Kebijakan Uang Muka KPR 0% Tak Bikin Konsumen Tertarik

Bila ‘hanya’ dengan kebijakan uang muka KPR 0%, tidak akan terlalu menarik bagi konsumen untuk membeli properti.

KPR Nol Persen (Foto: Pixabay.com)
KPR Nol Persen (Foto: Pixabay.com)

RealEstat.id (Jakarta) - Pekan lalu, Bank Indonesia (BI) membuat kebijakan uang muka 0% bagi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang berlaku mulai 1 Maret - 31 Desember 2021. Kebijakan tersebut dilakukan BI dengan melakukan pelonggaran LTV (Loan to Value) dan FTV (Financing to Value) sebesar 100%.

Dengan berlakunya kebijakan ini, konsumen KPR akan terbebas dari membayar DP (down payment) dan seluruh kebutuhan dana dalam memperoleh kredit properti ditanggung oleh bank.

Tak hanya itu, regulasi baru ini dibarengi dengan penurunan BI Rate 7-Day Repo menjadi 3,5%. Hal ini memperlihatkan bahwa pemerintah berusaha keras untuk dapat menggerakkan laju sektor properti.

Baca Juga: Potensi Tinggi, Ini 8 Alasan Properti Harus Dapat Stimulus dari Pemerintah!

Kendati demikian, Indonesia Property Watch mencatat beberapa alasan mengapa kebijakan ini diperkirakan masih belum dapat sepenuhnya mengangkat sektor properti. Pembelian properti tanpa DP (uang muka KPR 0%), pastinya akan berdampak pada peningkatan minat membeli properti.

Dalam kondisi normal dan daya beli masyarakat di semua golongan masih cukup terjaga, kebijakan tanpa uang muka ini akan sangat membantu meningkatkan minat masyarakat untuk membeli properti. Namun demikian dalam kondisi saat ini, minat saja tidak cukup dan harus diimbangi dengan daya beli.

"Seperti kita ketahui saat ini daya beli masyarakat sangat terganggu dan golongan penghasilan masyarakat yang sangat terdampak. Sebagian besar golongan masyarakat menengah-bawah lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan lain sebelum memilih untuk untuk membeli properti. Golongan masyarakat yang memiliki potensi besar untuk membeli properti saat ini dapat dikatakan bertumpu pada golongan masyarakat menengah-atas," jelas Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch.

Baca Juga: Sertifikat Tanah Elektronik, Amankah?

Pada golongan ini besaran uang muka tidak menjadi isu terpenting dalam membeli properti, karena berdasarkan daya beli, seharusnya mereka masih sanggup untuk membayar uang muka. Selain itu, saat ini sudah mulai banyak pengembang yang melakukan strategi penjualan properti tanpa uang muka.

Meskipun masyarakat dapat membeli tanpa uang muka, namun mereka juga harus membayar biaya-biaya pajak dan lainnya yang masih cukup besar.

“Kalau untuk uang muka, saat ini sebenarnya sudah dimungkinkan tanpa uang muka, meskipun tidak semua bank mau menerapkannya. Selain itu juga sudah banyak konsumen properti yang bisa membeli tanpa uang muka dengan strategi harga yang dilakukan pengembang. Namun setelah itu mereka kan harus juga mengeluarkan biaya-biaya pajak PPN 10%, BPHTB 5%, dan lainnya sampai mencapai 22% – 23%. Ini yang harus juga dipertimbangkan pemerintah untuk dapat dikurangi saat kondisi pendemi seperti saat ini untuk menarik minat golongan menengah-atas untuk membeli properti,” jelas Ali Tranghanda.

Baca Juga: Biaya Beli Rumah Tinggi, Pemerintah Harus Turunkan BPHTB!

Dia menambahkan, bukan tanpa alasan saat ini daya beli masyarakat menengah-atas relatif masih cukup baik meskipun terganggu. Sebagian masih menyimpan uangnya di bank dan menunda pembeli properti.

Berdasarkan analisis yang dilakukan Indonesia Property Watch, diperlihatkan juga bahwa penjualan properti yang masih mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2019 berada di segmen harga Rp500 juta – Rp2 miliar. Sedangkan di segmen lebih dari Rp2 miliar, meskipun mengalami penurunan, namun bukan berarti tidak memiliki daya beli. Sebagian besar menunda pembeli properti.

Dengan ‘hanya’ kebijakan tanpa uang muka, tidak akan terlalu menarik bagi mereka untuk membeli properti. Karena nilai transaksi propertinya tetap tidak berubah dan hanya kemudahan pembayaran.

Baca Juga: Bank Syariah Indonesia Siap Salurkan KPR Subsidi FLPP

Namun demikian berbeda bila insentif yang diberikan terkait pengurangan pajak BPHTB dari saat ini 5% menjadi 2,5% seperti yang diusulkan Indonesia Property Watch, atau bahkan ditambah  pengurangan PPN 10% yang diusulkan Real Estat Indonesia (REI).

Dengan adanya pengurangan biaya ini, konsumen properti akan lebih tertarik untuk menyimpan uangnya di properti karena secara nilai transaksi lebih rendah dari kondisi normal. Tentunya pengurangan ini tidak harus diberlakukan selamanya, jika memang pemerintah keberatan. Namun paling tidak dalam satu tahun ke depan, strategi relaksasi ini yang akan membuat pasar properti diperkirakan akan tetap meningkat dalam kondisi pandemi seperti saat ini.

Indonesia Property Watch memperkirakan bahwa dengan adanya gabungan kebijakan LTV/FTV, penurunan suku bunga, dan pengurangan biaya-biaya pajak dan BPHTB akan memberikan daya dorong yang sangat signifikan untuk dapat mengubah perilaku pasar konsumen untuk membeli properti sehingga dapat menggerakan sektor industri ini secara luar biasa.

Redaksi@realestat.id

Berita Terkait

Fahri Hamzah, Wamen PKP (Foto: Dok. Kementerian PKP)
Fahri Hamzah, Wamen PKP (Foto: Dok. Kementerian PKP)
Ilustrasi mengurus HGB ke SHM, (Sumber: Shutterstock)
Ilustrasi mengurus HGB ke SHM, (Sumber: Shutterstock)
Ilustrasi-perhitungan-Pajak-Penjualan-Apartemen-Second-Bagi-Pembeli-dan-Penjual. (Sumber: Istock)
Ilustrasi-perhitungan-Pajak-Penjualan-Apartemen-Second-Bagi-Pembeli-dan-Penjual. (Sumber: Istock)