RealEstat.id (Jakarta) – Seakan lokasi “api abadi” spirit Indonesia, Jakarta takkan selesai menyala. Jika mengandaikan kota-kota bagai “pekerja” penyumbang produktivitas Indonesia, status baru Daerah Khusus Jakarta (DKJ) adalah promosi, bukan demosi. Takrif promosi pekerja berarti penaikan jabatan.
Dengan Undang-undang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ) yang disetujui pada sidang paripurna DPR tanggal 28 Maret 2024, tepat 17 Ramadan 1445 Hijriah, maka UU DKJ ialah berkah.
Ketahuilah, esensial dan bentuk formal UU DKJ ini sengaja dirancang dengan rekayasa legislasi skala nasional. Mana ada legislasi UU dibuat tanpa rancangan, bahkan dilarang tanpa kajian dan naskah akademis, dan tentunya diproyeksikan berlaku untuk jangka panjang.
Investor kudu jitu membaca tanda-tanda zaman ini. Legislasi merekayasa masa depan (future engineering) DKJ sedang menyala. Teori hukum yang dipakai: law as a tools of social engineering dari Roscou Pound. Dalil lain? UU DKJ itu beranjak dari kalkulasi ekonomi di bumi, air, laut, dan angkasa Jakarta. UU dibuat karena efisiensi dan surplus ekonomi. Teori hukum yang dipakai: economic analysis of law dari Ricard Posner.
Sebelumnya, UU Ibu Kota Negara diundangkan sudah, pun demikian pasal-pasal tertentu yang cepat-cepat diubah, konon demi kemudahan. Ibu Kota Negara Jakarta bersiap hendak pindah, tidak sekadar mandah.
Baca Juga: Kesungguhan Pembangunan Perumahan Rakyat: Percepatan, Percepatan, Percepatan
Benarkah D’Essentials substansi-materi UU DKJ itu berkah? Nantikan sepaket “hampers” ulasan renyah mengapa Jakarta tetap menyala.
Walau kedudukan Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta diubah menjadi Provinsi DKJ [vide Pasal 2 ayat (1) UU DKJ], namun ketika tiba hari “H” takdir Jakarta sah menjadi mantan Ibu kota Negara apabila sudah ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Kepres). Jika Kepres pindah ke IKN itu diundangkan, maka Majelis Permusyawararatan Rakyat (MPR)—yang bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun—dilaksanakan di ibu kota negara [vide Pasal 2 ayat (2) UUD 1945].
Sudah tepat dan konstitusional DKJ adalah daerah otonom setingkat provinsi, bukan pemerintah daerah khusus (Pemdasus) seperti halnya Ibukota Nusantara (IKN) dalam bentuk Otorita. Ya, Otorita sebagai lembaga negara setingkat kementerian yang menyelenggarakan Pemdasus IKN. Jangan bandingkan dengan konsep hukum Otorita Batam yang acap berubah-ubah.
Interupsi sebentar, jika menelaah Pasal 18 ayat (1) UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Desentralisasi telah menjadi pilihan konstitusional bentuk pemerintahan dalam negara demokrasi konstitusional.
Butir-butir essential itu menjadi rekapitulasi dalil-dalil mengapa bentuk pemerintahannya Propinsi DKJ, bukan Pemdasus Otorita Jakarta.
Baca Juga: Dari Kotabaru Jogja, Desak Perubahan Perkotaan: Indonesia Forever
Majelis Pembaca. Berdasarkan UU DKJ, status Provinsi DKJ yang diberikan kedudukan promosi yang mentereng sebagai Pusat Perekonomian Nasional dan Kota Global [vide Pasal 3 ayat (2)]. Promosi kedudukan ganda kepada DKJ itu bukan tema baru, namun sudah kenyataan empirik lajunya derap “Jakartanomic”, karena esensial Jakarta sebagai episentrum ekonomi urban terpenting di Indonesia.
Kontribusi DKJ sebagai Ibukota tertakar paling besar karena Jakarta menyumbang 17,3% bagi perekonomian nasional dan 27% ekonomi pulau Jawa.
Ikhwal Kota Global? Tidak ada keterangan dalam Penjelasan UU DKJ. Sebelum UU DKJ, Jakarta sudah berbenah menjadi Kota Global. Namun secara de jure kedudukan Jakarta Kota Global sudah diposisikan dengan UU DKJ ini. Kepada Jakarta diamanatkan fungsi sebagai tri-episentrum ini: (1) pusat perdagangan; (2) pusat kegiatan layanan jasa dan layanan jasa keuangan; (3) pusat kegiatan bisnis nasional, regional, dan global.
Transformasi DKJ menjadi Kota Global beralasan dan memiliki bibit, bebet, dan bobot bagus-menyala karena penduduk Jakarta sekitar 10,7 juta jiwa atau 3,9% populasi nasional. Penduduk usia produktif DKJ sekitar 71,27%. Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jakarta menjejak Rp3.200 triliun, setara 16,6% share nasional.
Menurut data, Kota Global Jakarta saat ini mencecah peringkat ke 45 dari 48 kota dalam Global Power City Index (GPCI), peringkat ke 152 dari 183 kota dalam Cities Motion Index, peringkat ke 139 dari 173 kota dalam Economic Intelligence Unit (IEU) Livability Index, peringkat ke 69 dari 156 kota dalam Global City Index (GCI). Masih jauh dibandingkan dengan New York, Paris, Singapura, yang selalu peringkat pertama bahkan Hongkong peringkat ke-5.
Baca Juga: Andai Kota-Kota itu Bernyawa, Tidak Cukup Transformasi 40 Kota
Komponen Kota Global itu berat, gerakanlah persyaratan karakter ini: aktivitas bisnis, sumberdaya manusia, pertukaran informasi, pengalaman budaya, dan keterlibatan politik.
Walau Kota Global itu berat, biar Jakarta saja. Karena Jakarta Kota Global yang sudah menyala, dan kinerjanya bukan kaleng-keleng tanpa prestasi juara utama. Salah satunya debut Kota Global Jakarta memenangi penghargaan internasional sebagai kota terbaik di dunia dalam Sustainable Transport Award (STA) 2021. Jakarta menjadi kota pertama di Asia Tenggara memenangi STA sebagai berkah dari program integrasi antarmoda transportasi publik.
Memperkaya data dan analisa, tengoklah pemeringkatan BPS ini: Jakarta menyabet indeks Pembangunan Manusia Tertinggi 2020, Indeks Demokrasi Tertinggi 2017 - 2020. Jakarta juga berprestasi dalam hal: Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan Terbaik 2020 (Kemenaker), Kota Peduli HAM 2020 (Kemenkumham), Provinsi Peduli Anak 2020 (KPAI), Harmony Award 2020 (Kemenag), Innovative Government Award 2020 (Kemendagri), Anugerah Keterbukaan Informasi Publik 2018-2020 (KIP), Penghargaan Inovasi Transparansi Pengadaan 2020 (LKPP), Pengendalian COVID-19 Terbaik nasional 2021 (Litbang Kompas), Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) 2017-2020 (BPK).
Namun jangan jumawa, di pundak Propinsi DKJ derap masa depan ekonomi urban di Indonesia dibebankan. Meniru teori law as a tools of social engineering dari Tuan Roscou Pound, maka UU DKJ itu a tools of future engineering bagi kedudukan dan fungsi Provinsi “Global” DKJ.
Baca Juga: Polusi Melanda Ibu Kota Jakarta, Apa Kabar Kesehatan Perkotaan?
Kewenangan Khusus dan Aglomerasi
Bukan hanya direkayasa menjadi kota dengan kedudukan mentereng yang menjadi misi berat sebagai Pusat Perekonomian Nasional dan Kota Global, namun penyelenggaraan pemerintahan DKJ diberikan 15 wewenang khusus, yang membuat Jakarta semakin menyala. Termasuk kewenangan khusus penyediaan dan pembiayaan perumahan rakyat dan kawasan permukiman.
Kewenangan khusus kepada DKJ itu konstitusional, karena konstitusi menjamin pemerintahan daerah dengan otonomi seluas-luasnya.
