Regulasi Tanah Telantar Dorong Kolaborasi Stakeholder Properti

Tanah telantar adalah tanah yang diperoleh dari Dasar Penguasaan Atas Tanah yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, atau tidak dipelihara.

Juneidi D. Kamil, Pakar Hukum Properti (Foto: RealEstat.id)
Juneidi D. Kamil, Pakar Hukum Properti (Foto: RealEstat.id)

RealEstat.id (Jakarta) - “The New Normal is Collaborating”. Investasi dalam bisnis properti di era new normal adalah dengan berkolaborasi. Kolaborasi kembali menjadi kebutuhan mendesak di saat regulasi penertiban dan pendayagunaan tanah telantar sedang disempurnakan pemerintah.

Pelaku usaha properti harus segera mengantisipasi dampak penyempurnaan regulasi penertiban dan pendayagunaan tanah telantar ini, karena risiko datang dari ketidaktahuan apa yang kamu kerjakan (Warren Buffet).

Regulasi Tanah Telantar
Undang-undang No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) mengamanatkan penyempurnaan ketentuan tentang tanah telantar. Bunyi ketentuan ini dapat disimak dalam pasal 180 undang-undang ini. Hak, izin atau konsesi atas tanah dan/atau kawasan yang dengan sengaja tidak diusahakan atau ditelantarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak diberikan dicabut dan dikembalikan kepada negara (ayat 1).

Baca Juga: Punya Kawasan dan Tanah Telantar? Siap-siap Disita Negara!

Dalam pelaksanaan pengembalian kepada negara, Pemerintah Pusat dapat menetapkan hak, izin atau konsesi tersebut sebagai aset Bank Tanah. UUCK mengamanatkan adanya peraturan pemerintah yang mengatur tentang pencabutan hak, izin atau konsesi dan penetapkannya sebagai aset Bank Tanah (ayat 3).

Sebenarnya jauh-jauh hari sejak berlakunya UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sudah diatur tentang tanah telantar. Perhatikan saja ketentuan dalam pasal-pasal Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40. Hak atas tanah hapus antara lain karena ditelantarkan. Penelantaran tanah menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat serta menurunkan kualitas lingkungan.

Untuk melaksanakan ketentuan itu, sudah diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 11 tahun 2010 tentang  Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. Badan Pertanahan Nasional juga sudah menerbitkan peraturan Kepala BPN No. 4 tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Telantar. Namun pemerintah menyadari masih banyak kelemahan sehingga perlu disempurnakan.

Baca Juga: 5 Tips Investasi Tanah yang Aman dan Menguntungkan

Penyempurnaan ketentuan terkait dengan tanah telantar ini memiliki 5 (lima) hal. Pertama, mewujudkan keadilan pertanahan (dalam rangka reforma agraria). Kedua, menjamin kepastian hukum. Ketiga, mewujudkan kepatuhan terhadap aturan. Keempat, mewujudkan kemanfaatan atas tanah. Kelima, memperkuat fungsi sosial hak atas tanah.

Regulasi sebelumnya belum memberikan pengertian tentang tanah telantar. Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tanah telantar diartikan sebagai tanah hak, tanah Hak Pengelolaan, atau tanah yang diperoleh dari Dasar Penguasaan Atas Tanah yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, atau tidak dipelihara.

Berdasarkan pengertian ini maka tanah telantar itu dapat berupa tanah yang sudah terdaftar di Kantor Pertanahan atau memiliki sertifikat hak atas tanah seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan dan Hak Guna Usaha.

Baca Juga: ATR/BPN: Begini Cara Membuat Sertifikat Tanah Wakaf

Bidang tanah yang ditetapkan telantar oleh pemerintah mengakibatkan terjadinya status quo atas bidang tanah tersebut. Bidang tanah tersebut tidak dapat dialihkan, dibebankan dan atau dimanfaatkan lagi oleh pemegang hak. Terhadap bidang tanah yang ditetapkan sebagal tanah telantar maka berakibat kepada  hapusnya hak atas tanah, putusnya hubungan hukum antara pemegang hak dengan hak atas tanahnya serta penegasan sebagai tanah negara bekas Tanah Telantar yang dikuasai langsung oleh negara.

Pengembang properti harus segera antisipatif terhadap penyempurnaan regulasi penertiban dan pendayagunaan tanah telantar ini. Bidang tanah yang sudah dikuasai pengembang tetapi belum dimanfaatkan sesuai dengan perijinan yang ada berpotensi menjadi tanah yang ditetapkan sebagai tanah telantar.

Bukan hanya pengembang, pihak perbankan juga harus waspada atas obyek jaminan kredit yang berupa bidang tanah tetapi belum dimanfaatkan sesuai dengan peruntukan dalam perijinan yang dimiliki pemegang haknya.  Hak atas tanah yang menjadi jaminan kredit apabila ditetapkan sebagai tanah telantar maka hak atas tanahnya hapus. Konsekwensi bagi  bank adalah hak bank sebagai pemegang hak tanggungan juga hilang karena hak tanggunan hapus akibat berakhirnya hak atas tanah.

Baca Juga: Tanah Helikopter: Antisipasi dan Solusinya

Dorongan Kolaborasi
Pembangunan properti, baik residensial (landeed atau high rise building), gedung bangunan kantor (office tower) ataupun pusat perbelanjaan (mall/trade center) senantiasa membutuhkan bidang tanah yang luas. Namun pengembang belum tentu langsung membangun proyek properti yang semula direncanakan dengan berbagai alasan. Dalam praktik bisnis properti, pengembang harus segera menguasai lahan sebelum proyek properti yang sedang dikembangkannya selesai.

