RealEstat.id (Jakarta) - Ahad pagi (20/6/2021) patik memungut barang mahal di jalanan. Nyata bukan dunia maya. Berharga bukan "dolar kuning". Yaitu gambar suasana rambu sangat sederhana. Hasil jepret ketika gowes tipis-tipis dekat rumah di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Di kepala seakan ada "jalan layang". Gambar ini harus mutan menjadi inisiatif! Harus ada jalan.
Sering gowes melewati bawah jalan layang melengkung ke arah kawasan "kota baru" yang memakai label kelapa gading, rambu itu macam baru ada di sana kemarin malam. Buah kelapa gading memang kuning, walau tak berdaun sirih yang hijau. Kelapa Gading dan Kebon Sirih punya naming rights sejak dulu-dulunya.
Dari cara memacakkan, rambu kuning itu agak terbiarkan. Kurang mencolok ke langit, untung ada corak kuningnya. Ups tunggu dulu. Jangan melihat dengan mata. Walau tak mencolok bola mata, lihatlah dengan "mata" yang lain. Seperti nasihat melihat angin menerbangkan debu dari penyair sufi Jalaluddin Rumi.
Baca Juga: Bobby, Apa Signifikan Medan dan Partisipasi Publik: Membumikan Hak atas Kota
Itu rambu kuning yang bertugas amat penting. Coba tanya, siapa tak sayang anak? Dari cadas dan cabaran "monster" bermesin di jalanan? Dari tabrak lari si pengecut. Dari begal yang berandal. Jawaban warga seisi dunia pasti sama. Buah hati sibiran tulang. Putra putri kehidupan, kata Kahlil Gibran. Tak perlu menjadi kutu buku pun teradiksi kata bijak untuk mengerti itu. Cukup tanyakan hati yang tak terpasung. KalseKung: aKal Sehat menduKung.
Kota mana yang tanpa jalan? Idemditto setiap kota pun negara ada pahlawan dimakamkan. Jalan HM Joni—yang berpotongan Jalan Sisingamangaraja di sudut makam pahlawan—adanya di kota Medan. Di sana banyak kedai kopi dan rumah kulineri, kini. Medan hendak dijadikan Walikota Bobby Nasution berlabel: 'Kitchen of Asia'. Tak harus ibu dan ayah muda menghapal jalan mana yang aman. Kalau asap dapur musti aman, bung!
Buatlah siasat mengamankan jalur aman sekolah sebagai kebijakan yang ditegakkan zero tolerance. Yang Terhormat Pak Walikota, perbanyaklah bus sekolah yang dibuat elok, yang di seluruh dunia berwarna kuning mencolok. Kuning juga warna Melayu. Cocok dengan Medan.
Juga, warna kuning tanda hati-hati: waspada. Kuning mudah ditangkap mata. Bus sekolah boleh jalan lambat dan berhenti dimana saja. Kuning itu tanda hal ikhwal berharga. Untuk menyebut beberapa alasan mengapa bus sekolah kuning warnanya sedunia. Warna kuning itu digagas Dr. Frank W. Cyr dari Universitas Columbia, New York, USA, tahun 1939. Dunia menyadari, selamat di sekolah kota lebih berharga daripada dolar berwarna apapun, mata uang negara manapun.
Baca Juga: Kepercayaan Konsumen, Harta Karun Pengembang Properti
Postulat saya, jalur aman dari/ke sekolah, bukan hanya sampiran. Jangan remehkan kisah tegakan rambu jalanan yang dituding narasi melayang. Bukan sisipan dari konsep kota layak huni. Bukan pula hanya rambu yang tegak merunduk yang harus dirapihkan Dinas Perhubungan.
Itu alibi dan bukti warga kota menghendaki Kota Layak Anak, yang kudu terus diikhtiarkan. Analog, Karl von Savigny menyebut hukum itu dengan 'volkgeist'. Memupuk jiwa bangsa yang peduli anak jauh lebih penting dari sekadar diverifikasi, dilombakan dan menjadi indeks mutu kepatuhan pemerintah kota. Itu demi kepentingan terbaik anak (the best interest of the child), prinsip dalam KHA (Konvensi PBB tentang Hak Anak) yang telah diratifikasi dengan Keppres No.36 Tahun 1990. Instrumen HAM utama yang diratifikasi dengan Keppres, ya hanya KHA saja.
Walau kini anak sekolah belum masuk bersekolah secara luring (offline), kota harus tetap dihuni layak anak. Tak kalah penting dari membuat layak dan apik 11,2 kilometer jalur sepeda jalan Sudirman-Thamrin dengan planters box yang bernilai Rp30 miliar. Jangan silap, itu tak dibiayai APBD Propinsi DKI Jakarta namun dari kompensasi pihak ketiga, seperti diujarkan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo kepada media.
