RealEstat.id (Jakarta) - Hore! mulai 1 Maret 2021 pembelian rumah dengan cara KPR (Kredit Pemilikan Rumah) dapat menggunakan DP (Down Payment) atau uang muka 0%, alias tanpa uang muka. Ketentuan baru itu diumumkan oleh Gubernur BI (Bank Indonesia), Perry Warjiyo pada tanggal 18 Februari 2021. Langkah ini tak lain untuk menggairahkan sektor properti yang mempunyai kontribusi signifikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Seperti diketahui, sektor properti dapat memiliki multiplier effect terhadap 175 industri turunan. Mulai dari semen, pasir, keramik, baja, genteng, kayu, aluminium, kaca, cat, bata, paving, paku, kawat, kabel, kran, kloset, wastafel, shower sampai lampu, dan masih banyak lagi.
Baca Juga: Penting: Penerapan Marketing Mix 7P untuk Properti
Aturan DP rumah 0% ini menyusul kebijakan sektor otomotif yang diberikan relaksasi bebas PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah) untuk mobil di bawah 1.500 cc. Pemerintah melihat industri mobil dapat menyerap banyak tenaga kerja.
Rumah Merupakan Kebutuhan Primer
Di Indonesia, sebuah rumah masih menjadi kebutuhan primer bagi keluarga. Walaupun tidak mutlak, tetapi banyak keluarga yang merindukan mempunyai rumah sendiri.
Kebutuhan akan rumah terus menerus meningkat. Walaupun pemerintah telah membuat program satu juta rumah, namun angka backlog (kekurangan rumah) masih 7,64 juta unit pada awal 2020.
Di beberapa media, Wakil Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Hari Ganie mengatakan, pandemi Covid-19 telah memukul penjualan rumah sebesar 50% - 60%.
Baca Juga: Metode SCAMPER: Agar Proyek Perumahan Laris Manis
Pemahaman Mengenai KPR
Berikut ini yang harus dipahami para calon pembeli rumah dengan memanfaatkan program DP 0 Rupiah:
1. LTV (Loan to Value)
Loan to Value atau nilai pinjaman adalah seberapa besar pihak bank memberikan pinjaman kepada debitur (pihak berutang). Peraturan lama BI mensyaratkan LTV sebesar 90, dengan kata lain debitur harus membayar DP 10%. Ketentuan yang baru BI memberikan DP rumah 0% ini berarti LTV sebesar 100%.
2. DBR (Debt Burden Ratio)
DBR adalah rasio cicilan utang terhadap penghasilan bersih atau take home pay nasabah setiap bulannya. Penerapan DBR ini sebagai bentuk kehati-hatian (prudent) bank, untuk menekan kredit macet atau NPL (Non Performing Loan).
NPL sebagai salah satu indikator kesehatan perbankan. Semakin kecil jumlah NPL akan semakin baik.
Biasanya bank memberikan maksimal DBR adalah 50%, misalnya penghasilan kotor nasabah Rp20 juta, dikurangi cicilan kartu kredit dan cicilan mobil Rp6 juta. Maka penghasilan bersih Rp14 juta, berarti maksimal bank memberikan pinjaman sebesar Rp7 juta (50%).
Baca Juga: 5 Langkah Penting Studi Kelayakan Proyek Perumahan
3. SLIK OJK
Untuk mengetahui kinerja pinjaman dari seorang debitur dapat dilihat melalui BI Checking, yaitu informasi mengenai historis debitur mengenai lancar atau tidaknya pembayaran kredit secara keseluruhan. Namun, sejak berdirinya OJK (Otoritas Jasa Keuangan), BI Checking telah berganti nama menjadi SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) yang dikelola oleh OJK.
SLIK meliputi data debitur, pinjaman debitur, agunan pinjaman dan penyedia pinjaman. Jadi, apabila ada cicilan yang macet maka akan terbaca oleh sistem, demikian juga sebaliknya.
4. Prinsip 5C
Dalam memberikan pinjaman, bank menerapkan prinsip 5C yaitu:
Character: melihat karakter, latar belakang calon debitur, dan reputasi dalam bidang keuangan melalui wawancara dari petugas analis bank.
