RealEstat.id (Jakarta) - Interupsi menulis opini ini, saya sintuh buku baru 'Kota untuk Semua' (2020), barusan dikirim penulisnya: Bapak Wicaksono Sarosa. Merebak aroma kopi gayo long berry, regukan pertama menyintuh bibir menerobos faring, tanpa asap rokok yang adiktif-karsinogenik. Sesayup lagu Bimbo, liriknya meng-install jiwa budaya. Renewal semangat. Re-Jiayou. Sepotong hari tatkala menjadi peserta PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), yang setia. Tangguh beraktivitas di rumah.
Interupsi selesai. Jemari lanjut menari di atas tuts laptop menganga, membentuk huruf 'V' dari Victory. Pikiran saya menulis. Bola mata mengawasi falsifikasi diksi dan narasi. Ya, patik nekat menulis soal budaya hukum. Paradoks PSBB? Dan, apa sih tali-temalinya dengan membangkit paradigma "new". Apa persintuhan hukumnya, meminjam istilah Prof. Tengku Jafizham (alm), guru besar ilmu hukum dari FH USU—yang seangkatan dan bersintuhan pikiran dengan Prof. Mahadi. Persintuhan, akar katanya sintuh, artinya raba; kena; singgung.
Baca Juga: Saat FLPP Menjadi Dana Tapera, Bagaimana Nasib Perumahan Rakyat?
Kini, banyak lahir diksi dan narasi baru. Ataupun yang diklaim baru, soal "new". Mulai dari refocusing (anggaran). Renewal (city). New normal. New money. Rekalibrasi (perencanaan kota), webinar yang dihelat SAPPK ITB saya ikuti. Untung saja Bank Indonesia cepat membaca, hingga tak sontak buru-buru mencetak uang baru, iya kan bang Djoko Eddy Abdurrahman (Nasution)?
Dari diksi dan narasi itu tanda-tandanya masih ada semangat. Ada haluan juncto harapan baru. Untuk bangkit juncto maju. Bahkan yang menurut saya dahsyat dan banyak yang tergagap, berasal dari opini "Install Ulang Tata Kehidupan", ditulis Prof. Arif Satria, Rektor IPB. Kalau Rektor sempat menulis, mengapa kita tidak?
Saya belum tahu apa "new" dari pakar hukum, setelah Critical Legal Studies yang membius, dan buku best seller internasional 'Tomorrow Lawyer' dari Richard Susskind yang mencemaskan, turut serta e-Court, yang konon hendak mengubah tradisi litigasi.
Tak mungkin bertanya pada John Austin, penganjur aliran positivisme keras. Ataupun pelanjutnya: H.L.A Hart yang disebut sebagai soft positivism. Keduanya tabah kepada ilmu hukum yang pelik. Menjadi pelajar hukum itu berat, biar orang cerdas saja. Banyak yang tetiba menambah titel 'SH' di belakang nama.
Mungkin sor pada profesi lawyer & lawyering. Atau hendak rekalibrasi? Kudu meng-install jiwa juncto Jiayou-nya. Apalagi, jika bersintuhan teori hukum yang dalam kekusutan: 'perplexities of legal theory', meminjam frasa Herbert Lionel Adolphus Hart dalam bukunya 'The Concept of Law' (1961). Bisa-bisa makin bersintuhan gagal paham kepada "abc-xyz" ilmu hukum, bahkan dalam skala besar.
Walau lelaku dan wajah warga era PSBB banyak yang kusut, namun tetap banyak yang semangat. Tetap tabah. Buktinya, 60% Warga Jakarta di Rumah (sebut saja "Pola 60% WJdR"). Pun, ada warga yang "Nekat Buka Lapak" (sebut saja "Pola NBL"); yang menjadi lemyataan empiris di era yang sama: PSBB!
Baca Juga: 6 Wajah Bisnis Properti Tanah Air di Era “New Normal”
Kedua pola itu ada di ruang sosial. Aturan dan kebijakan PSBB bersua dan berpapasan dengan warga kota. Dari dua pola itu saya membangun postulat, adanya "Paradoks PSBB".
Walau kedua pola bersintuhan, karena sama dibalut tabah juncto semangat menurut kepentingan dan idealisasi masing-masing. Keduanya sekilas seperti antimoni. Ups, tunggu dulu. Quodnon, antimoni, ternyata pada kedua pola ada kesamaan dalam semangat kehidupan warga.
Lantas untuk apa kita tabah? Menjadi peserta PSBB Jakarta yang setia? Berkah "new" apa hendak diperoleh? Selain kado PP Tapera yang melegalisasi kewajiban 3% Simpanan Tapera? Eh, kok kado, sih? Nanti dibahas soal stability versus change ikhwal Dana Tapera. W.Feidemann menyebutnya dengan 'Principle Antimonies in Legal Theory' dalam buku 'Legal Theory' (1953).
