Pengembang Frustrasi: 'Lama-lama Capek Ngurusi Rumah Subsidi'

Pengembang mengkritik proses harmonisasi ketentuan kenaikan harga rumah subsidi yang berbelit-belit.

Foto: realestat.id
Foto: realestat.id

RealEstat.id (Jakarta) – Asosiasi pengembang perumahan, yakni Realestat Indonesia (REI), Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), dan Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) mengeluhkan terus ditundanya penyesuaian harga rumah subsidi.

Pemerintah dinilai malah membuat regulasi-regulasi yang dianggap tidak perlu, bahkan justru mempersulit pengembang membangun rumah subsidi. Hal ini dibeberkan dalam diskusi “Akhir Cerita Program Sejuta Rumah?” yang diselenggarakan Indonesia Housing Creative Forum (IHCF) dan Real Estate Editors Community (RE2C) di Jakarta, Jumat (19/5/2023).

Wakil Ketua Umum DPP REI, Maria Nelly Suryani menegaskan, selama Pemerintah memiliki keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), maka penyediaan rumah subsidi dan Program Sejuta Rumah (PSR) akan terus berlanjut.

Pasalnya, pengembang masih berkomitmen untuk membantu tugas pemerintah dalam menyediakan perumahan bagi MBR. Namun, dia mengungkapkan, pembangunan rumah subsidi yang dibiayai Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) masih mengalami beragam kendala.

Baca Juga: Program Sejuta Rumah Capai Angka 298.203 Unit di Akhir April 2023

Salah satu masalah adalah tidak diaturnya kenaikan harga jual sejak 2020. Sebaliknya, para pengembang malah dituntut untuk meningkatkan kualitas rumah dengan persyaratan yang terlalu njelimet.

“Sebenarnya tidak apa-apa rumah subsidi dituntut berkualitas dengan spek tinggi, asal harganya harus seimbang. Ada barang, ada harga! Jika syarat tersebut tetap dipaksakan—tetapi harga tidak disesuaikan—akan berdampak pada makin banyaknya pengembang rumah subsidi yang tumbang atau beralih membangun rumah komersial,” papar Maria.

Menurutnya, pengembang tidak bisa membangun hanya dengan modal tanah saja, tetapi juga butuh bahan material. Sementara setiap tahun harga material pasti naik, dan kenaikan tersebut harus diikuti pengembang. Sebagai contoh, harga besi yang sudah naik 90% sejak 2020.

REI menilai, pemerintah sepatutnya lebih peduli dengan fakta tersebut. Tapi kenyataannya, dalam tiga tahun terakhir harga tidak ada penyesuaian dengan berbagai alasan. Alih-alih menaikkan harga, justru peningkatan kualitas rumah dengan berbagai syarat teknis yang dipaksakan pemerintah.

Baca Juga: Ini Sejumlah Benefit Bagi Pengembang yang Bangun 'Rumah Tapera', Tapi Ada Syaratnya!

Maria juga mengkritik proses harmonisasi ketentuan kenaikan harga rumah subsidi yang berbelit-belit. Padahal, pemerintah pernah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur besaran kenaikan harga rumah subsidi, khususnya terkait pembebasan biaya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) per 5 tahun pada 2013 dengan terukur dan jelas.

“Saat itu harmonisasi di Kemenkeu tidak serumit sekarang. Terakhir tahun 2020, di mana setelah itu harmonisasi harga rumah subsidi ditetapkan setiap tahun. Seharusnya, bagaimana pun kondisi negara tetap rumah itu kebutuhan dasar,” paparnya. 

Capek Ngurusi Rumah Subsidi

Pada kesempatan tersebut, Ketua Umum DPP Apersi, Junaidi Abdillah mengungkapkan, pasca pandemi Covid-19 banyak pengembang yang sebenarnya cukup bersemangat untuk kembali membangun rumah subsidi.

Akan tetapi, ternyata harga material dan tanah semakin melambung tinggi, sementara penyesuaian harga jual belum kunjung dilakukan. Hal ini, menurut Junaidi, menyebabkan banyak pengembang kesulitan.

Baca Juga: Harga Rumah Subsidi Urung Naik, Pengembang Singgung Subsidi Kendaraan Listrik

“Situasi yang sangat memberatkan pengembang ini berakibat pada banyaknya pengembang yang tidak lagi membangun rumah subsidi. Bahkan di beberapa pertemuan, mereka mengatakan 'capek ngurusi rumah subsidi,” ungkap Junaidi.

