Miliki Nilai Arsitekur dan Filosofi Tinggi, Rumah Adat Aceh Dilestarikan Kementerian PUPR

Filosofi yang terkandung dalam arsitektur rumah adat Aceh, mengandung nilai keselamatan terhadap gangguan alam dan nilai sisi kehidupan sosial masyarakat.

Rumah Adat Aceh. (Foto: dok. Kementerian PUPR)
Rumah Adat Aceh. (Foto: dok. Kementerian PUPR)

RealEstat.id (Jakarta) – Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) terus mendorong perbaikan rumah adat yang terdampak insiden pelanggaran HAM di Provinsi Aceh.

Proses perbaikan dilaksanakan dengan mengedepankan nilai arsitektural tradisional khas Aceh sehingga generasi muda bisa memahami filosofi rumah adatnya.

Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR, Iwan Suprijanto mengatakan, penanganan perbaikan rumah adat yang terdampak korban pelanggaran HAM di Aceh di laksanakan dengan mengedepankan nilai arsitektur tradisional.

Baca Juga: Seni dan Filosofi Arsitektur Rumah Panggung Tradisional Sulawesi

"Kami ingin masyarakat Aceh tetap bangga akan budayanya dan generasi muda bisa memahami filosofi bangunan yang ada," tutur Iwan Suprijanto di Jakarta, Sabtu (1/7/2023).

Menurutnya, pelestarian berbagai nilai budaya dan tradisional bangunan khas daerah tetap menjadi prioritas Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian PUPR dalam membangun infrastruktur bagi masyarakat.

Selain itu, struktur bangunan juga harus sesuai dengan filosofi dari rumah adat daerah sehingga bisa menjadi bagian pendidikan untuk para generasi muda saat ini.

Saat ini, imbuhnya, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kementerian PUPR sedang melaksanakan penanganan 31 rumah rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM di Aceh yang beberapa di antaranya merupakan rumah adat.

Baca Juga: Arsitektur Rumah Jawa: Transformasi Bentuk dan Ruang dalam Desain yang 'Timeless'

"Rumah adat menjadi salah satu identitas suatu daerah di Indonesia sehingga rumah adat yang ada memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri. Kami berusaha membangun tanpa mengubah struktur bangunan agar filosofi rumah adat suatu daerah tetap terjaga," katanya.

Dalam proses pembangunan di lapangan, kata Iwan, para pekerja konstruksi membanbun rumah adat Aceh berbentuk panggung dengan serambi depan, tengah, dan belakang. Rumah juga dibangun cukup tinggi dengan jarak sekitar 2,5 meter dari tanah.

Selain untuk beraktivitas, adanya jarak antara tanah dan lantai rumah adat Aceh yaitu untuk menghindari dari serangan binatang buas atau bencana alam seperti banjir. Hal ini karena rumah penduduk dahulu tinggal di sekitar hutan dan mereka juga tetap bisa tidur di malam hari ketika banjir tiba-tiba datang.

Filosofi yang terkandung dalam arsitektur rumah adat Aceh tersebut mengandung nilai keselamatan terhadap gangguan alam dan nilai sisi kehidupan sosial masyarakat. Rumah berbentuk panggung ini supaya orang-orang masih dapat beraktivitas di bawah rumah tersebut karena dahulu masyarakat Aceh banyak melaksanakan aktivitasnya di bawah rumah.

Baca Juga: Arsitektur Minangkabau: Kearifan Lokal dan Keharmonisan dengan Alam

"Bagian bawah atau kolong rumah adat Aceh dapat dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan hasil tani atau hasil melaut karena sebagian berprofesi sebagai petani dan nelayan. Mereka kebanyakan menyimpan alat melaut seperti jaring dan jala serta alat pertanian di bawah rumah. Sedangkan anak-anak biasanya juga kadang bermain di bawah rumah dan digunakan untuk bermain kaum ibu juga kadang menumbuk beras ditempat yang sama," katanya.

Adapun bagian pintu rumah adat Aceh dibuat sedikit lebih rendah dan diberi balok melintang. Tujuannya agar setiap orang yang hendak masuk harus menunduk terlebih dahulu. Filosofinya bermakna jika setiap tamu hendaknya menaruh hormat kepada tuan rumah dengan tidak mendongakkan kepala.

Selain itu, sisi rumah adat Aceh selalu menghadap ke timur dan barat daya. Hal tersebut karena salah satu sisinya menghadap kiblat karena mayoritas masyarakat Aceh menganut agama Islam. Tak hanya itu, angin kencang kerap bertiup antara dua arah ini sehingga dapat selamat dari angin badai.

Bagian atap rumah adat Aceh sendiri terbuat dari daun rumbia yang dianyam oleh masyarakat sendiri. Daun rumbia dipilih karena ringan dan memberikan hawa sejuk. Selain itu pada bagian barat luar rumah biasa ditanam pohon besar dan rindang.

Baca Juga: Keunikan Arsitektur Rumah Pasundan: Dirindukan, namun Nyaris Punah

Salah satu penerima bantuan perbaikan rumah di Aceh adalah Ayyub. Pria berusia 61 tahun tersebut tinggal di Desa Paloh Tinggi, Kecamatan Mutiara Timur, Kabupaten Pidie.

Rumahnya merupakan rumah adat panggung asli Aceh yang sedang dilakukan penanganan perbaikan oleh Kementerian PUPR. Perbaikan rumah yang dilakukan berupa pendempulan tiang pondasi, peremajaan cat bangunan, dan pergantian balok kayu lantai tanpa merubah struktur dan nilai adat dari rumah itu sendiri.

"Terima kasih atas bantuan Kementerian PUPR yang telah merenovasi rumah adat masyarakat di Desa Paloh Tinggi ini. Semoga program perbaikan ini terus berlanjut sehingga rumah adat ini terus lestari," katanya.

Redaksi@realestat.id

Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News

Berita Terkait

Rusun Santri Ponpes Nurussunnah Al-Hasaniyyah Kubu Raya (Foto: Dok. Kementerian PUPR)
Rusun Santri Ponpes Nurussunnah Al-Hasaniyyah Kubu Raya (Foto: Dok. Kementerian PUPR)
Program BSPS (Bedah Rumah) di Bengkulu. (Foto: Dok. Kementerian PUPR)
Program BSPS (Bedah Rumah) di Bengkulu. (Foto: Dok. Kementerian PUPR)
Rusun ASN dan TNI/Polri di IKN Nusantara (Foto: Kementerian PUPR)
Rusun ASN dan TNI/Polri di IKN Nusantara (Foto: Kementerian PUPR)
Rusun ASN di IKN Nusantara (Foto: Dok. Kementerian PUPR)
Rusun ASN di IKN Nusantara (Foto: Dok. Kementerian PUPR)