Program Tapera Menyisakan Sejumlah Masalah Serius

Dengan keluarnya PP Tapera, artinya Pemerintah belum sepenuhnya mendengarkan kritik yang selama ini disampaikan stakeholder properti Tanah Air.

Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch (RealEstat.id)
Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch (RealEstat.id)

RealEstat.id (Jakarta) - Belum lama ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangi PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Perlu diketahui, prinsip utama Tapera adalah gotong royong dan merupakan salah satu bentuk kehadiran negara dalam menyejahterakan rakyat, khususnya di bidang perumahan.

Pemerintah bersama dengan DPR mendukung lahirnya Undang-Undang (UU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang bertujuan untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembangunan perumahan dalam rangka pemenuhan kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Baca Juga: 6 Wajah Bisnis Properti Tanah Air di Era “New Normal”

Meskipun program Tapera masih memiliki beberapa kelemahan dalam hal undang-undang, pemerintah tetap yakin untuk menjalankan program ini, karena diperkirakan program ini dapat membantu mensejahterakan banyak masyarakat terutama masyarakat berpenghasilan rendah agar bisa memiliki tempat tinggal yang murah tapi layak.

Dengan keluarnya PP tersebut, pemerintah belum sepenuhnya mendengarkan kritik yang selama ini disampaikan para pengusaha maupun pengamat. Pasalnya, hampir tidak ada perubahan peraturan dari awal terbentuknya Tapera.

Baca Juga: Pasar Perkantoran Konvensional Bergeser Jadi Lebih Compact Akibat COVID-19

Selain itu, lembaga baru ini dikhawatirkan akan menjadi beban baru setelah banyaknya lembaga pembiayaan perumahan lainya. Terkait hal tersebut, ada beberapa hal yang sebenarnya masih perlu dipertimbangkan:

  • Tapera berpotensi untuk menambah beban pengusaha disamping sudah banyaknya iuran, seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan lainnya. Meskipun aturan iuran 2,5% untuk pekerja, dan 0,5% untuk pengusaha, namun pada kenyataannya banyak juga pekerja yang menolak, sehingga beban keseluruhan menjadi beban pengusaha. 
  • Dari sisi kelembagaan, harusnya pemerintah bisa menggunakan lembaga yang sudah ada dengan sistem satu iuran untuk kemudian dibagi-bagi untuk iuran kesehatan, pendidikan, pensiun, dan perumahan, sehingga pengusaha pun tidak dibebani oleh beberapa iuran yang berbeda juga dalam hal administrasinya satu dengan yang lain.
  • Tapera seharusnya lebih sebagai nirlaba dan tidak memerlukan manager investasi dalam pengelolaan dananya. Biaya yang dikeluarkan untuk manager investasi, biaya karyawan, biaya operasional dan lain-lain membuat beban biaya tinggi, yang akan membebani pemerintah atau nantinya lebih berorientasi komersial. Penunjukan manager investasi sebagai pengelola dana Tapera, selain biaya yang ada juga mempunyai risiko kerugian. Bila hasil kelola merugi, maka berdasarkan UU Pasar Modal, manager investasi tidak bisa disalahkan karena kerugian investasi. Sangat ironis karena dana Tapera merupakan pertanggungjawaban terhadap uang rakyat.
  • Pengawasan yang dilakukan seharusnya melibatkan wakil dari peserta Tapera, dalam hal ini masyarakat, profesional, dan para pengusaha karena dana Tapera merupakan dana masyarakat. 
  • Perihal sebagian modal dana Tapera akan dialirkan dari Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan potensi dana Rp30 triliun merupakan bentuk ketidakpahaman pemerintah mengenai konsep yang berbeda antara Tapera dan FLPP Sehingga tidak dapat secara langsung menjadi disamakan dengan Tapera. FLPP sendiri bersumber dari APBN yang berbeda dengan Tapera yang berasal dari masyarakat. 
  • Meskipun sistem gotong royong, namun Tapera tidak terlalu bermanfaat untuk mereka yang sudah punya rumah. Karena dana hanya digunakan untuk membantu golongan MBR memeroleh rumah, sedangkan golongan menengah pun mempunyai hak juga untuk mempunyai rumah. 

Baca Juga: Pasar Perumahan: Banyak Pengembang Terancam Kolaps!

Saat ini dikhawatirkan Tapera memiliki celah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pihak tertentu, karena dana Tapera yang terkumpul dapat mencapai Rp50 triliun setahun. Dana ini, dengan kelolaan manager investasi, dapat bertendensi ke arah komersial dengan bancakan pihak-pihak tertentu. 

Karenanya Indonesia Property Watch meminta secara khusus kepada pemerintah untuk menyikapi secara kritis penyelenggaraan Tapera ini dari sisi pengawasan dan implementasinya di lapangan, sekaligus warning kepada BP Tapera untuk dapat memberikan pelaksanaan dan pengelolaan dana yang jujur dan transparan. 

Ali Tranghanda adalah pakar properti nasional dan CEO Indonesia Property Watch. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis.

Berita Terkait

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) dan Satu Kahkonen, Country Director World Bank Indonesia dan Timor Leste, saat pertemuan di Jakarta, Rabu, 20 Maret 2024. (Foto: Dok. ATR/BPN)
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) dan Satu Kahkonen, Country Director World Bank Indonesia dan Timor Leste, saat pertemuan di Jakarta, Rabu, 20 Maret 2024. (Foto: Dok. ATR/BPN)
Dari kiri ke kanan: Basuki Hadimuljono, Menteri PUPR; Agus Harimurti Yudhoyono, Menteri ATR/Kepala BPN; dan Airlangga Hartarto Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. (Foto: Dok. ATR/BPN)
Dari kiri ke kanan: Basuki Hadimuljono, Menteri PUPR; Agus Harimurti Yudhoyono, Menteri ATR/Kepala BPN; dan Airlangga Hartarto Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. (Foto: Dok. ATR/BPN)
Foto: Dok. Kementerian ATR/BPN
Foto: Dok. Kementerian ATR/BPN