Menikmati Hari Lingkungan Hidup di Tebet Eco Park: Udara Bersih untuk Indonesia

Tebet Eco Park telah menjadi sebuah situs ikonik. Ada jembatan elok bercahaya merah-jingga, berpola 'Infinity' yang estetik dan Instagrammable.

Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)

RealEstat.id (Jakarta) - Pertama, sebelum mengurai fenomena Tebet Eco Park, izin disclaimer dulu. Saya bukan pakar lingkungan hidup seperti pak Emil Salim—yang saya kagumi. Saya hanya advokat peminat isu perkotaan dan aktivis tobacco control.

Tepat Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni 2022, saya dan my "&" Ina Aie Tanamas berkelebat di kawasan Tebet Eco Park, taman hutan kota seluas 7,3 hektar di Jakarta Selatan.

Tebet Eco Park telah menjadi sebuah situs ikonik. Ada jembatan elok bercahaya merah-jingga, berpola 'Infinity' (angka delapan). Yang estetik dan Instagrammable. Yang sukses menjodohkan hutan kota dan taman, di sisi utara dan selatan. Yang kawasan tanpa asap rokok. Yang membuat warga membludak ke sana. Pedagang eceran, makanan-minuman, juru parkir pun mendapat cuan.

Baca Juga: Catatan AniesPrudence: Berani Bela yang Lemah, Anies Perluas PBB Gratis!

Gemerlap malam di Tebet Eco Park lebih menawan. Pepohonan bercahaya. Bola mata dan kamera saku saya menyaksikannya. Ada tetes air sisa hujan, udara dingin berjatuhan dari ujung dedaunan. Tebet Eco Park itu hasil gawean tangan dingin Anies Baswedan. Diresmikan 23 April 2022 barusan. Itu satu contoh Jejak Bijak Anies, sebut saja: AnisPrudence.

Kota bukan benda yang pingsan, apalagi mati. Tjuk Kuswartojo menyebut kota bertumbuh, seperti organ yang organik, begitu ulasan otentik pak Tjuk dalam buku 'Kaca Benggala' (2018). Kota bernafas, tak berhenti berbakti. Bertumbuh. Efek "Debu" Emas" kota menyedot masuk komuter dan perantau.

Kota perlu "paru-paru". Ruang Terbuka Hijau (RTH) bak organ penting penampung udara: CO2. Kota tidak anti sosial. Kota perlu tempat warga bersua-cengkrama. Warga berhak atas kota. Sustainability city and community, begitu kaidah Sustainability Development Goals (SDGs). Kalau manusia makhluk sosial, turunannya makhluk berkota. Ya, tentu pasti makhluk bernafas bebas.

Baca Juga: Mudik Gratis Anies: Sebuah Catatan Warga Ibu Kota Jakarta

Gagasan Tebet Eco Park itu ruang sosial juncto RTH, yang mempertemukan warga. Gubernur Anies Baswedan selalu membangun tak hanya membangun, diujarkannya: membangun bermula dari gagasan.

Apa konsep Tebet Eco Park? Connecting peoples with nature! Juga, tempat bermain anak. Hak bermain dan waktu luang, dijamin Konvensi PBB tentang Hak Anak.

Kembali ke soal udara bersih. Awas! Gagal memenuhi hajat "makan" udara bersih lima menit saja, anda pingsan! Bahkan organ hati, ginjal dan otak bisa rusak kronis. Gagal bernafas udara bersih itu wajib dicegah, sebab hal itu jauh lebih jahat dan membunuh dalam diam daripada aksi mogok makan. Tebet Eco Park ikhtiar menjaga dan fasilitasi hak bernafas itu. Belum pernah tersiar kabar aksi mogok bernafas aktivis HAM.

Foto: Dok. Muhammad Joni

Foto bergizi ini diambil di Bandung, masih kawasan inti kota: down-town yang Aston (east town). Tanpa asap rokok! Dipinjam pakai untuk mematutkan narasi Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni 2022.

Ketika membaca dokumen lama (2015), saya terenyuh soal asap kebakaran hutan. Dan tergelak akan kelakuan jiran. Izinkan saya senyam senyum dan membelalak. Seakan menang telak di pacuan mobil Formula E, barusan. Yang mengukir sejarah kampanye bebas emisi karbon. Yang membelalakkan mata dunia. Yang membuat bangga menjadi Indonesia.

Baca Juga: Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) Jangan Hambat Perumahan MBR!

Mengapa pulak terenyuh soal asap kebakaran hutan? Sebab, masih dari dokumen lama: negeri jiran yang dulu bernama Tumasek itu, kerap menebar keluh. Merajuk. Pun, sampai ajukan protes. Tak cuma satu, bahkan menggelar empat protes: tindak tegas, gugat, minta diumumkan korporat pembakar hutan, komit memberi sedikit bantuan.