Narasi ini bisa jadi dicemburui saya sendiri, aktivis anak pegiat inisiatif jalur aman sekolah, dan gerobak kota yang menyiasati simpang tiga menjajal jalan berlawanan arah angin. Diwartakan tahun 2030 akan ada 300 kilometer jalur sepeda di Jakarta. Cemburu kepada tulisan sendiri, cara mengaktivasi mitokondria pembangkit energi diri. Cemburu yang menghasilkan inisiatif baru. Proposal baru.
Baca Juga: HGU Megamendung, RUU Pertanahan, dan Kemakmuran Rakyat
Majelis Pembaca yang bersemangat. Kota adalah gambaran siapa kita. Sebab itu membangun kota bukan hanya bersih-bersih, berpulas lipstik, hawa wangi, dan beautifikasi. Namun kota ada jiwa-cum-semangat. Misi kota memberdayakan warga kota dan menyayanginya. Bangun kotanya, bahagiakan warganya; semangat duo Anies Baswedan dan Ahmad Riza Patria. Jauhkan semena-mena. Bukan menghardik dan syak wasangka. Itu gaya lama. Kota tumbuh dengan jiwa semangat warganya. Tekat yang wajar tanpa syarat. Kota dan warganya musti mesra. Relasi yang inklusif. Menjadi kota inklusif, ujar kawan saya M. Jehansyah Siregar, Ph.D, sang anak Medan, ahli perumahan dan perkotaan, dosen senior ITB.
"It takes a city to raise a child", butuh kota menumbuhkan anak. Saya petik dan olah sedikit kalimat itu dari buku 'Kota untuk Semua' karya pak Wicaksono Sarosa. UNICEF mendorong Kota Layak Anak. Pun, Sustainability the City and Community dari Suistainable Development Goals: SDGs—yang diagendakan sekujur negeri dan negara dunia. Artinya: agenda mondial. Malu dong menjadi asing di sorot mata dunia.
Benar. Di sini sudah ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA). Yang diterbitkan untuk melaksanakan Pasal 21 ayat (6) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun peraturan hanya law in books. Bagaimana law in action? Norma hukum yang bersua dalam ruang sosial, meminjam istilah almarhum Prof. Mahadi, guru besar FH USU yang pernah menjadi hakim.
Patik bersua dengan data. Bahwa kota Jakarta Utara pernah meraih predikat KLA tingkat Pratama pada 2018 dan Madya (2019). Target berikut, KLA Nindya 2021. Penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak terdiri atas lima predikat, yaitu Pratama, Madya, Nindya, Utama dan Kabupaten/Kota Layak Anak.
Baca Juga: "BP3": Kemana Air Hendak Cepat Mengalir?
Walikota Medan Bobby Nasution menarget Medan memenangi KLA tahun 2021. Salah satu indikator memiliki Perda KTR (Kawasan Tanpa Rokok). Bulan Juni 2021 ini sebuah tim tengah giat Verifikasi Lapangan Hybrid (VLH), termasuk datang ke Medan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) menjadi penjuru. Kawan saya pak Nahar—yang berkarier dari awal di Kementerian Sosial—kini Deputi Perlindungan Khusus Anak KPPA tentu turut sibuk total, seperti wataknya yang biasa totalitas bekerja.
Di negeri sebelah sana, prakarsa selamat ke sekolah digarap lebih beragam, dengan dukungan otoritas kota pada inisiatif itu lebih deras lagi. Tak hanya membangun tugu dan penanda kota baru yang berwarna kuning. Menggeliatkan dan menduplikasi 'Safe Routes to School: Helping Communities Save Lives and Dollars', mengapa tidak?
Otoritas kota idemditto ibukota negara berkepentingan. Pada kota yang layak dihuni anak—putra putri kehidupan sang pemilik masa depan kota untuk semua. Itu misi mulia membangun sekujur kota, dan membahagiakan seisi warga. Bahkan tanpa ada yang tertinggal: no one left behind.
Baca Juga: Bank Tanah untuk Perumahan Rakyat: Menuju Kenyataan yang Omni?
Anak bangsa jauh lebih bernilai dari situs sudut kota. Ibaratnya, warna mereka adalah kuning. Yang berharga setara bahagia dan ekstra hati-hati dijaga. Dengan kota bahagia yang layak dihuni anak.
Tendensi opini ini, mengusung 'Inisiatif Jalur Aman Sekolah' yang terintegrasi jalur sepeda yang aman-nyaman-terjaga, dengan atau tanpa kompensasi pihak ketiga yang sayang anak. Bahagia warga kota. Bahagia anak Indonesia.
Dirgahayu Jakarta, 22 Juni 2021 yang ke-494 Jakarta Tangguh. Tahniah kota Medan ke-431, 1 Juli 2021. Terimakasih telah tabah menjadi kota kami. Maaf atas sang khilaf. Ampon untuk yang tak santon. Tabek.
Muhammad Joni, Advokat Joni & Tanamas Law Office, Sekretaris Umum The HUD Institute, Ketua Kornas Perumahan Rakyat, dan Wakil Ketua Badan Advokasi Konsumen DPP Realestat Indonesia. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis. Untuk berkorespondensi, dapat disampaikan melalui email: mhjonilaw@gmail.com.