RealEstat.id (Jakarta) - Sektor properti harusnya dapat menjadi salah satu fokus pemerintah dalam menggerakkan ekonomi, mengingat paling tidak ada 175 industri yang terkait langsung maupun tidak langsung di sektor properti. Properti sebagai lokomotif ekonomi, harusnya juga menjadi sektor prioritas menggerakkan ekonomi nasional, salah satunya dengan mendapat stimulus.
Seperti kita ketahui, saat ini Pemerintah tengah berusaha menggerakkan ekonomi melalui sektor-sektor industri prioritas, salah satunya otomotif. Sektor ini menjadi prioritas pemerintah untuk diberikan relaksasi, sehingga dimungkinkan pertumbuhan ekonomi akan terjaga.
Baca Juga: Multiplier Effect Sektor Perumahan Diyakini Bantu Pemulihan Ekonomi Nasional
Pemerintah telah memberikan relaksasi pajak untuk industri otomotif melalui PPnBM pada jenis mobil sedan dan 4×2 dengan mesin di bawah 1.500 cc. Kebijakan tersebut mulai diterapkan selama sembilan bulan sejak Maret. Pada Maret hingga Mei relaksasi sebesar 100%, lalu 50% pada Juni hingga Agustus, dan 25% pada September hingga Desember.
Hal ini akan memengaruhi pertumbuhan di sektor industri ikutannya seperti jasa keuangan asuransi, hingga usaha bengkel kecil. Ada 1,5 juta pekerja ini di produksi otomotif, belum lagi pekerja dari industri yang secara tidak langsung terkait diperkirakan mencapai tiga jutaan orang. Angka ini membuat sektor otomotif menyumbang setidaknya 17% dari total industri manufaktur.
Perputaran uang di sektor ini pun terbilang cukup tinggi berkisar antara Rp180 triliun – Rp200 triliunan. Setelah sempat anjlok pada tahun 2020, maka dengan adanya relaksasi ini target tahun 2021 diperkirakan mencapai 750.000 unit. Banyak pertimbangan lain yang membuat pemerintah memberikan stimulus ke sektor ini.
Baca Juga: Sektor Perumahan Berpeluang Tumbuh di Tengah Resesi, Ini Penyebabnya
Lantas bagaimana dengan sektor properti? Ternyata, perputaran uang di sektor properti tidak dapat dianggap enteng, bahkan mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan sektor otomotif. Apalagi bila dihitung sampai pada 175 industri ikutannya.
"Artinya, pemerintah pun harus matang mempertimbangkan kemungkinan stimulus di sektor properti yang benar-benar tepat sasaran dari sisi permintaan. Pasalnya, sektor properti tidak sepenuhnya kehilangan daya beli di segmen tertentu. Bahkan berdasarkan data yang ada, terjadi anomali di dunia properti, dimana tingkat penjualan rumah di segmen harga Rp1 miliar – Rp2 miliar pada tahun 2020 mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2019,” jelas Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch (IPW).
Berdasarkan riset yang dilakukan Indonesia Property Watch, meskipun penjualan sepanjang tahun 2020 menurun 31,8% dibandingkan tahun 2019, namun kenaikan justru terlihat di segmen Rp1 miliar - Rp2 miliar yang tumbuh 12,5%. Sedangkan segmen lainnya mengalami penurunan bervariasi.
Baca Juga: HUT ke-49, REI Optimistis Jadi Garda Terdepan Pemulihan Ekonomi Nasional
8 Alasan Properti Harus Dapat Stimulus dari Pemerintah
Indonesia Property Watch mengungkapkan beberapa alasan lain mengapa sektor properti harus dipertimbangkan sebagai prioritas untuk menggerakkan roda ekonomi nasional dan mendapat stimulus dari Pemerintah.
1. Tenaga Kerja
Berdasarkan riset dari Real Estat Indonesia (REI), penyerapan tenaga kerja di sektor ini mencapai 19 jutaan orang. Belum lagi tenaga kerja dari industri yang terkait langsung maupun tidak langsung dapat mencapai 11 jutaan orang. Artinya total pekerja yang melingkupi sektor ini bisa mencapai 30 jutaan orang.
Sering kali memang sektor ini terlihat tidak banyak menyerap tenaga kerja. Namun bila diperhatikan sangat besar keterkaitan tenaga kerja di sektor ikutan lainnya yang ditopang industri ini. Mulai dari industri bahan bangunan, semen, besi baja, kayu, cat, aksesori rumah, furnitur, juga perusahaan konsultan perencana arsitek, sipil, pemasaran, advertising, notaris, bank, sampai usaha UMKM dan warteg akan tumbuh ketika sebuah proyek properti dikembangkan.
2. Produk Lokal
Saat ini penggunaan material di sektor perumahan mulai hampir 100% merupakan produk lokal, menyusul Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) mewajibkan para pengembang menggunakan produk lokal untuk setiap pengerjaan proyek properti. Kebijakan ini untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional (PEN). Dengan demikian maka produktivitas industri lokal akan semakin meningkat.