Menteri Luar Negeri Singapura, K. Shanmuham sempat berang tersebab asap. Katanya, "sangat tidak memikirkan warga kami", dari BBC News Indonesia, (25/9/2015).

Itu karena imbas asap kebakaran hutan Sumatera dan Kalimantan—yang membuat negara kota itu malap. Sebagai sesama kolega ASEAN, mestinya bisa diajak bijak bicara. Bukan mengeluarkan nota. Mulailah membenihkan cara-cara legawa: ASEAN Prudence!

Tebet Eco Park (Foto: Dok. Muhammad Joni)

Majelis Pembaca. Betapa udara bersih itu membuat pengaruh kepada kehilangan cara tersenyum dan cara duduk akrab-mesra. Jangan sampai pula jiran ASEAN mengabaikan betapa hebatnya jasa dan khasiat udara bersih dari hutan Sumatera dan Kalimantan.

Jiran mustinya paham ke dalam alias introspeksi, jikalau udara bersih dari hasil kerja hutan belantara Indonesia menjadi "barang" komersil mendunia yang langka, jiran mana yang akan tak kelabakan?

Pernah dengar stasiun penyedia udara bersih antri-feat-diserbu warga China? Di Xi'an, polusi udaranya: 65 mikrogram per meter kubik. Jauh diatas standar WHO: yang hanya 25 mikrogram per meter kubik. Diwartakan, udara bersih harganya mahal: 1 Yuan (setara 2 ribu rupiah) per kantong. Begitu diwartakan merdeka.com, (23/9/2016).

Baca Juga: Lima Catatan Awal Terkait RUU Ibu Kota Negara

Saya makin takjub kepada Indonesia. Itu sebabnya banyak yang cemburu kepada hutan hijau Indonesia. Udara bersih yang dihasilkannya. Beribu tahun bilad Tumasek juncto Singapura hanya duduk elok manis saja menikmatinya. Tanpa biaya dan bebas pajak. Padahal Singapura negeri gagah kala menagih pajak korporat, pun juga warga mana saja.

Eureka! saya menemukan jawaban cerdas dari jurus Pak Jusuf Kalla. Katanya, Negara tetangga Indonesia harus bersyukur mendapat udara bersih Indonesia, seperti diwartakan BBC News Indonesia.

Tersebab itu, ketika berjiran: seringlah duduk dan banyak senyum-lah kawan. Seperti kami berkolaborasi di foto ini. Seperti titel ibukota ini: Jakarta Kota Kolaborasi!

Baca Juga: Soroti 7 Isu Strategis, Ini Rekomendasi The HUD Institute Terkait Perkotaan dan Perumahan Rakyat

Oh ya, di Hari Lingkungan Hidup 2022 ini, sohib saya: Daru, Tulus, Salim, berkolaborasi dengan sohib SAI-nya. The Sohib menanam pohon langka. Apa saja? Jangan kaget.

"Kami menanam matoa (Pometia pinnata), meranti (Shorea), kedoya (Dysoxylum gaudichaudianum), sapu tangan (Maniltoa grandiflora)", ujar Daru dan Tulus—yang turut berkolaborasi pada helat Hari Lingkungan Hidup 2022 di Tebet Eco Park.

"Kedoya begitu juga Menteng, itu nama pohon, sebelum nama kawasan", ujar Tulus—sang aktivis lingkungan yang tulus menjaga daerah aliran sungai (DAS)—kepada saya di sebuah kedai kopi dekat Tebet Eco Park.

Dari luar tingkap saya membaca spanduk: 'Selamat Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni 2022' tema: 'Udara Bersih untuk Jakarta'.

Baca Juga: Pengembang Dalam PKPU, Apa yang Harus dilakukan Pihak Perbankan?

Membaca itu, saya sontak membelalak. Ayo, Majukan! Lanjutkan! Lebih menusantara: Udara Bersih untuk Indonesia! Mencetak lebih banyak Eco Park, lagi. Tak hanya Jakarta, tetapi Indonesia. Pun, jiran ASEAN, juga. Bangun Negerinya. Bahagiakan Rakyatnya. Bersihkan udaranya, tak cuma toilet SPBU saja. Kepada jiran, lambaikan Salam 5 Jari.

Tabik.

Muhammad Joni, Advokat Joni & Tanamas Law Office, Sekretaris Umum The Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Korsorsium Nasional Perumahan Rakyat, Eksponen KAHMI, dan Jamaah Brave to be Greatness Indonesia yang juga penulis buku "Ayat-ayat Perumahan Rakyat". Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis. Untuk berkorespondensi, dapat disampaikan melalui email: mhjonilaw@gmail.com.

Berita Terkait

Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)