Pendemi Covid-19 ini mengubah kota kita. Juga wajah kota dunia. Diksi wajah itu bahasa Arab, dari kata 'wajhu'. Bacalah QS: Arrahman: 27 ('Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan'). Ayat itu bisa menjadi petunjuk dan inspirasi kepada kota.
Lihat sepinya kota Wuhan kala dilanda virus corona, yang disebut media sebagai “zombie city”. Walaupun, tetap ada semangat bangkit dari narasi berteriak warganya: 'Wuhan Jiayou', 'Wuhan Jiayou', 'Wuhan Jiayou' (artinya, 'Semangat Wuhan'). Apa persintuhan dengan Bimbo?
Rumah Sebagai “Vaksin"
Menghadapi pendemi Covid-19, rumah menjadi jawaban global. Ibarat literatur, rumah adalah magnum opus, yang berpengatuh pada corak budaya. Rumah jadi benteng. Banyak literatur terbaru menjelaskan itu secara pro bono. Dapat diakses dengan menyintuh lapak; eh, lamannya.
"Housing has become the front line defence against the coronavirus,” ulas Leilani Farha, UN Special Rapporteur untuk Hak atas Perumahan Layak. Saya sukaria mengutip itu dalam tulisan mendalam dan menyelam, tak sekadar berenang.
Sepertinya awak berlebihan? Tidak, wak! Malah patut dan manut kepada Sunnah. Sebab, tak beriman orang yang berlebihan, kecuali berlebihan kepada ilmu pengetahuan dan kebajikan, ulas Al Ghazali, mengutip Hadits Nabi Muhammad SAW.
Eureka, pendemi Covid-19 dan penerapan PSBB, seperti mentari menyibak awan gelap, jika Anda penganut pikiran positif. Sebab, pendemi Covid-19 menyibakkan pentingnya rumah, dan perumahan serta permukiman. Rumah menjadi “vaksin” perlindungan keluarga. Patik menulis itu di majalah Realestat Indonesia, Volume I, Edisi 161, Mei 2020.
Baca Juga: Walau Ada Omnibus Law, RUU Properti Masih Diperlukan, Lho!
Dalam tulisan pendek itu, saya mengungkap dua ekstrem. Antara pola lelaku sosial yang di depan saya sebut Pola NBL dengan Pola 60% WJdR. Dua pola yang paradoks. Pasti menarik diulas dengan analisa ala Paradoks Zeno. Zeno's Paradox. Zeno adalah filsuf Yunani kuno lahir 490 sebelum Masehi di Elea, kota perantauan orang Greek. Banyak misteri ilmu dan sains disibak dengan Zeno' Paradox. Saya mencoba menerapkannya dalam skala kecil-kecilan. So, jangan gegabah membilang berfilsafat itu jahat Filsafat itu baik dan budiman.
Orang paling ideal dalam berbuat baik mestinya negara. Tugas negara mengurusi dan mengintervensi sosial-budaya-ekonomi, bahkan haluan politik. Menjadi Negara Pengurus. Bukan Negara Penjaga Malam. Ya, agar warga yang dalam belitan Pola NBL tak lagi dalam situasi paradoks, apalagi paradoks berkelanjutan. Sebab, warga Pola NBL akan divonis melawan hukum, against the law, jika memakai teori hukum positivisme yang totok ala John Austin, Bapak Ilmu Hukum Inggris, lahir 3 Maret 1790, persis tanggal milad istri saya, Ina Aie Tanamas.
Namun, jika diulas menurut teori hukum progresif dari Satjipto Rahardjo, kaum Pola NBL bukan pelaku. Akan tetapi korban penerapan kebijakan karena, jika tanpa intervensi jaring pengaman sosial utuh menyeluruh, maka ada Pola NBL.
Prof. Satjipto Raharjo memang penganjur teori hukum berbasis kemanusiaan (humanisme). Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Hukum yang memanusiakan manusia, kata sang Profesor yang juga berlatar sosiolog.
Yang paling sulit itu mempertemukan ajaran hukum progresif dengan ajaran hukum pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja yang diturunkan menjadi pembangunanisme (developmentalism). Kedua ajaran itu dipertemukan Romli Atmasasmita dengan Teori Hukum Integratif. Seperti persintuhan HAM dalam pembangunan ekonomi. Seperti persintuhan isu lingkungan dalam pertambangan.
Baca Juga: Dari Omnibus Law ke Omnibus “Happy” Law
Kembali ke soal Pola NBL. Sebab itu, meredakan desakan anasir paradoks pada warga berpola NBL adalah tugas negara. Strateginya, mengubah peserta NBL menjadi peserta warga "60% WJdR".
Dari postulat yang menyibak adanya kedua pola itu dalam ruang sosial, tugas legal planner melahirkan strategi budaya hukum bekerja cerdas. Yang mengubah hukum yang garang menjadi hukum yang budiman namun tegas, seperti sosok Anies Baswedan, begitu penilaian subyektif saya dalam dinamika PSBB Jakarta.