Baca Juga: Pengembang Diminta Bantu Pemulihan Ekonomi Nasional
3. Pengembang Lokal
Sebagian besar pengembang properti merupakan pengembang lokal yang harus lebih dijamin keberlangsungannya. Saat ini banyak pengembang yang mulai menjerit kesulitan cashflow karena anjloknya permintaan.
Berdasarkan data BPS, pertumbuhan sektor real estate pada Q4/2020 masih tumbuh 1,98%, namun strategi bertahan yang dilakukan pengembang tidak dapat bertahan terlalu lama lagi. Karena semakin lama permintaan semakin menurun dan seleksi pengajuan KPR dari konsumen semakin ketat dari perbankan. Bila industri ini kolaps, maka dikhawatirkan akan berimbas sangat berat bagi industri ikutan terkait.
4. Nilai Kapitalisasi Tinggi
Total nilai kapitalisasi penjualan properti primer rata-rata, diperkirakan berkisar antara Rp85 triliun – Ro100 triliun per tahun, di mana sebesar minimal 65% didominasi oleh perumahan, selebihnya terbagi untuk tanah, apartemen, komersial, dan perkantoran.
Baca Juga: 5 Anyaman Pemulihan Ekonomi Nasional-Perumahan Berkeadilan Sosial
5. Kontribusi Pasar Sekunder
Penjualan properti sekunder memberikan kontribusi yang sangat besar dari keseluruhan properti. Transaksi di pasar sekunder, diperkirakan mencapai Rp115 triliun – Rp150 triliun yang dilakukan oleh agen broker master franchise, agen properti lokal, sampai broker tradisional. Nilai ini memberikan kontribusi minimal 61,5% dari total keseluruhan transaksi properti.
Nilai ini seringkali tidak tercatat dan tidak diketahui pasti, namun sebagian besar pihak memastikan nilainya lebih tinggi dibandingkan penjualan properti di pasar primer. Dengan demikian diperkirakan total perputaran penjualan properti di Indonesia mencapai Rp200 triliun – Rp250 triliun per tahun.
6. Besarnya Pasar KPR
Data penyaluran KPR (Kredit Pemilikan Rumah) memerlihatkan bahwa paling tidak terdapat 250.000 – 300.000 unit KPR per tahun untuk perumahan subsidi dan non subsidi. Pada tahun 2019 diperkirakan penyaluran KPR paling tidak mencapai Rp115 triliun. Nilai ini diluar pembelian melalui cash atau cash bertahap tentunya.
Baca Juga: Buka Rakernas REI 2020, Wapres Sebut 8 Aspek UU Cipta Kerja Terkait Properti
7. Permintaan Tinggi
Potensi permintaan rumah masih sangat tinggi terlihat juga dari nilai backlog perumahan yang masih tinggi. Hal ini juga terlihat dari rasio penyaluran KPR di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara di ASEAN. Padahal, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN.
Berdasarkan data perbandingan tahun 2014 sampai 2017, tingkat penyaluran KPR Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) paling rendah dibandingkan negara-negara tetangga berkisar antara 2,94% - 3,01% dibandingkan Singapura dan Malaysia masing-masing sebesar 45,5% dan 36,0%. Tingginya suku bunga perbankan dan besarnya biaya transaksi menjadi salah satu hambatan yang terjadi.
8. Kebutuhan Primer Sekaligus Investasi
Properti merupakan kebutuhan primer papan sekaligus dapat menjadi investasi yang nilainya selalu bertumbuh. Kepemilikan properti juga menjadi salah satu faktor tolok ukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Edukasi terhadap masyarakat untuk mulai memiliki properti harusnya menjadi prioritas pemerintah.
Baca Juga: Biaya Beli Rumah Tinggi, Pemerintah Harus Turunkan BPHTB!
"Melihat potensi perputaran uang yang sangat tinggi di pasar properti diiringi dengan penyerapan tenaga kerja yang sangat besar, sektor properti harusnya menjadi salah satu prioritas penting untuk 'diselamatkan'. Sisi permintaan harus segera digerakkan, khususnya di golongan masyarakat menengah-atas yang diperkirakan masih menyimpan potensi daya beli. Sebagian besar masyarakat ini masih menyimpan uangnya di perbankan dan menunda untuk membeli properti," papar Ali Tranghanda.
Indonesia Property Watch mengimbau pemerintah untuk dapat mempertimbangkan masak-masak kemungkinan diberikannya stimulus bagi sektor properti, khususnya penurunan biaya-biaya transaksi termasuk pajak PPN dan BPHTB yang saat ini masih tinggi, mencapai total 22% - 23%.
"Pengurangan pajak yang ada harus bersifat signifikan, karena pengurangan yang terlalu kecil pun tidak menarik bagi pasar konsumen untuk bergerak membeli properti saat ini," pungkasnya.