Pengembang senantiasa menguasai bidang tanah untuk menjaga kesinambungan bisnisnya. Proses pembebasan lahan yang memakan waktu relatif panjang membuat pengembang harus mempersiapkan lahan sejak dini untuk pengembangan proyek properti berikutnya. Terlebih lagi nilai tanah semakin lama semakin meningkat dan pengembang senantasa mengharapkan keuntungan dari bidang tanah yang  dikuasainya.

Setelah lahan dikuasai, terdapat beberapa pertimbangan pengembang untuk tidak segera membangun proyek properti. Faktor penyebabnya dapat berupa faktor internal maupun dari faktor eksternal.

Baca Juga: Dukung UU Cipta Kerja, ATR/BPN Susun 5 RPP Pertanahan

Faktor-faktor internal mencakup dua hal. Pertama, momentumnya masih belum pas karena potensi pasar masih sepi. Pandemi Covid-19 yang melanda negeri membuat permintaan properti terkoreksi, berkurang dibandingkan dengan sebelumnya terutama segmentasi menengah ke atas. Pengembang saat memulai proyek properti harus terus membangun dan menyelesaikan proyek properti untuk menumbuhkan kepercayaan pasar. Proyek properti yang mangkrak menimbulkan keyakinan pasar menjadi terganggu.

Kedua, terbatasnya modal kerja yang dimiliki pengembang sementara proyek properti yang sedang dikembangkannya masih belum selesai. Pengembang dalam kondisi normal harus memiliki share dari dana sendiri minimal 20% sebelum pembangunan proyek properti dilaksanakan di luar bidang tanah yang dikuasai. Sementara kondisi saat ini self financing yang dibutuhkan lebih besar karena sumber dana uang muka dari pembelian konsumen belum memadai. Sementara dukungan kredit perbankan juga mempertimbangkan kepastian dari calon konsumen.

Sedangkan faktor-faktor eksternal berupa pengurusan perijinan proyek properti seperti IMB, Amdal, Amdalalin masih belum selesai.  Kemudian karena lahan yang dikuasai pengembang masih menjadi obyek sengketa baik yang sudah bermuara ke pengadilan maupun yang masih diupayakan penyelesaian melaui negosiasi atau mediasi.

Baca Juga: Buka Rakernas REI 2020, Wapres Sebut 8 Aspek UU Cipta Kerja Terkait Properti

Pemerintah saat ini terus menyempurnakan regulasi penertiban dan pendayagunaan tanah telantar yang mau tidak mau pengembang harus segera memanfaatkan lahan yang dikuasai secara produktif. Dalam konteks hukum agraria, hak atas tanah harus berfungsi sosial. Artinya setiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib mempergunakan tanahnya dengan memelihara tanah, menambah kesuburannya, mencegah terjadi kerusakannya sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan lingkungan.

Pengembang sebaiknya segera menginisiasi kolaborasi dengan pihak lain untuk mengembangkan lahan yang belum dibangunnya. Bidang tanah yang sudah dikuasai pengembang namun belum dibangun berpotensi ditetapkan sebagai tanah telantar baik sebagian maupun seluruhnya. Penetapan tanah yang dikuasai sebagai tanah terantar tentu saja merugikan pengembang.

Kolaborasi menjadi solusi mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam mengembangkan atau membangun lahan yang dikuasai saat ini. Inisiatif untuk kolaborasi dapat diakselerasi melalui peran asosiasi pelaku usaha properti atau pihak perbankan.

Baca Juga: Wabah Covid-19, Pelayanan Pertanahan ATR/BPN Gunakan Jalur Elektronik

Asosiasi pelaku usaha properti dapat berperan untuk menyahuti kebutuhan para anggota yang sedang mengalami kesulitan dalam mengembangkan atau membangun proyek properti yang sudah dikuasai. Pihak perbankan juga dapat membantu mencarikan mitra kolaborasi karena berkepentingan agar obyek jaminan yang dikuasainya dapat dimanfaatakan secara produktif agar terhindar dari penetapan sebagai tanah telantar.

Penutup
Pengembang properti sebaiknya segera mengantisipasi berlakunya Peraturan Pemerintah Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar yang saat ini masih berupa rancangan. Disamping itu, pengembang segera mengidentifikasi dan mengevaluasi bidang tanah yang dimiliki saat ini, apakah sudah dimanfaatkan secara produktif atau berpotensi masuk dalam kriteria sebagai tanah telantar.

Dan saatnya pengembang properti bersikap realistis atas lahan yang dikuasainya saat ini. Pengembang dapat melakukan kolaborasi sehingga risiko hukum dari pemberlakuan regulasi Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar dapat segera termitigasi.

Akhirnya, sebuah pesan bijak dari Robert T. Kiyosaki sangat bermanfaat mengakhiri artikel ini. Beliau berujar, “Melakukan Investasi dimulai dan diakhiri dengan pengendalian terhadap diri sendiri”. Aman dan bijaklah dalam melakoni bisnis properti, semoga artikel ini bermanfaat.

Juneidi D. Kamil, SH, ME, CRA adalah Praktisi Hukum Properti dan Perbankan. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis. Untuk berkorespondensi, dapat disampaikan melalui email: kamiljuneidi@gmail.com.

Berita Terkait

Foto: Dok. Kementerian PU
Foto: Dok. Kementerian PU
Ilustrasi program 3 juta rumah, (Sumber: BP Tapera)
Ilustrasi program 3 juta rumah, (Sumber: BP Tapera)
Anak-anak penghuni Rusun Pasar Rumput (Foto: Dok. Kementerian PKP)
Anak-anak penghuni Rusun Pasar Rumput (Foto: Dok. Kementerian PKP)