RealEstat.id (Jakarta) – Program perumahan rakyat yang disusun para calon presiden dan calon wakil presiden seyogianya mesti realistis, tidak sekadar gimmick dan menjual angan-angan semata.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan Dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPP APERSI) Junaidi Abdillah mengatakan, program perumahan rakyat yang akan dijalankan, jangan jadi mimpi di tengah hari.
"Kita bicara realita saja. Dari (program) yang sudah berjalan selama ini, terlihat bahwa mewujudkannya sangat berat. Apalagi jika bicara target membangun dua juta unit hunian—bahkan ada yang menjanjikan lima juta unit—itu rasanya mimpi,” ujar Junaidi Abdillah saat ditemui awak media di Kantor Pusat DPP Apersi, Rabu (29/11/2023).
Baca Juga: Dihadiri Anies Baswedan, Rakernas APERSI Pertanyakan Nasib Perumahan Rakyat di 2024
Dia mengatakan, kendala utama dari program perumahan yang diutarakan para Capres dan Cawapres tersebut adalah anggaran. Menurutnya, negara memiliki keterbatasan anggaran, karena masih banyak keperluan negara lain yang dinilai lebih urgent.
Di samping itu, Junaidi mengungkapkan pembangun hunian sebanyak dua juta unit setahun sampai sekarang belum pernah terealisasi. Untuk membangun satu juta unit pun rasanya berat sekali. Apalagi bicara dua juta atau tiga juta unit. Itu rasanya tidak mungkin.
"Sekarang ini, kita hanya bisa memaksimalkan capaian target perumahan rakyat Indonesia dengan jumlah yang real dan tidak pakai tipu-tipu. Jadi menurut saya, apa yang disampaikan oleh para calon presiden mengenai target pembangunan rumah itu rasanya tidak mungkin,” tukas Junaidi.
Baca Juga: Biaya Ratusan Juta! Apersi Banten Minta Pemerintah Seragamkan Izin AMDAL Perumahan
Sebagai pelaku pembangunan perumahan—khususnya rumah sederhana—Junaidi melihat fakta di lapangan memperlihatkan kemampuan Pemerintah maupun swasta dalam membangun rumah bagi masyarakat sangat terbatas.
Menurutnya, Apersi dengan jumlah 3.500 anggota yang paling banyak menyumbang rumah subsidi, rata-rata hanya dapat membangun 100.000 unit rumah subsidi dan 20.000 unit rumah komersial dalam setahun. Jika ditambah dengan kontribusi dari asosiasi pengembang lain, dia masih belum yakin angka target para Capres tersebut bisa tercapai.
"Oleh karena itu, kami berharap agar para Capres dan Cawapres membuat program perumahan yang realistis dan jangan ada tipu-tipu," katanya.
Baca Juga: Pengembang Frustrasi: 'Lama-lama Capek Ngurusi Rumah Subsidi'
Lebih lanjut Junaidi menuturkan, agar capaian pembangunan perumahan rakyat bisa digenjot, pengembang properti memerlukan kepastian investasi.
Pasalnya, selama ini banyak terjadi perberubahan aturan dan kebijakan dalam perizinan. Aturan yang berubah-ubah ini membuat iklim bisnis properti jadi tidak kondusif.
“Perlu diperhatikan adanya kemudahan bagi pelaku usaha. Permasalahan perumahan memang harus dibedah tuntas, bukan hanya bicara target. Kami pengembang ingin tahu konsep apa yang sangat tepat dan masuk akal untuk mewujudkan target tersebut,” tutur Junaidi.
Perlu Kementerian Khusus Perumahan
Lebih lanjut, Junaidi Abdillah menekankan, program perumahan dari Pemerintah mendatang sebaiknya melihat lebih jauh ke depan. Hal ini terkait dengan kenaikan harga tanah dan bahan bangunan, sehingga perlu seimbang dengan penghasilan masyarakat.
“Sekali lagi kami tegaskan, program perumahan rakyat bukan hanya bicara angka-angka, tetapi bagaimana masyarakat bisa menikmati fasilitas program pemerintahan baru ini selama lima tahun ke depan. Makanya, saya melihat program perumahan ketiga calon presiden ini masih belum realistis, karena hanya bermain angka,” kata Junaidi.
Baca Juga: Kementerian Perumahan Rakyat: Layakkah Dihidupkan Kembali?
Menyinggung perlunya kementerian khusus perumahan, Junaidi kembali menekankan bahwa untuk fokus membangun rumah bagi masyarakat, perlu dihidupkan kembali kementerian perumahan. Melihat kondisi ke depan, di mana penduduk kota akan mendominasi, dia mengusulkan agar kementerian perumahan digabung dengan perkotaan.
Dia menuturkan, Apersi dan asosiasi pengembang lain perlu lembaga khusus perumahan, karena kalau digabung seperti saat ini (Kementerian PUPR), kesannya seperti kurang perhatian. Apalagi anggaran perumahan rakyat jauh di bawah anggaran PU.
Anggaran kementerian yang digabung dengan perumahan dan berdiri sendiri pasti beda. Konstruksi itu pekerjaan berat, maka diperlukan kementerian khusus pekerjaan umum, sehingga tidak terpecah tugasnya.
Baca Juga: Koalisi Indonesia Maju: Pengentasan Backlog dan Problem Perumahan Rakyat Harus Dimulai Dari Desa
"Selain itu, Pekerjaan PU lebih kepada benda mati, sementara perumahan rakyat tujuannya memanusiakan manusia, jadi memang berbeda,” jelas Junaidi.
Terkait target zero backlog tahun 2045, Junaidi dengan tegas mengatakan bahwa target tersebut tidak mungkin tercapai dengan mudah. Pasalnya, pertumbuhan penduduk terus bertambah dan setiap tahun angka pernikahan mencapai 800 ribuan.
“Saya pikir tidak mungkin 22 tahun lagi zero backlog. Kecuali hingga 2045 rakyat Indonesia dilarang menikah dan punya anak,” pungkas Junaidi sembari berkelakar.
Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News