RealEstat.id (Jakarta) - Pengembang dan perbankan merupakan dua pihak yang saling bekerja sama untuk mewujudkan perumahan bagi masyarakat, namun pada saat terjadi masalah PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), tak jarang kedua pihak ini justru berhadap-hadapan secara hukum.
Demikian penuturan Imron Rosadi, Managing Director Menara Lawyers Club dalam kata sambutannya di acara Webinar Hukum Properti berjudul, “Pengembang Properti dalam PKPU, Bank selaku Kreditur Bisa Apa?” Webinar yang dilaksanakan pada Ahad, 12 Desember 2021 ini merupakan hasil kolaborasi Smart Property Consulting (SPC) dengan Menara Lawyers Club (MLC) yang menggandeng RealEstat.id sebagai media partner.
"Kami berharap, webinar ini dapat memberi masukan bagi pengembang maupun perbankan, terkait masalah PKPU maupun kepailitan sesuai Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU," tutur Imron Rosadi, menambahkan.
Baca Juga: Debitur Tersandung Kasus PKPU/Kepailitan, Risiko Bank Meningkat
Webinar yang dimoderatori oleh pakar hukum perbankan, Juneidi D. Kamil ini menghadirkan narasumber tiga kompeten, yakni Sapta Krida Negara, Legal Litigation Specialist di lembaga perbankan, Miftahul Ulum, praktisi legal perbankan, dan Irfan Surya Harahap, Kurator berpengalaman menangani PKPU/Kepailitan.
Memberikan sambutan, Muhammad Joni, Managing Director Smart Property Consulting menuturkan, hukum sebagai law in book kala diterapkan tak terus "lurus". Bisa saja ada bias "miring" dalam law in action.
Meski book and action di negeri yang sama, hukum ada rezimnya. Persuaannya acap menghasilkan conflict of the law. Pun lebih banyak pula persintuhan norma. Profesor Mahadi menyebutnya persuaan hukum di ruang sosial. Saya sembarang menyebut dengan: "meet of the law"
"Webinar ini hendak menyintuhkan, mempersuakan, harmonisasi jamak rezim hukum. Melintas banyak Undang-undang: UU Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU Rumah Susun—yang dipakai mengatur properti-real estat—Undang-undang Perbankan, Undang-undang Konsumen, bahkan Undang-undang Cipta Kerja, dengan Undang-undang Kepailitan/PKPU," kata Muhammad Joni.
Baca Juga: Waspada Sindikat Kepailitan, Konsumen Properti Harus Cerdas
Dalam pemaparannya, Sapta Krida Negara menjelaskan, dalam setiap pemberian kredit oleh bank, terdapat risiko terjadinya kredit macet. Sebabnya pun beragam, bisa dari internal perusahaan debitur maupun dari eksternal, yaitu adanya proses PKPU maupun pailit terhadap debitur.
"Apabila hal ini tidak dimitigasi dengan baik, maka akan berpotensi menjadi kredit macet yang sulit untuk dilakukan recovery," terang Legal Litigation Specialist di lembaga perbankan ini.
Menyitir Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Sapta menerangkan bahwa PKPU adalah suatu masa yang diberikan oleh Hakim Pengadilan Niaga kepada debitur dan kreditur untuk menegosiasikan cara-cara pembayaran utang debitur, baik sebagian maupun seluruhnya, termasuk apabila perlu merestrukturisasi utang tersebut agar kreditur memperoleh kepastian atas tagihannya dan kepastian atas utang-piutangnya akan dilunasi oleh debitur.
Baca Juga: Gagal Serah Properti: Kepailitan Developer atau Wanprestasi?
"Tujuan pengajuan permohonan PKPU antara lain, memberikan kesempatan kepada debitur untuk mengajukan rencana perdamaian, merundingkan/menawarkan cara pembayaran utang debitur secara damai, tidak untuk maksud menyatakan debitur pailit, dan mencegah debitur dinyatakan pailit secara tergesa-gesa tanpa mengetahui keadaan usahanya," paparnya.
Lantas, apa upaya yang dilakukan bank setelah developer ditetapkan dalam keadaan PKPU? Menurut Sapta, ada beberapa hal yang harus dilakukan bank. Pertama, harus mengetahui latar belakang debitur dimohonkan PKPU. Kedua, mengajukan tagihan kepada Tim Pengurus atas kewajiban kredit debitur. Ketiga, ikut dalam proses pra verifikasi dan verifikasi tagihan. Keempat, ikut dalam proses rapat-rapat kreditur di Pengadilan Niaga antara lain pembahasan rencana proposal perdamaian. Terakhir, ikut dalam proses voting proposal perdamaian debitur.
Baca Juga: 3 Langkah Penting Konsumen Properti saat Pengembang Pailit
Sementara itu, praktisi legal perbankan, Miftahul Ulum menerangkan seputar langkah hukum yang harus ditempuh pihak bank saat pengembang properti atau nasabah bank dalam proses PKPU.
Menurutnya, pihak bank harus melakukan langkah hukum sebelum dan sesudah putusan PKPU. Saat pra-putusan PKPU atau saat permohonan PKPU, pihak bank mesti melakukan pemantauan perkara PKPU tersebut.
"Pihak bank harus melakukan pemantauan perkara PKPU yang digelar di pengadilan negeri (PN), bisa melalui website pengadilan negeri atau melalui berita di koran atau media massa," katanya.
Di samping itu, imbuh Miftahul Ulum, bank juga harus melakukan pengecekan terhadap debitur, seperti mengetahui latar belakang debitur tersebut dimohonkan PKPU. Periksa pula, apakah debitur tersebut memiliki jaminan kebendaan atau tidak.
Selanjutnya, bila telah melewati putusan PKPU, maka pihak bank wajib mengikuti proses yang diatur PKPU. Ada tujuh poin yang harus dilakukan pihak perbankan di sini, yakni melakukan rapat kreditur, pengajuan tagihan, rapat pencocokan piutang, rapat pembahasan prodam (proses perdamaian), voting prodam, dan rapat permusyawaratan majelis.
Baca Juga: Pengembang dalam PKPU, Konsumen Lakukan 3 Hal Penting Ini!
Pada kesempatan tersebut, narasumber ketiga, Irfan Surya Harahap, menjelaskan bahwa Kepailitan dan PKPU saat ini menjadi PKPU menjadi instrumen utama untuk penyelesaian pembayaran utang (debt payment settlement) lantaran dinilai lebih mudah, lebih cepat, dan lebih memiliki kepastian hukum.
"Kepailitan dan PKPU juga sering dimanfaatkan oleh beberapa pihak terutama kreditur untuk menyelesaikan utang piutang terhadap debiturnya, tidak terkecuali perbankan," ungkap praktisi kurator berpengalaman yang banyak menangani kasus PKPU/Kepailitan—salah satunya kasus Apartemen 45 Antasari.
Sektor perbankan, menurutnya, saat ini sudah mulai menggunakan Hukum Kepailitan dan PKPU sebagai instrumen penyelesaian pembayaran utang debiturnya, selain pemanfaatan pembebanan Hak Tanggungan atau jaminan terhadap pembayaran utang oleh debitur yang dilekatkan kepada asset-asset debitur dalam kerangka Pembebanan Hak Tanggungan dan nantinya bermuara kepada Eksekusi Hak Tanggungan.
Baca Juga: Gratis! Smart Properti Consulting dan Menara Lawyers Club Helat Webinar Hukum Kepailitan
Lebih lanjut Irfan menerangkan, Undang-undang Kepailitan dan PKPU dengan tegas mendefenisikan Kepailitan sebagai Sita Umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang Pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah Pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
"Jadi, suatu keadaaan Pailit seperti definisi yang telah diuraikan di atas terjadi apabila permohonan pailit dikabulkan dalam proses persidangan di Pengadilan Niaga yang memproses dan memeriksa perkara permohonan pailit," kata Irfan Surya Harahap.
Fenomena yang sering terjadi pada praktik Kepailitan dan PKPU saat ini adalah pada proses PKPU Perdamaian ditolak sehingga debitur dinyatakan pailit. Padahal, setelah Debitor Pailit dari PKPU yang ditolak, maka seharusnya dalam kesempatan pertama langsung insolvency. Akan tetapi dalam praktik pailit juga kembali dilaksanakan proses perdamaian dan voting.
"Hal ini yang harus dicermati oleh pihak bank, karena proses perdamaian yang dijalankan cenderung akan merugikan bank. Oleh karena itu, sebaiknya bank tetap pada posisi mempertahankan insolvency dan disampaikan pada rapat-rapat dengan kreditur," terangnya.