Lantas, sekali lagi, untuk apa setia menjadi peserta PSBB? Jika hanya untuk sedikit tambah pandai memakai masker saja? Membuat pandai mencegah masker tak lagi jadi benda langka?
Mari kita belajar kepada Bimbo. Tak usah jauh belajar cq. studi banding ke Wuhan. Walau boleh meniru 'Wuhan Jiayou'.
Sintuhan Bimbo
Majelis pembaca, dorongan tenaga dari perspektif budaya hukum berperan memajukan pemikiran. Tenaga yang melompatkan perubahan sosial dalam penataan perkotaan—sebagai agenda baru. Re-urban renewal. Itu renewal yang saya catatkan.
Jika belajar dari syair lagu Bimbo, cernalah seorang anak bertanya pada bapaknya. Ayah, untuk apa berlapar-lapar puasa? Berikut liriknya:
“ada anak bertanya pada bapaknya/
buat apa berlapar-lapar puasa/
ada anak bertanya pada bapaknya/
tadarus tarawih apalah gunanya".
Bimbo menjawab cerdas. Bimbo menjawab lebih awal dari teriakan 'Wuhan Jiayou'. Pada lirik berikutnya Bimbo dengan sahdu menjawab:
"lapar mengajarmu rendah hati selalu/
tadarus artinya memahami kitab suci/ tarawih mendekatkan diri pada Ilahi”.
Baca Juga: Tips Membuka Kembali Ruang Perkantoran di Era ‘New Normal’
Analogi lagu Bimbo, aha! Efek pendemi Covid-19 dan dinamika PSBB tidak hanya mengubah perilaku mikro. Masyarakat lebih pintar sedikit memakai masker dan rajin mencuci tangan. Namun secara makro, menjadikan kota pun demikian otoritas kota, sebagai entitas yang “rendah hati” kepada warga. Juncto, kota dan warga yang saling menyapa. Kota dan warganya yang memahami dan saling mendekati. Saling bersintuhan. Bukan atraksi menjauhi, dan tidak ada diksi memaki. Menjadi kota yang inklusif. Menjadikan kota yang memberdayakan, empowering city, kata pak Parwoto, sang suhu perumahan komunitas, sosok yang teduh dan rendah hati. Dalam diam, ilmunya banyak patik ambil. Termasuk caranya tersenyum dikulum.
Hak atas Kota
Saya membuat postulat, efek dinamika penerapan PSBB, harus ada bonus modal sosial. Yang membangkitkan relasi antara kota dan komunitas yang berkelanjutan, seperti Sustainability Cities and Communities dalam instrumen Sustainable Development Goals (SDG’s). Yang menegaskan warga berhak atas kota. Yang mengonfirmasi Kota untuk Semua (cities for all). Yang berpartisipasi pada New Urban Agenda, yang jika diterapkan, menyokong garis kebijakan Anies Baswedan: 'Bangun Kotanya, Bahagiakan Warganya'.
Saat usai interupsi dan menulis lagi, saya tetap berada di rumah. Seperti Pola 60% WJdR. Demi menjaga kota Jakarta. Menjadi bagian dari cluster warga yang berikhtiar tangguh dalam merelaksasi kota. Dari ragam beban kota, idem ditto menjadi bagian yang "peneliti" partisipatif yang menghayati PSBB dari hari ke hari. Tak hanya data dan statistik, seperti selalu kita tonton pada siaran televisi.
Baca Juga: Desain Arsitektur dan Interior Rumah Ideal di Era “New Normal”
Entah sudah menghemat berapa banyak BBM dan kurangi polusi kota. Pun, beraktivitas dari rumah, awak makin sor menuliskan hal ikhwal budaya hukum efek pendemi Covid-19. Ayok, tebarkan 'New-Hope'. Re-NewJakarta.
Hidup kudu berlanjut. Dengan tangguh. Walau bukan sekadar hidup, pesan Buya HAMKA. Apapun hal yang normal baru yang hendak ditargetkan pada kota, ikutilah petunjuk Arrahman:27.
Kota tak hanya perlu kilau kebesaran. Namun kota yang tandem keagungan dengan kemuliaan. Visi mengenai kota yang memuliakan manusia sebagai makhluk Tuhan. Mari berpartisipasi pada kota. Turut serta merawatnya. Menjaga dari corona, beraktivitas dari rumah saja. Menyumbang budaya hukum kota, saya pun menjadi peserta PSBB setia. Tersebab kita berhak atas kota. Kota yang tangguh. Tahniah Jakarta Tangguh, yang ke-493. Tabik.
Muhammad Joni adalah praktisi hukum properti, Managing Director Smart Property Consulting (SPC), Sekretaris Umum The HUD Institute, dan Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI). Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis.