Apa Dampak PPN 11% dan Rencana Kenaikan Suku Bunga Pada Pasar Properti Indonesia?

Kenaikan PPN menjadi 11% akan menambah tantangan bagi sektor properti Tanah Air, karena ada korelasi kuat antara pertumbuhan PDB dengan penyerapan properti.

Foto: istimewa
Foto: istimewa

RealEstat.id (Jakarta) - Sektor properti Tanah Air yang mulai menggeliat pasca-pandemi Covid-19 agaknya bakal diuji dengan regulasi baru Pemerintah yang menaikkan PPN menjadi 11%. Hal ini makin terasa dengan rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Indonesia, menyusul Bank sentral Amerika Serikat "The Fed" yang menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps awal Mei 2022.

Menanggapi kondisi ini, Ferry Salanto, Head of Research Colliers Indonesia menjelaskan, tahun 2021 lalu sebetulnya merupakan periode yang cukup baik untuk pasar properti, terutama untuk sektor residensial. Insentif yang menarik dinilai menguntungkan dalam membangkitkan semangat pembelian properti di tengah kondisi yang tidak stabil.

Kenaikan PPN menjadi 11% mulai April 2022 lalu, menurutnya, akan mempengaruhi berbagai aspek pada pasar, terutama terhadap daya beli masyarakat. Di tengah kondisi ekonomi yang lamban dan masih dalam proses untuk pulih, daya beli masyarakat belum sepenuhnya kembali.

Baca Juga: Catat! Kuartal IV 2022, Titik Balik Pulihnya Properti di Indonesia

"Kenaikan PPN 11%, ditambah dengan beberapa kenaikan lainnya, seperti tarif dasar listrik dan BBM secara bersamaan dalam periode waktu yang cukup singkat, jelas berdampak pada dunia usaha dan konsumsi masyarakat pada umumnya," tutur Ferry Salanto dalam keterangan tertulis.

Lebih lanjut dia memaparkan, kenaikan PPN 11% akan menjadi tantangan ekstra bagi sektor properti. Terdapat korelasi kuat antara pertumbuhan Produk domestik bruto PDB dan penyerapan properti.

Keputusan untuk membeli atau berinvestasi pada properti kemungkinan akan tertunda dalam waktu dekat karena melemahnya daya beli dan lesunya momentum investasi di kalangan investor properti. Pasalnya, bagi pembeli tipe investor, ekspektasi atas potensi imbal hasil properti merupakan pertimbangan utama saat membeli properti.

"Selain faktor kenaikan PPN 11%, terdapat juga faktor eksternal lain yang dapat menjadi tantangan bagi pertumbuhan sektor properti; salah satunya adalah inflasi yang melonjak. Jika inflasi naik, kemungkinan besar suku bunga juga akan menyesuaikan, sehingga akan menambah tekanan pada industri properti," terangnya.

Baca Juga: Properti Jabodetabek: Perkantoran Menggeliat, Apartemen Urung Bangkit

Secara umum, dampak di semua sektor, baik perumahan, perkantoran, ritel, maupun industri, semua terlihat sama. Namun, siklusnya agak berbeda untuk setiap sektor. Satu sektor mungkin telah melewati bagian terendah dalam siklus, sementara yang lain masih membutuhkan waktu untuk pulih atau bangkit. Secara keseluruhan, bisnis properti adalah tentang siklus, dengan sebagian besar sektor telah mencapai titik terendah dan diharapkan mencapai posisi yang lebih positif.

Pada sektor perkantoran, Colliers masih melihat adanya perlambatan, sehingga ada kemungkinan tahun ini posisi ‘Jam Properti’ masih berada pada angka enam dan membutuhkan waktu pemulihan yang sedikit lebih lama dibandingkan sektor lainnya.

Industri perhotelan telah menunjukkan peningkatan bertahap, terutama pada tingkat hunian, namun begitu masih menghadapi sejumlah tantangan ke depan.

"Kami tetap melihat pandangan yang positif untuk sektor residensial mengingat insentif PPN yang sedang berjalan. Jika hal ini bisa diperpanjang, pasar residensial akan melanjutkan momentum kenaikannya, terutama pada kelas bawah ke menengah," kata Ferry.

Baca Juga: 2022, Kebangkitan Pasar Properti Ritel di Jabodetabek?

Pengurangan jumlah pengunjung—terutama yang dikarenakan kebijakan pembatasan pergerakan manusia—di dalam mal telah menyebabkan penurunan okupansi. Lebih lanjut, kenaikan PPN akan menambah tekanan bagi pemilik dan retailer karena harga barang yang dijual akan dikenakan biaya tambahan.

"Penambahan PPN tersebut akan tercermin pada harga barang, dan menjadi beban tambahan baik bagi pemilik maupun penyewa karena transaksi antara pihak-pihak tersebut juga akan dikenakan PPN," ujarnya.

Sementara itu, sejalan dengan rencana pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12% pada tahun 2025 di tengah kondisi dan polemik saat ini, Ferry mengatakan, pasar properti tidak boleh hanya memerhatikan faktor eksternal, seperti faktor ekonomi yang mencakup kenaikan biaya seperti yang kita hadapi saat ini, tetapi juga faktor internal dari sisi penawaran. Sektor dengan kondisi kelebihan pasokan saat ini melihat kebijakan tersebut sebagai tantangan tambahan.

"Secara keseluruhan, kami memperkirakan bisnis properti akan memiliki daya tarik lebih selama dua atau tiga tahun ke depan karena didukung oleh penguatan ekonomi," jelasnya.

Baca Juga: Penerbangan Dari Mancanegara Kembali Dibuka, Sinyal Positif Perhotelan di Bali?

Kendati kondisi pasar properti Indonesia menghadapi tantangan, Colliers Indonesia masih tetap optimistis, Karena hal ini semua kembali lagi mengenai siklus properti.

"Kami berpendapat bahwa kebijakan yang menambah beban pemulihan mungkin dapat ditinjau kembali ke depannya, terutama ketika situasi ekonomi menjadi lebih menantang.

Saat ini, tutur Ferry, yang terpenting adalah menyesuaikan diri dengan kemampuan, selera dan kebutuhan pasar yang ada. Mungkin kaitannya tidak hanya dengan produk saja, melainkan bisa juga dalam hal pembayaran, atau dengan penawaran lain yang dapat diberikan ke pasar.

"Melihat kondisi pasar saat ini, hal penting lainnya adalah tidak terlalu fokus pada perolehan margin yang besar, melainkan lebih memperhatikan penyerapan produk yang sudah ada," pungkasnya.

Redaksi@realestat.id

Berita Terkait

Kawasan perkantoran di CBD Jakarta. (Foto: Realestat.id/Anto Erawan)
Kawasan perkantoran di CBD Jakarta. (Foto: Realestat.id/Anto Erawan)
Ilustrasi perumahan menengah bawah. (Sumber: BP Tapera)
Ilustrasi perumahan menengah bawah. (Sumber: BP Tapera)