Menengok kondisi yang ada, Junaidi meminta keseriusan dan perhatian pemerintah terhadap program rumah subsidi dengan menyeimbangkan antara kepentingan pemerintah, MBR, pengembang dan perbankan.

Dia mengatakan, banyak masyarakat yang masih butuh rumah. Namun jika pengembang tidak lagi mau memproduksi maka MBR yang akan dirugikan.

Sebenarnya, pemerintah tidak perlu tarik ulur dalam penyesuaian harga jual rumah subsidi. Cukup mengacu besaran inflasi yang terjadi setiap tahun.

Baca Juga: Kementerian PUPR Sosialisasi Bisnis Proses Industri Perumahan, Apa Manfaatnya?

Dengan demikian, pengembang tidak harus pusing menanti PMK atau keputusan menteri seperti saat ini. Pemerintah juga tidak perlu pusing melakukan pembahasan dan proses harmonisasi yang makin melebar.

“Sekarang ini, harga tidak naik, tetapi malah ada aturan-aturan yang banyak sekali. Kami sepakat kualitas harus ditingkatkan, tapi harga harus disesuaikan,” tukas Junaidi.

Butuh Aturan Mengikat dari Hulu ke Hilir

Sementara itu, Ketua Umum DPP Himperra, Endang Kawidjaja pun mencermati aturan peningkatan kualitas rumah subsidi. Para asosiasi pengembang, imbuhnya, bahkan diminta menandatangani perjanjian terkait peningkatan kualitas rumah subsidi.

"Bagi kami sebenarnya tidak masalah, asal ada kepastian setiap tahun harga bisa naik 6% - 7% atau kalau bisa 10%. Dengan begitu, kami mampu menjamin kualitas dapat ditingkatkan,” tegas Endang.

Baca Juga: Jaga Kualitas, Dirjen Perumahan Bakal Tindak Tegas Penyedia Jasa Nakal

Dia menyebutkan, segmen rumah subsidi membutuhkan aturan khusus yang mengikat dari hulu ke hilir, dari suplai hingga pembiayaan bagi konsumen.

Menurut Endang, PP Nomor 64 tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah memiliki spirit yang baik dalam pelaksanaan pembangunan rumah subsidi.

Tetapi semangat itu hilang pasca terbitnya PP Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas PP Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta PP Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

"Dengan kedua regulasi tersebut, tidak ada lagi kekhususan. Banyak aturan, tapi kurang spesifik. Kami mendesak adanya penerus PP 64/2016 yang secara khusus memprioritaskan pembangunan,” tegas Endang.

Baca Juga: BP Tapera: 'Rumah Tapera' Harus Tepat Kualitas dan Tepat Sasaran

Dia pun memberi contoh aturan di Permen LHK No 4 tahun 2021 terkait Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), di mana terjadi ketidakjelasan batasan luas lahan perumahan yang harus memiliki Amdal.

Padahal dalam PP 64/2016 cukup jelas bahwa untuk lahan di bawah 5 hektar cukup pernyataan saja, 5 - 25 hektar cukup UKL/UPL (Upaya Kelola Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) dan di atas baru diwajibkan mengantongi Amdal.

Sementara berdasarkan permen, semua jenis perumahan mendapat perlakuan sama termasuk rumah sederhana subsidi yang memiliki luas hanya 5 hektar.

“Butuh regulasi yang seperti PP 64/2016 atau penerusnya yang jelas mengatur apa saja syarat untuk membangun rumah subsidi. Peraturan yang simple dan tidak multitafsir,” pungkas Endang.

Redaksi@realestat.id

Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News

Berita Terkait

Ilustrasi rumah layak huni untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR. (Sumber: BP Tapera)
Ilustrasi rumah layak huni untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR. (Sumber: BP Tapera)
Kawasan kumuh (Foto: Dok. Kementerian PUPR)
Kawasan kumuh (Foto: Dok. Kementerian PUPR)
Ilustrasi perumahan menengah bawah. (Sumber: BP Tapera)
Ilustrasi perumahan menengah bawah. (Sumber: BP Tapera)
Puncak HUT KPR BTN ke-48 di Mall Kota Kasablanka, Ahad, 15 Desember 2024. (Foto: Kementerian PKP)
Puncak HUT KPR BTN ke-48 di Mall Kota Kasablanka, Ahad, 15 Desember 2024. (Foto: Kementerian PKP)