Risiko Hukum Dalam Pengucuran Kredit Properti, Apa Saja?

Penyaluran kredit properti memiliki potensi risiko hukum, seperti risiko hukum tata usaha negara, hukum perdata, hukum PKPU/Kepailitan, dan hukum pidana.

Juneidi D. Kamil, Pakar Hukum Properti (Foto: RealEstat.id)
Juneidi D. Kamil, Pakar Hukum Properti (Foto: RealEstat.id)

RealEstat.id (Jakarta) - Juli silam saya berkesempatan memberikan materi tantangan permasalahan hukum dalam pemberian kredit properti di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Mereka meminta saya untuk sharing session selaku alumni.

Dalam kesempatan ini, saya bermaksud mengeksplorasi materi itu lebih lanjut karena penting bagi pelaku usaha properti terlebih bagi para praktisi perbankan. Karena dalam pemberian kredit properti, terdapat beberapa potensi risiko hukum yang melingkupinya, mulai dari risiko hukum tata usaha negara, risiko hukum perdata, risiko hukum PKPU/Kepailitan dan risiko hukum pidana.

Baca Juga: Debitur Tersandung Kasus PKPU/Kepailitan, Risiko Bank Meningkat

Oleh karenanya, pelaku usaha properti dan pihak perbankan harus berhati-hati. Bagi pengembang properti penting untuk menyadari bahwa kebutuhan saat ini bukan semata-mata bagaimana mendapatkan kredit bank membantu permodalan, tetapi juga penting pula memperhatikan proses untuk mendapatkannya.

Risiko Hukum Tata Usaha Negara
Risiko hukum tata usaha negara berkaitan dengan perijinan dan sertifikat hak atas tanah. Risiko hukum ini terjadi apabila penerbitan perijinan yang dikantongi pengembang properti dan alas hak tanah lokasi proyek cacat hukum administratif dalam penerbitannya.

Cacat hukum administratif diatur dalam pasal 107 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Berdasarkan ketentuan ini cacat hukum administratif mencakup beberapa jenis.

Baca Juga: Waspada Sindikat Kepailitan, Konsumen Properti Harus Cerdas

Pertama, karena kesalahan prosedur. Kedua, kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan. Ketiga, kesalahan subyek hak. Keempat, kesalahan obyek hak. Kelima, kesalahan jenis hak. Keenam, kesalahan penghitungan luas. Ketujuh, terdapat tumpang tindih hak atas tanah. Kedelapan, data yuridis atau data fisik tidak benar. Kesembilan, kesalahan lainnya yang bersifat administratif.

Cacat hukum dalam penerbitan perijinan dan sertifikat hak atas tanah dapat membuat proyek properti menjadi vakum alias standfast (status quo). Proyek menjadi vakum akibat hak tanah lokasi diletakkan sita oleh pengadilan. Penyitaan ini dapat berakibat pembangunan terhenti dan jual beli tidak dapat dilakukan.

Pembelian lahan untuk investasi properti yang dilakukan pengembang harus hati-hati. Beberapa kasus memperlihatkan penguasaan lahan properti yang dilakukan pengembang mendapatkan gugatan dari pihak lain yang mengaku berhak atas tanah tersebut.

Baca Juga: Gagal Serah Properti: Kepailitan Developer atau Wanprestasi?

Mereka mengajukan pembatalan sertifikat hak atas tanah ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengembang properti seyogianya semakin berhati-hati, terlebih masih maraknya aksi mafia tanah yang dapat merugikan pengembang dalam pembebasan lahan.

Pihak ketiga yang mengajukan gugatan permohonan sertifikat tanah pengembang dapat berupa ahli waris yang merasa dirugikan atas penjualan lahan yang sebenarnya merupakan harta waris (boedel). Dalam kasus lain terdapat pula pihak ketiga yang dirugikan karena sebelumnya sudah membeli lahan yang dikuasai oleh pengembang.

Risiko Hukum Perdata
Risiko hukum perdata merupakan risiko hukum yang bersifat privat berkaitan adanya sengketa atau perselisihan antara dua subjek hukum atau lebih atau kelompok masyarakat yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Pemulihan kerugian oleh satu pihak dilakukan dengan mengajukan gugatan wan prestasi dan/atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) ke pengadilan negeri.

Dalam praktik, gugatan perdata terkait adanya perselisihan yang timbul dalam perjanjian kerjasama yang berlangsung dalam investasi properti. Perselisihan bisa terjadi antara pengembang dan pemilik tanah, antara pengembang dan kontraktor, antara pengembang dan supplier serta antara pengembang dan konsumen.

Baca Juga: Pengembang dalam PKPU, Konsumen Lakukan 3 Hal Penting Ini!

Perselisihan antara pengembang dan pemilik tanah disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, dana realisasi penjualan properti tidak disetorkan kepada pemilik tanah sesuai dengan kesepakatan dalam kerjasama. Kedua, jangka waktu penyetoran dana yang dijanjikan oleh pengembang kepada pemilik tanah berlarut-larut. Ketiga, pemilik tanah meminta tambahan prosentase keuntungan karena jangka waktu perjanjian kerjasama sudah berakhir.

 Perselisihan antara pengembang dengan kontraktor juga dapat terjadi saat pembayaran progress prestasi pembangunan yang dilakukan kontraktor tidak dibayarkan oleh pengembang. Sementara perselisihan antara pengembang dan supplier terjadi karena bahan bangunan (material) yang sudah dipasok oleh supplier tidak dibayarkan oleh pengembang.

