi-Pembeli-dan-Penjual. (Sumber: Istock)
Ilustrasi-perhitungan-Pajak-Penjualan-Apartemen-Second-Bagi-Pembeli-dan-Penjual. (Sumber: Istock)