RealEstat.id (Jakarta) - Melihat makin masifnya penyebaran virus corona setelah pelonggaran PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali membuat aturan baru PSBB jilid kedua mulai 14 September 2020. Seperti biasa, pro-kontra pun terjadi. Namun, bagaimana dampak PSBB jilid kedua ini memengaruhi bisnis properti di Ibu Kota?
Ferry Salanto, Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia menjelaskan, pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tahap II akan membuat situasi industri properti di Jakarta semakin sulit.
Baca Juga: Dampak Pandemi Pada Pasar Properti Jabodetabek: Riset REI DKI Jakarta
"Sejak fase pertama PSBB, kami telah melihat perlambatan atau penurunan traffic dari pengunjung pusat perbelanjaan yang berujung pada penurunan penjualan yang mempengaruhi sebagian besar gerai. Dengan "diinjaknya rem darurat" oleh Pemprov DKI Jakarta ini, sebenarnya bukan kondisi yang ideal bagi industri properti, karena akan terjadi penurunan penjualan dan pendapatan," jelas Ferry Salanto.
Di sektor hunian, imbuhnya, Colliers Indonesia melihat banyak perlambatan pembelian, dimana minat beli juga berkurang. Pada tahap awal PSBB tahap I, banyak orang yang memilih untuk tidak melakukan pembelian dalam jumlah besar atau tidak penting.
"Saat transisi PSBB, pembelian kemungkinan telah meningkat, meskipun tidak secara signifikan. Sekarang, karena masuk fase kedua dari PSBB, calon konsumen kemungkinan besar akan kembali menunda pembelian," jelas Ferry.
Baca Juga: Ruang Perkantoran Jakarta: Pasokan Tertunda, Permintaan Terhenti
Untuk sektor komersial seperti perkantoran, PSBB tahap II tentunya akan mengembalikan kondisi seperti di awal penerapan PSBB, dimana perkantoran diharapkan menerapkan sistem work from home (WFH) kepada seluruh karyawannya. Dengan begitu—seperti yang mungkin sudah pernah pernah terjadi sebelumnya—berdampak pada ruang yang dibutuhkan perusahaan.
"Di sisi tenant, meski belum pulih dari situasi awal PSBB, kini mereka harus kembali mengalami kesulitan baru di fase kedua. Omzet mereka akan menurun lagi, dan penyewa pada akhirnya terpaksa harus kembali bernegosiasi dengan pemilik bangunan untuk sewa dan jangka waktu pembayaran," paparnya.
Di sektor perhotelan, sebagai sektor yang pertama kali terkena dampak peraturan PSBB, agak membaik selama masa transisi. Sekarang kembali ke kondisi awal. Pada awal PSBB pertama, penurunan terjadi hingga 10% untuk kasus-kasus tertentu, karena aktivitas bisnis dan liburan menurun secara signifikan.
Baca Juga: 4 Skenario Properti Ritel di Era “New Normal”
"Saat ini, dengan adanya PSBB tahap kedua, sektor perhotelan harus kembali mencari strategi lain agar bisa bertahan, seperti yang dilakukan pada PSBB pertama," kata Ferry.
Sementara itu, ritel juga merupakan salah satu sektor properti yang cukup terpengaruh sejak awal pemberlakuan PSBB. Selama masa transisi, traffic pengunjung mal terpantau cukup banyak—meski belum cukup. Agar sebuah pusat perbelanjaan memiliki kinerja yang baik, jelas Ferry, diperlukan okupansi yang tinggi dan traffic yang tinggi agar dapat terjadi transaksi.
"Kini dengan pemberlakuan PSBB fase kedua, ritel akan kembali kesulitan. Dengan adanya sejumlah ketentuan yang berlaku untuk pusat perbelanjaan atau ritel, dapat mempersulit kinerja sektor ini pulih dengan cepat," pungkasnya.