Capacity: atau kemampuan calon debitur dalam membayar cicilan pinjaman, ini bisa dilihat dalam rekening koran tabungan selama 3 bulan terakhir.
Capital: dapat berarti modal atau aset yang dimiliki calon debitur, bisa juga dilihat bonafiditas perusahaan di mana nasabah bekerja.
Collateral: atau agunan rumah yang diajukan, bank akan mempertimbangkan spesifikasi bangunan, lebar jalan, lingkungan, fasilitas, lokasi kawasan dan sebagainya.
Condition: maksudnya adalah kondisi bidang usaha yang dijalani atau bidang usaha tempat bekerja. Misalnya perusahaan BUMN atau perusahaan swasta nasional akan mendapatkan poin tersendiri.
Baca Juga: Pilihan Investasi yang Aman Saat Krisis Pandemi COVID-19
Implementasi Program DP Rumah 0%
1. BPHTB
Implementasi DP rumah 0% sebenarnya tidak sepenuhnya debitur tidak membayar uang muka, karena biasanya pihak bank akan mengeluarkan biaya BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) sebesar 5%. Kecuali ada kebijakan bank memasukkan BPHTB ke dalam nilai jaminan.
Misalnya harga rumah Rp500 juta, maka besar BPHTB adalah 5% x (Rp500 juta - Rp60 juta) = Rp22 juta (Rp60 juta adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak atau NPOPTKP).
Dengan demikian debitur harus menyediakan uang muka sebesar Rp22 juta, sedangkan nilai pinjaman menjadi Rp478 juta (Rp500 juta - Rp22 juta).
Catatan:
Pemerintah juga memberikan insentif PPN 10%, maka harga rumah Rp500 juta di atas diperoleh dari harga sebelumnya Rp556 juta dan dikurangi PPN 10% sebesar Rp56 juta.
Baca Juga: Strategi Promosi Pengembang Properti saat Wabah COVID-19
2. Biaya Proses KPR
Kemudian debitur akan membayar biaya proses KPR meliputi provisi 1%, biaya administrasi, asuransi jiwa, asuransi kebakaran dan biaya notaris. Biasanya bank akan mematok biaya kurang lebih 4% dari nilai pinjaman (4% x Rp478 juta = Rp19,1 juta).
Terkadang ada perusahaan pengembang yang berani menanggung biaya proses KPR, walaupun terbilang riskan apabila terjadi wanprestasi atau kredit macet. Karena pengembang terikat perjanjian buy back guarantee (jaminan membeli kembali) selama sertifikat pecahan belum diserahkan kepada bank.
Jadi, untuk membeli rumah senilai Rp500 juta debitur harus menyediakan dana sebesar Rp41,1 juta (dari BPHTB Rp 22 juta + Biaya KPR Rp 19,1 juta). Sedangkan perkiraan cicilan KPR dengan jangka waktu 15 tahun dan bunga 5%, maka cicilan per bulan adalah Rp 3,7 juta.
Baca Juga: Mau Punya Rumah di Usia 26 Tahun, Begini Caranya!
Penutup
Program insentif PPN 10% dan membebaskan uang muka menjadi angin segar industri properti di negeri ini. Diharapkan penjualan rumah akan meningkat sehingga dapat menggerakkan roda ekonomi.
Dari sisi konsumen, program ini menjadi momentum yang baik untuk membeli rumah, karena mendapatkan harga dan uang muka yang lebih rendah. Sebelum memutuskan pembelian, mintalah informasi yang detail kepada perusahaan pengembang, seberapa besar uang yang harus dikeluarkan sebelum melakukan akad kredit.
Demikian juga dengan pihak bank pemberi kredit mintalah perincian biaya proses KPR. Jangan sampai ada tagihan setelah melakukan tanda tangan akad kredit.
Ada baiknya mulai dari sekarang memperbaiki rekening sampai 3 bulan ke depan, dan jika ada kredit mulai dilunasi agar dapat meningkatkan rasio DBR.
Kris Banarto, MM, CPM (Asia), CPHRM adalah praktisi bisnis properti, pemerhati etika bisnis dan blogger yang saat ini menjabat sebagai General Manager Sales & Marketing Gapuraprima Group. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis.