RealEstat.id (Jakarta) - Kendati aturan mengenai Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dihapus, dan diganti dengan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), namun ternyata aturan baru ini belum efektif. Bahkan, peraturan ini disinyalir akan membuat pembangunan perumahan menjadi stagnan.
Kritik kencang atas lambatnya PBG perumahan, termasuk perumahan rakyat. Soal ini mencuatkan sikap asosiasi real estat maupun perumahan meminta pemerintah menerbitkan segera kebijakan publik ikhwal PBG yang pro MBR (masyarakat berpenghasilan rendah).
Baca Juga: Menakar Kebijakan Masa Transisi Penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG)
Tak kurang dari Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPP REI), Paulus Totok Lusida telah mengatakan bahwa REI berharap solusi terkait PBG menjadi salah satu prioritas jangka pendek. Pasalnya, pengembang berhadapan dengan target waktu.
Hal ini disampaikan Totok saat Breakfast Meeting Dirjen Perumahan Kementerian PUPR, Iwan Suprijanto bersama sejumlah asosiasi Pengembang perumahan, di Jakarta, Selasa, 11 Januari 2022 lalu.
Guna mengatasinya, perlu mengubah paradigma dan taat asas. Caranya? Retribusi PBG jangan jadi isu penghambat dalam menjalankan amanat perumahan rakyat.
Baca Juga: Asosiasi Pengembang Ungkap Sejumlah Kendala Sektor Perumahan yang Harus Diatasi Pemerintah
Berikut ini lima catatan kritis terkait aturan PBG:
1. Perumahan rakyat cq. MBR—apalagi rumah khusus, misalnya untuk kawasan pulau terluar ataupun rekonstruksi paska bencana—adalah hak dasar dan amanat konstitusi. Bukan perumahan komersial. Ironis jika pembangunannya terhambat birokrasi PBG dan ditarik retribusi pula.
2. Pembangunan perumahan MBR adalah kewajiban pemerintah dan bahkan pemerintah wajib menyediakan bantuan dan kemudahan yang diatur Pasal 54 ayat (1), (2), (3) UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP). Kewajiban pemerintah dari UU PKP itu sepatutnya bukan objek pungutan, retribusi juncto pajak. Malah mestinya difasilitasi.
3. Perumahan rakyat—terutama bagi MBR—adalah urusan konkuren pemerintah dan Pemda yang merupakan kebutuhan dasar atau primer sebagaimana UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda. Perumahan bukan kebutuhan sekunder apalagi tersier. Apalagi angka backlog perumahan hingga kini belum kelar tuntas.
Baca Juga: 2022, BP Tapera Fasilitasi Pembiayaan 309.000 Rumah Subsidi, Ini Rinciannya
4. Perumahan rakyat—bagi MBR yang tak hanya membangun fisik rumah saja—mestinya bisa diskemakan tanpa beban retribusi. Hal itu konsisten dengan agenda rasionalisasi dan debirokrasi rantai pasok perumahan, sehingga menjadi pasar yang sehat dan efisien, dan good governance.
5. Kompensasi atas nihilnya retribusi PBG perumahan MBR masih bisa diatasi dengan skema kebijakan stimulan perumahan MBR dari APBN kepada Pemda, yang diambil dari alokasi fiskal pembiayaan perumahan MBR pasca-pengalihan FLPP ke BP TAPERA. Harus diingat, menurut Pasal 54 UU PKP tegas bahwa bantuan dan kemudahan pembiayaan perumahan MBR itu kewajiban pemerintah, dengan atau tanpa TAPERA.
Tabik.
Muhammad Joni, Advokat Joni & Tanamas Law Office, Sekretaris Umum The HUD Institute, Ketua Kornas Perumahan Rakyat, dan Wakil Ketua Badan Advokasi Konsumen DPP Realestat Indonesia yang juga penulis buku "Ayat-ayat Perumahan Rakyat". Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis. Untuk berkorespondensi, dapat disampaikan melalui email: mhjonilaw@gmail.com.