Jadi Kendala Pembiayaan Properti, REI Beri Usulan kepada OJK Terkait Pinjol, Ada Apa?

Pembiayaan properti menjadi salah satu kendala bagi konsumen maupun pengembang. Untuk itu, DPP REI menawarkan beberapa masukan kepada perbankan dan pihak terkait.

Paulus Totok Lusida, Ketua DPP REI (Foto: realestat.id)
Paulus Totok Lusida, Ketua DPP REI (Foto: realestat.id)

RealEstat.id (Jakarta) - Pembiayaan masih menjadi salah satu kendala di tengah menggeliatnya sektor properti pasca-pandemi Covid-19. Faktor kehati-hatian perbankan dalam mengucurkan kredit turut menyebabkan tersendatnya pembiayaan sektor properti, baik bagi konsumen maupun pengembang.

Paulus Totok Lusida, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (DPP REI) menjelaskan, pihaknya memaklumi kebijakan perbankan tersebut, tetapi REI juga mengimbau agar bank tetap bisa melayani konsumen, terutama di kondisi pasar properti yang makin membaik.

Baca Juga: Pentingnya Literasi Finansial Untuk Tingkatkan Pemasaran Properti

"Kami berharap 'filter' dari pihak perbankan dalam mengucurkan kredit jangan terlalu ketat, baik di sisi pengembang maupun konsumen. Terutama konsumen, yang banyak tergerus pendapatannya akibat pandemi," tutur Paulus Totok Lusida

Menurutnya, syarat pengucuran kredit ini memang prerogatif bank yang bersangkutan. Meski tidak tertulis, beberapa syarat ditambah untuk memfilter calon debitur, seperti pengalaman kerja, masa kerja, hingga payroll, agar bank bisa melihat stabilitas keuangan nasabah. Hal inilah yang coba dinegosiasikan oleh DPP REI.

Lebih lanjut, Totok menjelaskan, sektor properti hunian yang terbilang stabil berada di kisaran harga Rp300 juta - Rp1 miliar, karena konsumennya merupakan first home buyer, lebih mudah beradaptasi dengan keadaan, dan lebih well educated

Baca Juga: The HUD Institute: Awas! Darurat Pembiayaan Mikro Perumahan MBR Sektor Informal

Pasar rumah dengan harga di bawah Rp300 juta, turun sekitar 30%, lantaran pangsa pasarnya mengalami penurunan keuangan, akibat jam kerja berkurang di masa pandemi. Hal ini tentu dianggap berisiko bagi bank yang akan mengucurkan kredit.

"Kondisi pasar rumah MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) memang belum kembali normal. Dalam kondisi normal, Pemerintah menargetkan pengembang membangun rumah MBR sebanyak 300 ribu, tetapi saat ini masih ditargetkan hanya 250 ribu," ungkap Totok.

Menyoal harga rumah subsidi yang dalam dua tahun terakhir urung dinaikkan, Totok menyebut bahwa Kementerian PUPR dan REI menyepakati kenaikan harga sebesar 7%. Namun, kenaikan harga rumah subsidi, bolanya ada di Kementerian Keuangan, karena terkait besaran bebas PPN-nya.

Baca Juga: BP Tapera Optimistis Target Pembiayaan Perumahan 2022 Tercapai

"Awalnya, REI minta kenaikan sebesar 10% berdasarkan kenaikan harga bahan bangunan, inflasi, dan lain-lain. Namun, Pemerintah memiliki pertimbangan lebih banyak lagi, seperti faktor makro ekonomi, daya beli, UMR, dan lain-lain, sehingga muncuk angka 7% itu," terangnya. 

Sementara itu, lanjut Totok, DPP REI juga berencana menyampaikan usulan kepada pihak OJK (Otoritas Jasa Keuangan) terkait pinjaman online (Pinjol). Menurut Totok, keberadaan Pinjol tidak diakui, bahkan kantornya digerebek penegak hukum, tetapi sebaliknya konsumen yang macet membayar tunggakan Pinjol dianggap kolektabilitas.

"Di media bahkan ada imbauan agar konsumen jangan membayar utang Pinjol, tetapi di sisi lain, utang itu dianggap kolektabilitas. Hal ini tentu merugikan konsumen yang akan mengajukan kredit properti," pungkas Totok.

Redaksi@realestat.id

Berita Terkait

Foto: Freepik.com
Foto: Freepik.com
Ilustrasi Perumahan Subsidi. (Sumber: Kementerian PUPR)
Ilustrasi Perumahan Subsidi. (Sumber: Kementerian PUPR)
Ilustrasi rumah KPR FLPP. (Sumber: BP Tapera)
Ilustrasi rumah KPR FLPP. (Sumber: BP Tapera)