Pak Zulfi, Anak Kampung Aur Terlahir untuk Perumahan: Risalah Buku "Program Sejuta Rumah"

"Program Sejuta Rumah" adalah buku kedua dari rencana tetralogi perumahan yang hendak mengedarkan pengalaman, pemikiran berjiwa, pun bisa jadi biografi intelektual.

Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)

RealEstat.id (Jakarta) - Esai ini tentang ‘Catatan Pak Zulfi’. Buku adalah catatan akal. Buku diciptakan untuk “dimakan”. Seperti tubuh perlu nutrisi, dari  Al Ghazali: jiwa perlu gizi ilmu dan risalah kebajikan. Akal memiliki kedudukan mulia, dipetik dari kitab Ihya Ulumuddin. Catatan akal sebagai buku, patut dimuliakan tentu. Walau ada noda hitam sejarah penghancuran. Walau kadang dicemburukan. Riwayat Zubair bin Bakkar—sang pencinta buku—unik. Istrinya cemburu  kepada buku, lebih berat dari tiga madu. Riwayat  itu terkuak  dari buku ‘1001 Kisah Teladan’ dari Hani al Hajj (“HaH”) (2004). 

Bagai menikahi urusan perumahan rakyat,  Zulfi Syarif Koto (“ZSK”) menurunkan buku kedua—dari rencana tetralogi perumahan. Yang hendak mengedarkan  pengalaman, pemikiran berjiwa, pun bisa menjadi biografi intelektual—yang bulir-bulirnya  indak lapuak dek hujan.  

Baca Juga: The HUD Institute Berikan Sejumlah Masukan Terkait Omnibus Law Cipta Kerja

Pemikiran cq. hasil kerja akal bersalutkan  rasa itu tidak patut disembronokan.  Memuliakannya menjadi buku, ialah akhlak terpuji, tentu! Persis seperti nama tengahnya: Syarif—dalam bahasa Arab berarti dipuji, dimuliakan. ZSK mengabadikan  catatan akal-budi  lewat buku berjudul ‘Ekonomi Politik Program Sejuta Rumah: Membangun Untuk Siapa?’  (disingkat ‘EP PSR-MUS?’). Juga, sebagai kepal perlawanan kepada tabiat jahat   penghancuran buku; ijinkan saya menyebutnya “genosida” pustaka.   

Buku ‘EP PSR-MUS?’ telah diluncurkan secara daring hari Kamis,  29 Oktober 2020—di almanak pas hari besar/tanggal merah Maulid Nabi Muhammad SAW.  Walau dihelat virtual, buku kedua ZSK itu nyata, bukan mimpi. Di ruang Zoom hadir hampir seratus  tamu-undangan dari beragam kalangan. Dari mantan menteri, sekretaris menteri, yang mewakili menteri,  kawan menteri, birokrat, ketua  asosiasi realestat, direksi BUMN, guru besar, jurnalis, sahabat kental, putra-putri terkasih, sampai mahasiswa pengembangan wilayah.  Kehadiran karena pertautan hati, yang meluhurkan  peradaban berliterasi. Tradisi agung menulis buku itu mencengangkan, sejak dulu Tiro—sekretaris & penemu singkatan Tironian—mencatatkan pidato Cicero.   

Dari layar bercahaya tampak pak Theo Sambuaga,  Pak Andrinov  Chaniago, Pak Khalawi Abdul Hamid, Pak Eko Djoeli Heripoerwanto, Pak Soelaeman “Eman” Soemawinata,  Pak Totok Lusida, Pak Budiarsa Sastrawinata, Prof. Djohermansyah Djohan, Prof. Budi Prayitno, Pak Hirwandi Ghafar, Pak Ananta Wiyogo, Pak Adi  Setianto, Pak Oni Febriarto  Rahardjo. Juga Pak Agung Mulyana yang membuka acara, Pak Oswar Mungkasa, Pak Hari Nugraha Nurjaman, Bang  Yayat Supriatna, Pak Ade Armansyah,  Uda Erfendi “Pepeng” Forwapera dan  lebih banyak lagi tokoh perumahan.  Tokoh  senior pak Kemal Taruc—yang lama tidak bertemu, pun hadhir sampai akhir. Hadir itu apresiasi dan prestasi.  Belum lagi yang terkoneksi YouTube channel The HUD Institute

Baca Juga: 5 Anyaman Pemulihan Ekonomi Nasional-Perumahan Berkeadilan Sosial

Nyata, fakta dan memfaktakan tagline The HUD Institute: “connecting peoples”. Saya sendiri hadir daring  sekaligus luring di pangkalan helat peluncuran buku ‘EP PSR-MUS?’ dari Hotel Grand Zuri, BSD City, Tangerang Selatan. Menyertai Ketua Umum The HUD Institute dan memompa semangat panitia dari the young alias milenial HUD. Kaum milenial itu sangat sesuatu!  

Mencatatkan pemikiran-cum-pengalaman lewat buku, Zulfi Syarif Koto seperti mengikuti ayat suci: Iqra’ (Bacalah!).  Seperti  meneladani Abul Qasim Khalaf ibn al-Abbas az-Zahrawi atau Al-Zahrawi (Bahasa Arab:  القاسم  أبو)  dikenal di Barat sebagai Abulcasis,  dokter   penemu benang  catgut  dan alat bedah era Andalusia; buku dan ilmunya (Al-Tasrif) menjadi penjaganya, bukan pedangnya.  Juga,  seperti  ambil posisi melawan lupa kepada luka budaya penghancuran buku: bibliocide  --yang dimonumenkan  Fernando Baez  lewat buku  ‘Historia universal de la destruction de libros’ (2004).      

Kiranya  ZSK  hendak  memanjangkan  daya  jangkau  bulir-bulir pemikiran dan pengalaman lewat jasa baik buku. Menuruti  kiasan  Jorge  Luis  Borges bahwa:  “mikroskop dan teleskop adalah  perpajangan penglihatan; telepon adalah  perpanjangan suara; bajak dan pedang adalah  perpajangan lengan. Namun buku berbeda: buku adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi”.  

Jalan Hidup
Mencerna “xyz” isi kandungan buku ‘EP PSR: MUS?’,  majelis pembaca disajikan  prolog yang menarasikan sekerat mimpi—dikemas mewah dan kolosal.  Kolosal? Ya,  karena mimpi suasana megah dan reriuh karena pembukaan Kongres Perumahan di Bandung:  25 Agustus 1950.

Jika dianalogikan bangunan rumah, prolog itu serambi ke ruang utama bahkan lekuk  pribadi. Kalau serambi mewah? Ya, karena mimpi bertemu dan bertukar pikiran terbuka dengan Proklamator Bung Hatta, tokoh yang mempidatokan ‘Indonesia Vrij’. Itu manifesto politik Hatta yang berpengaruh, bukti Indonesia merdeka dengan bekal akal, bukan hanya angkat senjata. Akal adalah senjata bercahaya; benar bukan mimpi. Mimpi yang lazimnya memutarkan ulang memori  terpendam di alam bawah sadar ataupun cuplikan de javu,  maka mimpi persuaan pemikiran  Hatta yang diteruskan ke ZSK,  bukan  mimpi  biasa.   

Seperti diceritakan sendiri, masa-masa kecil Zulfi Syarif Koto—yang lahir 29 Oktober 1950 di Bukit Tinggi (Sumatera Barat), lantas berpindah-pindah  rumah  ke  Lubuk Pakam (Sumatera Utara), lalu Tanjung Morawa—yang dikelilingi perkebunan—di luar watas kota Medan.  Kemudian menatap dan bertumbuh di Kampung Aur, Medan. Lokusnya dekat markas  Kowilhan  (sekarang kantor pusat PTPN IV pernah juga Mapoldasu)  di  tepi  sungai Deli—yang (dulu) airnya biru dan rumah penduduk menghadap sungai. 

Kata Zulfi Syarif Koto kepada saya, mulanya disitulah titik  kilometer nol kota Medan, bukan di Lapangan Merdeka—yang dulu bernama De Esplanade  lalu Fukuraido—jamak dinaungi pohon trembesi besar dan tinggi.    Jalan hidup  berpindah-pindah kota dan ngontrak-ngontrak  rumah menjadi pengalaman sosial yang mempengaruhi haluan pemikirannya.  Suara ZSK sedikit bergetar menguak kisah jalan hidup saat pidato peluncurun buku.

Baca Juga: Gagal Serah Properti: Kepailitan Developer atau Wanprestasi?

Mimpi megah-kolosal bertukar ujar dengan Hatta itu berkesan dalam, bukan mimpi biasa dan bukan pula dejavu, karena memori sebelum kelahiran. Yang merasuk ke bawah pikirannya karena perkakas perpanjangan pemikiran ala Borges, yaitu: buku. Kalau pengalaman adalah guru terbaik, maka pengalaman-pemikiran adalah maha-guru.  Prof. Karl Mannheim menyebutnya sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge)  –yang membuat orang toleran pada perbedaan pendapat dan perlintasan sikap.

Disisip kehadiran material pemikiran Tan Malaka di sela tulisan, buku ‘EP PSR:MUS?’  berumpun  13 Bab, berhimpun 286 halaman.  Seakan prolog  berisi dialog Hatta ke/dari  ZSK itu, mencuplik sebagian narasi biografi intelektual Hatta—meminjam istilah Daniel Dakhidae--  yang memadukan ide dengan sejarah dalam satu sajian. Pemilihan konsep prologis  yang memukau.  Entry penulisan buku yang berhasil. 

“Banyak hal baru ketika membaca buku ini,  enak dan  disajikan menarik tapi kita  jadi mengerti”.  “Dalam wawancara   imajiner dengan bung Hatta buku ini, pesannya negara harus hadir”, kata Oswar Mungkasa yang  enam kali membacanya dan diprogramkan meresensi buku karya mantan Deputi Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat yang pernah “juragan” minyak tanah tatkala kuliah di ITB (Planologi 70).  Mungkin itu sebabnya ZSK mengerti kirka dan numerasi ekonomi-politik dikaitkan literasi perumahan. Mana ada kebijakan minyak luput politik. Air saja ada hydro-politics. Agar airnya biru (lagi), jangan sampai dengker atau mengering seperti Aral Sea, sungai Deli butuh normalisasi-naturalisasi dan hydro-politic Jakarta.  

Apa komentar ikhwal buku? Berikut ini dicuplik beberapa  tanggapan atas peluncuran buku.  Menurut Andrinov Chaniago,  kandungan buku ‘EP PSR: MUS?’  mewakili pikiran, intuisi dan pengalaman sosok Zulfi Syarif Koto yang disebutnya “ensiklopedia” perumahan. Sosoknya dinilai mampu mempertemukan ragam penjuru pemikiran.  Pak Eman, mantan Ketua Umum DPP REI menamsilkan ZSK  sosok pria cepat berjalan yang acap toleh kiri-kanan. Cerak cepat dan/tapi waspada itu  kecerdasan kinestetik.  Mungkin tak hanya cepat merenangi sungai Deli, dia pribadi  yang berpikir  cepat, langkah melompat, namun awas dan persuasif. Bisa jadi  persis gerak si belang; sepasang harimau sumatera—yang lukisannya terpampang di ruang kantor The HUD Institute. 

Baca Juga: Pemerintah Susun Buku Pengembangan Hunian Berbasis Transit (TOD)

Walau terbiasa dengan jurus malereng (bahasa Minang, jalan memutar menyiasati tebing gunung),  prolog berlatar mimpi itu bukan sedang menyindir  Program Sejuta Rumah.    Namun mempersuasi pembaca dengan kiat “jika bersungguh, pasti bisa”  dari  biografi intelektual Bung Hatta, bahwa: “Tjita-tjita oentoek terselenggaranja keboetoehan rakjat boekan moestahil apabila kita soenggoeh-soenggoeh maoe dengan penoeh kepertjajaan, semoea pasti bisa...

Setakat digemakan ‘Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah’ (GN PSR) era Presiden Megawati Sukarnoputri, ZSK turut bersama pak Aca Sugandhi (Oktober 2002) merumuskan konsep GN-PSR—yang kala itu masih menggunakan frasa ‘pengembangan’  belum  ‘program’.   Dia percaya,  ikhtiar menolkan  backlog, mengentaskan kawasan permukiman kumuh dan rumah tidak layak huni (RTLH) bukan  mustahil. Pasti bisa jika usaha. Asalkan bangsa kita bersungguh-sungguh, seperti intonasi optimis pada pidato Hatta di Kongres Perumahan yang kuat dipegang ZSK, indak lakang dek paneh.  

Dari ujaran ikhwal jalan hidupnya, minat pada perumahan bak tiga sisi koin mata uang yang tak terpisahkan—sisi pertama dan kedua sebelah-menyebelah, berikut  sisi ketiga  tepi lingkaran yang menyatukan. Kecintaan pada dan “menikahi” bidang perumahan melebihi  bakat  bisnis maupun politik—genom yang lazim genetis pada urang Minang.  Maka dari itu  defenisi ZSK adalah:  perumahan, perumahan, dan perumahan.  Ketiganya  bukan  berhenti hanya sebagai  konsep  pemikiran di atas kertas, namun digiatkan menjadi konkret dan organik-melembaga. Dengan membentuk Housing and Urban Development (HUD) Institute, seusai mengabdi  dan pensiun formal di Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera).  

Jejak melahirkan  konsep 5 KDBH (Lima Komponen Dasar Hak Bermukim)—yang disintuh  dalam bukunya adalah pemikiran yang melembaga  ala ZSK—sebab diserap ke dalam konsideran kebijakan perumahan. Juga, dilahirkan dan diterimanya pilar HUD sebagai satu penyangga dari 5 Pilar Perumahan Rakyat  dari  Dirjen Perumahan  Kementerian PUPR Pak Dr. Khalawi Abdul Hamid.  

Baca Juga: ATR/BPN: Ini 9 Poin Penting dalam RUU Cipta Kerja Cluster Pengadaan Tanah

Pun dulu ketika menjabat  di daerah (2002),  ZSK yang mempersuasi Gubernur Sumatera Utara Tengku Rizal Nurdin melahirkan  Dinas Tarukim (Tataruang dan Permukiman),   yang untuk pertama kali  menggabung  Dinas  Cipta Karya dan Dinas Perumahan. Ceritanya  nomenklatur Tarukim kemudian diduplikasi  Sumatera Barat dan Riau. “Yang lain memakai frasa Kimtaru,” kata ZSK.

 Jauh sebelum menjabat eselon satu di Kemenpera, tarikh ZSK mempersuasi Walikota Padang—saat itu pak Syahrul Ujud—melahirkan beleid cerdas  menabung  tanah cadangan. Sumbernya  dari tanah sisa kavling versi site plan pengembang  yang membebaskan tanah  5.000 meter persegi.  Tanah cadangan  yang terkoneksi dalam kawasan tertata infrastruktur dasar itupun  dipakai untuk kepentingan umum, misalnya warga yang terkena pelebaran jalan, pelurusan sungai.

Pemikiran dan beleid praksis itu mirip konsep bank tanah walau dalam skala mini, yang kini diserap aturan bank tanah UU Cipta Kerja.  Di tangannya, cikal bank tanah  itu terujud lebih awal di Kota Padang.   Modalnya hanya Permendagri Nomor 1 Tahun 1987 tentang Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas  Umum dan fasilitas Sosial Perumahan kepada Pemerintah Daerah.  “Agar tak ada warga yang tersingkir dari kotanya”,  ujar ZSK kepada penulis Jumat, 30/10/2020.  Patut dicermati, mungkin ini bentuk sederhana-nyata  dari  trias co-habitation  (co-development, co-economic, co-living) yang dipidatokan  Prof. Budi Prayitno setakat upacara pengukuhan guru besar UGM, 23/07/2020. 

Pada satu masa Menteri Perumahan Rakyat Mohammad Yusuf Asy’ari dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (2010) menggebrak dengan pembangunan 1.000 tower.  ZSK yang saat itu Deputi Perumahan Formal,  dipanggil  duo Jusuf-Yusuf  masuk ruangan,  dan  sebelum keluar ZSK ditugaskan melaksanakan 1.000 tower.  “Kamu sebagai komandan-nya,” tutur Menpera M. Yusuf Asy’ari (alm) kepada Deputi Perumahan Formalnya itu, seperti ditirukan ZSK.   

Baca Juga: Bank Tanah untuk Perumahan Rakyat: Menuju Kenyataan yang Omni?

Ketika mendengar beberapa bulir info dan ulasannya perihal  1.000  tower  pada akhir pekan lalu, saya pun membatin;  kiranya yang menentukan adalah konsistensi kebijakan-politik, tidak melulu soal pembiayaan. Falsifikasi  dari Bertrand Renaud: ‘Cities are built the way are financed’. Untuk ajang literasi, numerasi dan solverasi problematika  pembangunan hunian vertikal, serta  mendukung   program sejuta rumah susun di perkotaan (2020-2024),  ZSK berjanji  menyuarakan seluk beluk  pengalaman dan “untold stories” seribu tower itu ke dalam  buku  program sejuta rumah susun di perkotaan  –buku ketiga dari rencana  tetralogi perumahan rakyat. “Buluh lemah tak mungkin bisa menyuarakan nada yang perkasa”.

Sebelum kabinet baru, The HUD Institute mengkaji dan megedarkan  policy brief pentingnya  urusan dan kelembagaan perumahan rakyat ditingkatkan portofolionya karena amanat konstitusi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Salah satunya mengusulkan badan perumahan nasional setara kementerian.  

Usul obyektif dan lepas dari maksud politik itu, bisa jadi di dengar semesta, yang kemudian terwujud dengan adanya pembentukan badan percepatan pembangunan perumahan (sebut saja BP3) dalam Bab IXA UU Cipta Kerja  --yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Perpres). Oleh karena organ-organ BP3 ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Keppres), maka  sahih jika dalam Perpres-nya memosisikan BP3 berada di bawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden. Sebab itu, bentuk lembaganya tidak kompatibel sebagai BUMN dan bukan Badan Layanan Umum (BLU), walau fungsinya sebagai pelaku  layanan umum,  namun dalam UU Cipta Kerja tidak dibunyikan  fungsinya sebagai regulator.    

Tatkala awal-awal pendemi COVID-19 melanda, pun PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional dengan PP Nomor 23 Tahun 2020 Jo. PP Nomor 46 Tahun 2020) diluncurkan,  dengan sigap  Zulfi Syarif Koto dan The HUD Institute  berlari cepat dan melompat. Mencarikan solusi permasalahan  lewat berbagai FGD –focus group discussion—dan naskah proposal kebijakan  yang merelaksasi kebijakan rantai pasok perumahan yang masih banyak “merah”. Darinya lahirlah  konsep  ‘Rumah Sehat Produktif untuk Keluarga Sejahtera’, yang terinspirasi dan membudidayakan pemikiran Hatta “Satu Rumah Sehat untuk Satu Keluarga” yang dipidatokan saat Kongres Perumahan 1950.  Dengan konsep  ‘Rumah Sehat Produktif untuk Keluarga Sejahtera’, menurut ZSK beralasan menggandeng Kementerian Koperasi dan UKM guna menyekrupkan pembangunan perumahan MBR dengan pemulihan ekonomi keluarga berbasis konsep rumah sehat produktif.

Tidak berlebihan menyebut Zulfi Syarif Koto adalah "Hattais" alias penyokong dan penyerap  (pemikiran) Hatta yang diterapkannya pada bidang perumahan. Maaf jika patik menilai  Zulfi  adalah anakda idiologis Hatta.  Jagat perumahan di Indonesia menanti kelahiran gagasan dan gebrakan baru ZSK,  pun setelah kelahiran buku keduanya. Menantika kelahiran memang mendebarkan.

Zonder Toll Tariven
Watak genom yang persuasif dan “malereng” itu menuntun ZSK memperjumpakan asosiasi pengembang dan pemerintah dalam hal standar  ukuran besi rumah MBR. Selain sosok yang kinestetik, ramah dan dialogis berwicara,  kala berdiskusi dengan sang “ensiklopedia” perumahan tak pelit ilmu dan informasi. Bernas memberi  panduan (guidance) dan tulus memberi arahan (direction)—walaupun libur akhir pekan dan almanak bertanggal merah.

Orang Belanda menyebutnya ‘discusie zonder toll tariven’—artinya diskusi tanpa tarif tol—istilah yang saya dengar dari ayahda Prof. Laica Marzuki, mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang sangat bijak dan amat persuasif.  Siapa yang tak terkulai batinnya ketika disapa Yang Mulia Prof. Laica dengan diksi anakda?

Baca Juga: Aturan Bank Tanah untuk Perumahan Dalam Omnibus Law Belum Spesifik

Narasi di depan hanya sekelumit kiprah dan jalan hidup Zulfi Syarif Koto menikmati “abc-xyz” lika liku  urusan perumahan rakyat  --yang merupakan amanat konstitusi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.  Dalil yang selalu dipegang, diujarkan dan diedarkannya.  Ikhtiar  menjadikan hak konstitusional bertempat tinggal  sebagai konstitusi yang hidup (living constitution), bukan hanya dokumen aspirasional, bukan bagaikan buku menu restoran  –yang tertulis ada tetapi tidak tersedia. Konstitusi dilaksanakan  dengan tidak kepalang tanggung, meminjam kata-kata Prof. Laica. 

Sauarnya yang selalu tabah dan loyal pada konstitusi, ZSK  bagikan seorang constitutionalis   yang hendak membumikan hak konstitusi atas hunian dengan dengan tidak kepalang tanggung. Pak Zulfi  menyusun bukunya sebagai warisan sosial pengetahuan  perumahan rakyat.  Menjadi literasi,  numerasi dan solverasi persoalan perumahan.   Senpai 先輩 Jo. Sensei   先生   Zulfi,   sosok  anak kampung Aur yang tumbuh dari tepi sungai Deli –seakan dilahirkan untuk perumahan. Tabik.

Muhammad Joni, Advokat, Managing Partner Joni & Tanamas Law Office. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis.

Berita Terkait

Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)