Berikut ini 15 kewenangan khusus: pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukinan; penanaman modal; perhubungan; lingkungan hidup; perindustrian; pariwisata dan ekonomi kreatif. Tak hanya itu, juga: perdagangan; pendidikan; kesehatan; kebudayaan; pengendalian penduduk dan keluarga berencana; administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; kelautan dan perikanan; ketenagakerjaan.
Kewenangan khusus itu menerobos daftar urusan dalam Lampiran UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda), misalnya bidang perumahan dan kawasan permukiman yang mencakup penyediaan dan penetapan kriteria penghunian rumah layak dan terjangkau bagi masyarakat; dan penyediaan dan pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan masyarakat berpenghasilan tertentu.
Baca Juga: Kisruh Dana PSU 2024: Review Lebih Cepat, Bahagia Rakyat Lebih Tepat
Eureka! UU DKJ telah menjembatani kebuntuan urusan penyediaan (apalagi pembiayaan) perumahan MBR di daerah akibat dari pembatasan Lampiran UU Pemda ikhwal urusan penyediaan perumahan MBR di daerah provinsi dan kabupaten/kota. Termasuk, kewenangan khusus perhubungan meliputi lalu lintas angkutan jalan, pelayaran, perkeretaapian. Kewenangan khusus perumahan dan transportasi itu saja membuat Jakarta semakin menyala.
Jika IKN memiliki visi sebagai kota dunia untuk semua yang konsep kotanya dibangun dan dikelola menjadi kota berkelanjutan di dunia sebagai kota di dalam hutan (forest in the city) namun IKN adalah ibukota domestik NRI. Berbeda dengan DKJ by law berkedudukan sebagai Pusat Perekonomian Nasional dan Kota Global yang melampaui fungsi kota-kota domestik.
Kedudukan dan fungsi DKJ sedemikian diturunkan dari asas otonomi dan desentralisasi dengan mekanisme demokrasi konstitusional, di mana UU DKJ menegaskan Provinsi DKJ dipimpin Gubernur yang dipilih langsung rakyatnya, karena itu Provinsi DKJ bukan Otorita Pemdasus Jakarta.
Karena itu, DKJ bukan hanya berkah namun tidak tergantikan bagi NRI, dan bersesuaian dengan konstitusi BAB VI UUD 1945 mengenai Pemerintahan Daerah.
Mengapa DKJ berkah dan tidak tergantikan? Selain dalil historis dan alibi perjuangan kemerdekaan NRI, namun DKI Jakarta sekarang DKJ memberi sumbangan sebagai episentrum ekonomi urban yang budiman bagi NRI.
Baca Juga: Ayat-ayat Kolaborasi Jakarta Habitat: Sebuah Kolaborasi Kota - Manusia
Itu bukan hanya pernyataan deklaratif dan pengakuan normatif namun sebuah pembuktian empiris berbasis data. UU DKJ membuktikan Jakartanomics.
Dalam Penjelasan UU DKJ yg bersifat empiris dan akademis, terbukti jakarta sebagai kota bisnis dan perdagangan sejak zaman Belanda dengan pelabuhan Jayakarta dijadikan VOC sebagai pusat kendali perdagangan ke penjuru nusantara dan dunia.
Kini pelabuhan Tanjung Priok menjadi pintu masuk bagi 17,3% impor barang masuk ke negeri ini.dan 35,4% dari pulau Jawa. Nilai ekspor dari pintu keluar Tanjung Priok dari pulau Jawa 50,3%. Pelabuhan di Jakarta Utara itu menampung 47,4% barang untuk didistribusikan ke luar pulau Jawa. Belum lagi, melalui pelabuhan udara yang terbaik di Indonesia.
Dengan modalitas itu belum mencakup proyeksi pengembangan kawasan DKJ yang bisa lebih maju dan semakin mengglobal dari saat ini karena adanya politik hukum kawasan aglomerasi dalam UU DKJ dengan justifikasi teori Pound dan Posner.
Caranya, mensinkronkan pembangunan DKJ dengan daerah sekitarnya yang dibentuk sebagai Kawasan Aglomerasi yang luasnya bisa sepertiga Jawa, karena mencakup minimal wilayah Provinsi DKJ, Kabupaten Bogor, Kabupaten tangerang, Kabupaten Bekasi, kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi. Karena minimal, maka Kawasan Aglomerasi bisa lebih menyala lagi.
Baca Juga: Verifikasi Lapangan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) Jangan Langgar Hak Konstitusi
Sinkronisasi itu melalui sinkronisasi dokumen rencana tata ruang dan dokumen perencanaan pembangunan kementerian/Lembaga, propinsi, kabupaten/kota dalam cakupan Kawasan Aglomerasi. Yang dituangkan dalam rencana Induk Pembangunan Kawasan Aglomerasi.
Selain mengharmonisasi kebijakan dan tindakan pengembangan wilayah, tentu berdampak bagi pertumbuhan ekonomi dan efisiensi serta efektivitas menghadapi beban-beban DKJ. Pasti ada justifikasi analisa ekonomi (economics analysis of the law) mempromosikan aglomareasi dan kelembagaan Dewan Kawasan Aglomerasi, sehingga lebih sekedar administrasi kerjasama antar daerah saja.
Dengan UU DKJ, segera ada dokumen rencana induk, kebijakan strategis Jakarta Kota Global, termasuk program dan kegiatan strategis yang membuat Jakarta terus menyala, mulai dari transportasi sampai energi, dan dukungan anggaran Pemerintah Pusat. Juga, badan hukum layanan bersama untuk layanan lintas daerah yang mempunyai kekayaan sendiri dan mengelola keuangan sendiri.
Berkah lain? Mengesahkan politik anggaran yang mewajibkan alokasi dana (mandatory spending) untuk Kelurahan yang dipatok paling sedikit 5% yang berasal dari APBD.
Alokasinya pun tidak mengambang, namun wajib diperuntukkan bagi penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan [vide Pasal 15 ayat (7) UU DKJ].
Baca Juga: Beleid Rumah Sehat Jakarta, Menjejakkan Kota Bahagia
Untuk apa dan siapa mandatory spending minimal 5% Kelurahan itu? Ini daftarnya: pangan dan papan lansia dan tidak bekerja; pendidikan gratis anak yatim piatu; modal kerja penyandang disabilitas; perbaikan gizi balita keluarga miskin; lapangan kerja anak putus sekolah; taman bermain masyarakat daerah kumuh; fasilitas kegiatan agama di daerah kumuh; dasa wisma, pos yandu, PKK, jumantik; kelompok kerja bank sampah mandiri yang dikelola kader dan rukun warga. Ini ikhtiar pemberdayaan warga, kota untuk semua dan mewujudkan keberlanjutan antara kota dengan komunitasnya (sustainability the city and community).
Pemberdayaan dan peremajaan Kelurahan itu menyokong menyalanya Kota Global Jakarta, yang tata kelola, transparansi, dan akuntabitasnya kudu harus diawasi dan dijaga.
Dengan UU DKJ, kedudukan Pusat Perekonomian Nasional dan Kota Global, yang diberikan 15 kewenangan khusus pada Provinsi DKJ maka opini ini mengendus hawa kemajuan masa depan kota kemenangan ini dengan terbitnya UU DKJ.
Tak berlebihan menarasikan perubahan Jakarta & D’Essentials dari status DKI ke DKJ itu, namun Jakarta tak tergantikan. Aduh: menjadi Jakarta yang tak tergantikan itu takdir yang indah; dan romantis. Kita bikin (UU DKJ) romantis, esensasial Jakarta tak habis-habis.
Dengan narasi ringkas ini, hemat saya kata “seakan” di awal opini ini sudah tak diperlukan lagi. Menjadi sesungguhnya “api abadi” spirit Indonesia, Jakarta tak-kan selesai menyala. Cakep! Tabik Jakarta.
Artikel ini ditulis oleh: Muhammad Joni, SH, MH.
Penulis adalah advokat perumahan rakyat, Sekretaris Umum The Housing and Urban Development (HUD) Institute, anggota Badan Kajian Strategis DPP REI (2023 - 2027), Ketua bidang Hukum dan Advokasi DPP HIMPERRA), dan Sekjen PP IKA Universitas Sumatera Utara.
Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News