Sedangkan perselisihan antara pengembang dan konsumen terjadi karena keterlambatan penyelesaian pembangunan serta sarana dan prasarana yang dijanjikan oleh pengembang kepada konsumen, belum selesainya sertifikat tanah dan proses balik nama ke atas nama konsumen serta spesifikasi bangunan yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.

Baca Juga: 3 Langkah Penting Konsumen Properti saat Pengembang Pailit

Risiko Hukum PKPU/Kepailitan
Risiko hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)/Kepailitan terjadi akibat adanya pihak yang merasa dirugikan atas kewajiban utang yang belum diselesaikan pengembang. Dalam praktik perkara PKPU/Kepailitan di Pengadilan Niaga, permohonan PKPU/Kepailitan ini bukan hanya ditujukan terhadap pengembang selaku badan hukum tetapi juga terhadap pengurus perseroan.

Risiko hukum Kepailitan berakibat adanya sita umum atas semua kekayaan pengembang selaku debitor pailit. Pengurusan dan pemberesan harta kekayaaannya itu dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas Pengadilan Niaga. Pengembang yang dinyatakan dalam pailit berdasarkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga tidak berwenang lagi bertindak atas kekayaan yang dimilikinya. 

Permohonan PKPU/Kepailitan yang diajukan terhadap pengembang dan/atau pengurus perseroan dapat berdampak kepada risiko hukum yang pada akhirnya menyebabkan munculnya risiko kredit perbankan. Penyelesaian dan pemasaran proyek properti menjadi terganggu sehingga kelangsungan pengembalian kredit bank juga menjadi terkendala. Proyek properti besar kemungkinan menjadi mangkrak menunggu putusan hukum dari Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa perkara ini.

Baca Juga: Langkah Kepailitan Pengembang Properti Belum Tentu Pas

Risiko PKPU/Kepailitan disebabkan pengembang selaku debitor memiliki 2 (dua) atau lebih Kreditur yang memiliki tagihan yang salah satu diantaranya sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Kreditur ini dapat dibedakan atas kreditur konkuren, kreditur seperatis dan kreditur preference.

Kreditur konkuren dapat berupa pemilik tanah, kontraktor, supplier dan konsumen properti. Kreditur seperatis pada umumnya adalah bank yang memberikan fasilitas kredit modal kerja konstruksi yang sudah membebani jaminan yang diserahkan oleh pengembang dengan hak tanggungan. Sedangkan kreditur preference adalah Kantor Pajak yang memiliki tagihan kepada pengembang atas tunggakan pajak yang belum dibayarkan pengembang.

Risiko Hukum Pidana
Sedangkan risiko hukum pidana mencakup kepentingan publik. Akibatnya, lembaga penegak hukum Kepolisian dan Kejaksaan dapat berperan dalam memulihkan kepentingan publik. Keadaan ini akan membuat pelaku usaha properti terlebih pihak perbankan menjadi "ngeri-ngeri tak sedap", makan tidak enak, tidurpun tidak nyenyak.

Risiko hukum pidana yang melingkupi pemberian kredit properti dapat berupa tindak pidana umum, tindak pidana khusus dan tindak pidana perbankan (tipibank). Tindak pidana khusus dapat berupa tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sementara tindak pidana perbankan terjadi akibat ketidakhati-hatian pegawai bank dalam penyaluran kredit perbankan.

Baca Juga: Pengembang dalam PKPU, Bagaimana Nasib Konsumen Properti?

Masing-masing tindak pidana ini memiliki dampak yang berbeda terhadap pengembang dan pegawai bank. Tindak pidana umum lebih kepada adanya tindak pidana penipuan, tindak pidana penggelapan. Dalam jenis tindak pidana umum ini, kapasitas pengembang berpotensi menjadi tersangka sementara kapasitas pegawai bank pada umumnya adalah saksi.

Keadaan ini berbeda dengan tindak pidana korupsi dan TPPU dimana pihak pengembang dan pegawai bank berpotensi menjadi tersangka. Sementara dalam tindak pidana perbankan (tipibank), kapasitas pegawai bank bukan hanya sebagai saksi tetapi berpotensi untuk menjadi tersangka.

Penutup
Uraian dalam artikel ini setidak-tidaknya dapat membantu pelaku usaha properti dan perbankan dalam mengidentifikasi risiko hukum yang dihadapi dalam pemberian kredit properti.  Risiko-risiko hukum yang sudah teridentifikasi ini sedapat mungkin diukur, dievaluasi dalam rangka menyusun langkah-langkah mitigasi risikonya.

Memang tiada bisnis tanpa risiko. Risiko bukan semata-mata dihindari tetapi risiko harus senantiasa dikelola (dimitigasi), terlebih perbankan yang merupakan industri jasa keuangan yang sarat dengan risiko. Kemampuan mengelola risiko sangat tergantung kepada pengetahuan yang dimiliki. Sebuah kata bijak mengingatkan, “Risiko muncul akibat ketidaktahuan apa yang kamu kerjakan”. Aman dan bijaklah dalam melakukan bisnis properti.

Semoga artikel ini bermanfat.

Juneidi D. Kamil, SH, ME, CRA adalah Praktisi Hukum Properti dan Perbankan. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis. Untuk berkorespondensi, dapat disampaikan melalui email: kamiljuneidi@gmail.com.

Berita Terkait

Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)