RealEstat.id (Jakarta) - Pelaku usaha properti menanti realisasi penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dari pemerintah daerah (Pemda). Mereka terkendala melaksanakan proyek pembangunan properti karena belum terbitnya PBG yang dimohonkan.
Pemda terkesan menunda penerbitan PBG karena masih belum memiliki Perda Retribusi PBG sebagai landasan normatif menarik retribusi. Menunda penerbitan PBG dengan alasan belum ada Perda Retribusi PBG tidaklah tepat, bahkan berpotensi menimbulkan risiko hukum.
Persoalan ini menjadi penting untuk diketahui agar langkah pemerintah daerah menunda layanan PBG tidak berdampak kepada risiko hukum.
Baca Juga: Menakar Kebijakan Masa Transisi Penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG)
Tidak Ada Alasan
Pemerintah Daerah tidak diperkenankan menunda penerbitan PBG dengan alasan belum terbitnya Perda Retribusi PBG. Pemerintah pusat sebelumnya sudah mengeluarkan Surat Edaran No.011/5976/SJ tanggal 21 Oktober 2021.
Apabila sampai saat ini pemerintah daerah belum memiliki peraturan daerah terkait restribusi PBG maka penerbitan PBG tidak boleh disertai pungutan retribusi. Retribusi PBG dipungut apabila telah diatur dalam peraturan daerah sesuai dengan bunyi ketentuan pasal 156 ayat 1 UU No. 28 tahun 2009.
Dalam hal pemerintah daerah belum memiliki Perda mengenai retribusi PBG, maka kepala daerah menerbitkan keputusan kepala daerah yang menyatakan layanan penerbitan PBG tidak disertai pungutan berupa retribusi sampai ditetapkannya Perda mengenai retribusi PBG.
Layanan penerbitan PBG tetap dilakukan melalui SIMBG dengan cara melakukan input tarif retribusi PBG sebesa Rp0 (nol rupiah). Pendanaan atas proses layanan penerbitan PBG dibebankan pada APBD masing-masing pemerintah daerah.
Baca Juga: Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) Jangan Hambat Perumahan MBR!
Pada sisi lain, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja tidak menghambat pemerintah daerah untuk menyelesaikan Peraturan Daerah Retribusi PBG.
UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebelumnya sudah mengubah UU No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Regulasi ini sudah mengubah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Pemerintah sebelumnya sudah menerbitkan PP No. 16 tahun 2021. Dalam peraturan pemerintah ini, pemerintah daerah kabupaten/kota harus menyediakan layanan PBG dalam jangka waktu enam bulan sejak peraturan pemerintah ini berlaku. Jangka waktu ini telah berakhir pada tanggal 2 Agustus 2021.
Pemda harus merevisi peraturan daerah (Perda) retribusi IMB menjadi Perda retribusi PBG agar bisa menarik retribusi layanan PBG. Saat ini Pemda Kabupaten/Kota masih banyak yang belum memiliki Perda Retribusi PBG.
Baca Juga: Asosiasi Pengembang Ungkap Sejumlah Kendala Sektor Perumahan yang Harus Diatasi Pemerintah
Retribusi PBG merupakan jenis retribusi baru atas layanan penyediaan PBG sesuai dengan pasal 114 angka 1 huruf a UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ketiadaan perda ini seyogianya tidak menghambat atau menunda pemrosesan PBG yang sudah masuk.
Namun dalam realitanya, banyak daerah yang belum merevisi Perda retribusi IMB menjadi Perda retribusi PBG. Akibatnya Pemda tidak diperkenankan menarik retribusi dalam penerbitan PBG.
Pemerintah daerah kabupaten/kota memerlukan penyesuaian untuk memahami tata cara perhitungan retribusi PBG. Pembentukan Perda mengenai retribusi PBG harus mengacu kepada Permendagri No.80 tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri No.120/2018.
Sikap pemerintah terhadap putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 91/PUU-VIII/2020 ini sudah jelas dan tegas sebagaimana pernyataan Presiden RI Bapak Joko Widodo. Beliau setidak-tidaknya menyatakan 4 (empat) hal.
Baca Juga: Pengembang Dalam PKPU, Apa yang Harus dilakukan Pihak Perbankan?
❑ Pertama, pemerintah menghormati dan segera melaksanakan putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 91/PUU-VIII/2020 terkait UU Cipta Kerja Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.
❑ Kedua, dengan dinyatakan masih berlakunya UU Cipta Kerja maka seluruh materi dan subtasi dalam UU Cipta Kerja tetap berlaku tanpa ada satu pasalpun yang dibatalkan atau tidak dinyatakan berlaku oleh Mahkmah Konstitsi.
❑ Ketiga, Menteri Koordinator dan meteri terkait untuk segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi secepat-cepatnya. Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang diberikan waktu paling lama dua tahun untuk melakukan revisi atau melakukan perbaikan-perbaikan.
❑ Keempat, pemerintah memastikan bahwa investasi yang telah dilakukan para pelaku usaha dan para investor dari dalam dan luar negeri serta investasi yang sedang dan akan berproses tetap aman dan terjamin.
Baca Juga: SKBG Sarusun Jawab Kebutuhan Hunian MBR di Perkotaan
Risiko Hukum
Permohonan PBG yang tidak direspon oleh instansi yang berwenang dapat memiliki risiko hukum Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang sudah berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014 mengatur tentang tentang Keputusan Fiktif Positif.
Istilah ini mengandung pengertian apabila Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan mengabaikan permintaan dari warga negara maka dianggap telah mengabulkan permintaan tersebut.
Kalau disimak ketentuan pasal Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara wajib untuk menetapkan suatu keputusan dan atau tindakan setelah adanya permohonan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja apabila tidak ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak melakukan keputusan atau tindakan yang telah dimohonkan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.
Baca Juga: Legal Audit, Atasi Sengkarut Sengketa Tanah
Kalau diperhatikan PP No.16 tahun 2021, tahapan permohonan PBG dapat diperhatikan dalam pasal 253 sampai dengan pasal 262 peraturan pemerintah ini. Pemeriksaan terhadap dokumen rencana teknis dilakukan oleh Tim Profesi Ahli (TPA) atau Tim Penilai Teknis (TPT).
Dalam hal bangunan gedung berupa rumah tinggal tunggal 1 (satu) lantai dengan luas paling banyak 72 m2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan 2 (dua) lantai dengan luas paling banyak 90 m2 (sembilan puluh meter persegi), pemeriksaan dilakukan dalam kurun waktu paling lama 5 (lima) hari kerja. Sedangkan pemeriksaan selain gedung itu dilakukan paling banyak 5 (lima) kali dalam kurun waktu paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja.
Pemerintah berkewajiban secara hukum untuk memberikan respon atas permohonan masyarakat atas keputusan/tindakan tertentu. Apabila dalam jangka waktu yang sudah diatur tetap tidak direspon, maka ada hak masyarakat untuk memperkarakannya ke pengadilan. Fiktif positif itu untuk mendorong pelayanan publik yang lebih baik oleh badan/pejabat pemerintahan.
Fiktif Positif disidangkan dengan acara khusus sebagaimana diatur pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan Atau Pejabat Pemerintahan.
Baca Juga: Lima Kiat Sukses Mendapat Kucuran Kredit Properti dari Bank
Terdapat perbedaan pemeriksaan dalam perkara fiktif positif dibandingkan dengan gugatan biasa. Pendaftaran Permohonan di Pengadilan disertai alat bukti pendahuluan.
Ketua Pengadilan menetapkan susunan Majelis tanpa melalui dismissal process. Ketua Majelis menetapkan hari sidang dan jadwal sidang sejak berkas diterima tanpa didahului pemeriksaan persiapan. Permohonan diperiksa dan diputus dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diregistrasi. Putusan Tingkat Pertama bersifat final dan mengikat.
Putusan PTUN mengenai Fiktif Positif ini final dan mengikat (pasal 18 Perma No. 8 tahun 2017). Artinya tidak ada lagi upaya hukum yang tersedia. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan Pengadilan diucapkan.
Nah, bagaimana isi tuntutan (petitum) dalam permohonan fiktif positif ? PERMA No. 8 tahun 2017 pada pasal 4 ayat 2 mengatur ada 3 (tiga) hal yang harus dituntut.
❑ Pertama, mengabulkan Permohonan Pemohon.
❑ Kedua, mewajibkan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan Permohonan Pemohon.
❑ Ketiga, membebankan biaya perkara kepada Termohon.
Baca Juga: Risiko Hukum Dalam Pengucuran Kredit Properti, Apa Saja?
Pemerintah Daerah perlu menyimak putusan fiktif positip dalam perkara Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jambi Nomor 03/G/2015/PTUN.JBI sebagai contoh kasus. Dalam putusannya PTUN Jambi mengabulkan gugatan pemohon IMB yang merasa dirugikan karena Pemerintah Daerah tidak meresponi permohonannya.
Putusannya menyatakan batal atau tidak sah sikap diam Bupati Kabupaten Merangin yang tidak memproses surat permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dimohonkan pemohon tanggal 1 Desember 2014. Putusan itu mewajibkan Bupati Kabupaten Merangin untuk memproses dan menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dimohonkan pemohon.
Penutup
Pemerintah daerah diharapkan dapat segera menerbitkan PBG sepanjang syarat dan ketentuan sudah dipenuhi oleh Pemohon. Menunda penerbitan PBG dengan syarat yang sudah dipenuhi dapat merugikan pemohon. Hal ini dapat menjadi alasan untuk mengajukan perkara berupa permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dalam hal Pemerintah Daerah belum memiliki Perda Retribusi PBG, maka PBG diharapkan dapat diterbitkan dengan retribusi nol rupiah. Agar risiko hukum termitigasi, aman dan bijaklah dalam bisnis properti. Semoga artikel ini bermanfaat.
Juneidi D. Kamil, SH, ME, CRA adalah Praktisi Hukum Properti dan Perbankan. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis. Untuk berkorespondensi, dapat disampaikan melalui email: kamiljuneidi@gmail.com.