Penting Diketahui: Risiko Legal Bank Digital

Dalam perkembangan bank digital, selain penting memahami entitas bisnisnya, perlu pula diketahui beberapa beberapa risiko legal yang muncul.

Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: realestat.id)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: realestat.id)

RealEstat.id (Jakarta) - Pandemi Covid-19 telah mendorong percepatan transformasi pada industri perbankan. Pandemi yang terjadi memaksa perubahan perilaku dan orientasi masyarakat dari sebelumnya physical economy menjadi ke arah virtual economy.

Semula transaksi-transaksi keuangan dan layanan perbankan masih banyak dilakukan dengan cara bertemu secara fisik. Pada akhirnya, semua itu lebih banyak dilakukan secara maya lewat jalur digital. Keadaan ini membuat model bisnis perbankan mau tidak mau harus bertransformasi menjadi digital.

Entitas Bisnis Bank Digital
Dalam UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan, bank secara kelembagaan dibedakan atas Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Baca Juga: Nasabah Peminjam dalam PKPU, Bank Bisa Berbuat Apa?

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak mendefinisikan bank digital sebagai suatu jenis bank baru. Bank digital hanya merupakan model bisnis bank yang berkembang seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi.

Menurut POJK No.12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum, Bank Digital adalah Bank Badan Hukum Indonesia (BHI) yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha terutama melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain Kantor Pusat atau menggunakan kantor fisik terbatas.

Bank Digital dapat beroperasi melalui pendirian Bank BHI baru sebagai Bank Digital atau transformasi dari Bank BHI menjadi Bank Digital. Ketentuan mengenai pendirian Bank BHI berlaku juga untuk pendirian Bank BHI baru yang akan beroperasi sebagai Bank Digital sepanjang tidak diatur secara berbeda dalam rangka menyesuaikan ketentuan dan persyaratan sebagai Bank Digital.

Transformasi dari Bank BHI menjadi Bank Digital dilakukan dengan cara Bank BHI yang telah memperoleh izin usaha Bank BHI sebelumnya dengan mengubah strategi bisnis menjadi Bank Digital atau mengedepankan strategi bisnis menjadi digital.

Baca Juga: Debitur Tersandung Kasus PKPU/Kepailitan, Risiko Bank Meningkat

Terdapat enam persyaratan yang harus dipenuhi untuk beroperasinya Bank Digital (pasal 23 ayat 1):
♣ Pertama, memiliki model bisnis dengan penggunaan teknologi yang inovatif dan aman dalam melayani kebutuhan nasabah.
♣ Kedua, memiliki kemampuan untuk mengelola model bisnis perbankan digital yang pruden dan berkesinambungan.
♣ Ketiga, memiliki manajemen risiko secara memadai.
♣ Keempat, memenuhi aspek tata kelola termasuk pemenuhan Direksi yang mempunyai kompetensi di bidang teknologi informasi dan kompetensi lain sesuai dengan ketentuan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.
♣ Kelima, menjalankan perlindungan terhadap keamanan data nasabah.
♣ Keenam, memberikan upaya yang kontributif terhadap pengembangan ekosistem keuangan digital dan/atau inklusi keuangan.

Risiko Legal Bank Digital
Dalam perkembangan bank digital, selain penting memahami entitas bisnisnya perlu pula diketahui beberapa beberapa risiko legal yang muncul terkait Bank Digital yang memberikan layanan perbankan secara digital. Beberapa persoalan legal tersebut mencakup pelindungan data pribadi dan risiko kebocoran data, perlindungan dana nasabah, risiko serangan siber, risiko alih daya dan masalah literasi keuangan digital yang masih rendah.

Di era digital, data menjadi satu jenis kekayaan baru yang jauh lebih berharga. Perbankan perlu berhati-hati terhadap data nasabah yang dimilikinya. Sejumlah elemen krusial terkait data yaitu pelindungan data, pengaturan pertukaran data (data transfer), dan tata kelola data pada perbankan menjadi hal-hal yang penting.

Baca Juga: Lima Kiat Sukses Mendapat Kucuran Kredit Properti dari Bank

Implementasi yang baik atas elemen-elemen tersebut akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada perbankan di era digital. Pelindungan yang memadai atas data akan mampu memberikan kepercayaan nasabah. Nasabah perbankan mengharapkan agar data mereka tidak disalahgunakan yang mengakibatkan kerugian di kemudian hari.

