RealEstat.id (Jakarta) - Regulasi di Australia mengatur bahwa warga negara asing yang memiliki apartemen di Negeri Kanguru tersebut akan mendapatkan SHM (sertifikat hak milik). Jenis sertifikat yang dimiliki pun sama dengan milik warga Australia: berlaku seumur hidup dan dapat diwariskan. Demikian penuturan Reiza Arief Juremi, Sales Manager Crown Group Indonesia—pengembang properti yang berbasis di Sydney, Australia.
“Banyak calon konsumen yang mempertanyakan hal ini kepada kami perihal pembeli asing di Australia, terutama ketika mereka memperbandingkan dengan pengalaman membeli unit apartemen di Indonesia,” tutur Reiza Arief Juremi dalam siaran pers yang diterima RealEstat.id.
Baca Juga: Tyas Sudaryomo: Crown Group Indonesia Bidik Tiga Segmen Pembeli Properti
Menurutnya, yang membedakan legalitas kepemilikan properti bagi orang asing di Australia dengan di Indonesia adalah: di Australia hanya berlaku satu jenis sertifikat saja, yaitu Freehold certificate dan lahan di atas gedung akan dibagi dalam bentuk strata ke setiap unit. Sementara, di Indonesia terdapat beberapa tipe sertifikat, tergantung kepemilikan lahan gedung, dan strata hanya merupakan kepemilikan ruang unit dan tidak termasuk lahan di mana gedung itu berdiri.
“Satu hal lagi, SHM di Australia sendiri masih berbentuk fisik, walaupun sudah menggunakan sistem digital untuk penyimpanan data,” tambahnya.
Terkait proses yang dibutuhkan untuk mendapatkan SHM di Australia, Reiza menjelaskan, waktu yang dibutuhkan biasanya dua pekan sebelum jadwal serah terima unit sertifikat keluar. Serah terima unit pun tidak akan terjadi apabila sertifikat belum ada.
Baca Juga: ATR/BPN Klarifikasi Isu Penarikan Sertifikat Tanah untuk Diganti Sertifikat Elektronik
“Pendaftaran apartemen sertifikat di Australia saat ini sudah menggunakan sistem pendaftaran digital e-documents, sehingga memudahkan bagi pembeli yg berdomisili di luar negeri,” katanya.
Menyoal perlu tidaknya digitalisasi pendaftaran SHM, Reiza Arief berpendapat, meski SHM masih berbentuk fisik, namun sistem registrasi sertifikat sebaiknya didigitalisasi untuk mencegah tumpang tindih sertifikat yang masih sering terjadi di Indonesia. Di sisi lain, kepemilikan lahan di atas gedung Apartemen yang memiliki sertifikat terpisah juga melemahkan posisi pembeli.
“Diperlukan campur tangan dari pemerintah Indonesia untuk dapat menjamin hak konsumen mendapatkan sertifikat atas unit yang dibeli sehingga meningkatkan kepercayaan dan antusiasme konsumen dalam membeli proyek off the plan, karena sering terjadi sertifikat tidak keluar walaupun mereka sudah membayar lunas,” Tukas Reiza.
Investasi Apartemen atau Rumah Tapak?
Lebih lanjut, Reiza menerangkan, warga negara asing, khususnya dari Indonesia, lebih memilih untuk membeli apartemen dibandingkan rumah tapak. Pasalnya, kepemilikan rumah tapak harganya lebih tinggi dibandingkan unit apartemen, terutama di area yang strategis seperti di dekat CBD dan area sekitar kampus.
Selain itu, pemeliharaan rumah tapak juga lebih mahal dibandingkan dengan apartemen, bahkan ada pajak tambahan apabila rumah tapak tersebut kosong lebih dari enam bulan yang besarannya sendiri sekitar 1% dari nilai properti yang dimiliki.
Baca Juga: Sukses Pasarkan ARTIS, Crown Group Siapkan Proyek di Brisbane
“Apartemen juga secara umum lebih mudah disewakan dibanding rumah tapak, sehingga memudahkan para investor yang menggunakan KPA me-leverage pembayaran cicilan bulannya,” paparnya. “Ditambah, 70% tipe pembeli dari Indonesia adalah tipe investor yang mencari properti untuk disewakan dan memberikan imbal hasil yang tinggi.”
Reiza memberi gambaran, persentase penyewa rumah tapak di Australia sebesar 14% pada 2009 dan hanya naik sebesar 1% menjadi 15% di 2019. Sementara, persentase penyewa unit apartemen sebesar 43% pada 2009 dan naik menjadi 56% di 2019.
“Perlu dicatat, ada penurunan presentase sebesar 13% bagi mereka yang membeli dan tinggal di unit apartemennya. Dari 56% pada tahun 2009 menjadi 43% pada tahun 2019,” ungkapnya.