Nasabah perbankan pastinya mengharapkan adanya perlindungan dana yang ditempatkan di bank. Bank seyogianya segera mengganti dana nasabah yang hilang bukan karena kealpaan atau kesengajaanya. Sementara apabila terjadi kehilangan dana karena kealpaan atau kesengajaan dari nasabah seperti memberikan password, memberikan OTP (One Time Password) kepada pihak lain, maka itu menjadi konsekuensi yang harus diterimanya.

Perlindungan nasabah pengguna layanan perbankan digital dapat berupa perlindungan preventif dan perlindungan represif. Perlindungan preventif merupakan upaya yang dilakukan pemerintah dalam melindungi nasabah dalam berbagai regulasi yang sudah ada dengan terus melakukan penyempurnaan.

Sementara, perlindungan represif adalah upaya yang dilakukan apabila terjadi suatu permasalahan yang berpotensi merugikan nasabah. Salah satu upaya tersebut adalah pertanggungjawaban Bank Digital apabila terjadi permasalahan yang merugikan nasabah.

Baca Juga: Risiko Hukum Dalam Pengucuran Kredit Properti, Apa Saja?

Pada saat penggunaan teknologi informasi, Bank Digital akan dihadapkan dengan beberapa risiko yang biasanya muncul. Perkembangan digitalisasi di sektor perbankan meningkatkan timbulnya risiko terhadap keamanan siber bagi Bank. Maraknya serangan siber telah mendorong kebutuhan untuk meningkatkan ketahanan siber (cyber resilience) melalui penguatan keamanan siber (cyber security).

Risiko-risiko yang berpotensi dihadapi Bank Digital dapat berupa serangan siber yang dapat mengganggu kinerja dari teknologi informasi, serangan hacker yang dapat mengacaukan sistem bahkan sampai mencuri data rahasia suatu perusahaan, kesalahan dan kerusakan sistem pendukung seperti jaringan listrik putus, dan lain sebagainya.

Penggunaan teknologi yang inovatif antara lain menggunakan teknologi andal yang mampu mendukung kegiatan usaha Bank Digital. Penggunaan teknologi yang aman bertujuan agar kepentingan Bank Digital, nasabah, dan pihak terkait lain terlindungi.

Dalam melakukan kegiatan penyerahan pekerjaan kepada pihak lain (alih daya) khususnya di bidang Teknologi Informasi (TI), Bank menghadapi berbagai risiko yang dapat timbul seperti risiko operasional dan risiko regulasi serta kepatuhan. Untuk meminimalisir berbagai potensi risiko tersebut, Bank perlu menerapkan manajemen risiko terhadap kegiatan alih daya terutama dengan memperhatikan secara seksama prinsip alih daya serta proses dan tahapan alih daya dengan baik.

Baca Juga: Qanun Aceh Bikin Pembiayaan Properti Syariah Kian Merekah

Penutup
Risiko legal bank digital harus segera dimitigasi oleh pemangku kepentingan. Upaya ini perlu dilakukan secara bersama-sama karena bukan semata-mata menjadi tanggung jawab regulator Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia.

Dari aspek cyber security saat ini belum terdapat undang-undang keamanan dan ketahahanan siber. Sementara dari aspek data privacy & protection sampai saat ini belum terdapat undang-undang yang secara spesifik mengatur mengenai perlindungan data pribadi. Kesadaran pentingnya regulasi keamanan dan ketahahanan siber serta perlindungan data pribadi sudah ada namun proses legislasinya keduanya belum selesai.

Semoga artikel ini bermanfaat.

Artikel ini ditulis oleh Dzaky Wananda Mumtaz Kamil. Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro SemarangArtikel ini adalah pendapat pribadi penulis.

Berita Terkait

Fahri Hamzah, Wamen PKP (Foto: Dok. Kementerian PKP)
Fahri Hamzah, Wamen PKP (Foto: Dok. Kementerian PKP)
Ilustrasi mengurus HGB ke SHM, (Sumber: Shutterstock)
Ilustrasi mengurus HGB ke SHM, (Sumber: Shutterstock)
Ilustrasi-perhitungan-Pajak-Penjualan-Apartemen-Second-Bagi-Pembeli-dan-Penjual. (Sumber: Istock)
Ilustrasi-perhitungan-Pajak-Penjualan-Apartemen-Second-Bagi-Pembeli-dan-Penjual. (Sumber: Istock)