RealEstat.id (Jakarta) - Seorang kawan bilang kepada saya: "Anda tak sekadar lawyer". Tersanjung? Entahlah! Benar lawyer bukan jurnalis. Tapi kua fungsional, karena pekerjaan: lawyer penulis ligat dan aktif dalam cermat.
Bisa dipastikan, setiap hari lawyer alias pengacara berpikir hukum. Mencerna fakta dan menuliskannya. Pun sekadar menulis opini ringan dalam hati. Mengarang tualang dalam wilayah pikiran.
Kini makin mudah dengan perkakas canggih. Anda bisa menulis ligat di mana saja. Dengan smart phone dalam genggaman, walau secepat kilatan pikiran. Dari suara sendiri, menjadi kalimat panjang bisa dikonversi.
Baca Juga: Bank Tanah untuk Perumahan Rakyat: Menuju Kenyataan yang Omni?
Sedikit cerita pengalaman penting. Tak mungkin lawyer menerapkan hukum tanpa kemampuan menulis atau legal writing. Karena lawyer berurusan dengan surat-surat hukum: naskah eksepsi, nota pembelaan alias pledooi, juga jawab jinawab, legal opinion dan legal drafting. Seluruhnya adalah tulisan khas yang perlu skill berkelas, baik hard skill maupun soft skill. Mengetik draf adalah hard skill. Memboboti energi ke isi draf adalah soft skill.
Tak cuma legal writing skill, persenjataan lawyer kudu disempurnakan dengan kelihaian dalam perbincangan hukum (legal talking/speaking). Di ruang sidang maupun di luar sidang—yang lebih luas dan ganas. Pun, kemampuan persuasi dan negosiasi. Menjadi influencer otentik. Tentu saja pemahaman lengkap ikhwal konten "ABC-XYZ"-nya subyek hukum yang spesifik.
Apalagi? Mutlak perlu mengasah kemahiran mencari jurus solutif dalam kasus konkret. Juga, seni berselancar tangguh dan indah di area gerak gelombang dan reriak penerapan hukum. Yang tidak bisa hanya mengandalkan pengetahuan, tetapi perhimpunan pengalaman lapangan alias "street smart". Untuk memamah banyak-banyak “asam garam” litigasi dan non litigasi.
Baca Juga: 5 Anyaman Pemulihan Ekonomi Nasional-Perumahan Berkeadilan Sosial
Karena itu lawyer mesti diterjunkan ke lapangan. Diuji di ruang sidang. Dilepas menghadapi meja perundingan yang garang. Bertungkus lumus melahap tumpukan dokumen: riset hukum bersama-sama ataupun sendirian. Semua perlu dituliskan. Sekali lagi: dituliskan!
Upss, tunggu sebentar. Tak hanya menulis, tetapi tahu langgam cara menuliskan, yang sangat santun maupun yang menggetarkan. Dan yang tak boleh lupa, tahu cara menulis dan mengirimkan invoice setelah masanya tiba.
Walau bekerja praktis dan taktis, lawyer penting berpikir visioner dan berkaliber. Tak hanya membaca apa yang terbaca bola mata. Karena itu bersiaplah membaca visi, yang untuk itu perlu "mata yang lain”, lagi. Bukan nujum, tak cuma bermodal teatrikal bla-bla-bla.
Baca Juga: Developer, Renewal Habit, dan Mental Juara
Bisa jadi anda berlakon sebagai perancang. Pun, ada kalanya mengeksekusi rancangan di lapangan. Kadang hanya menjalani peta "jalan" hukum apa adanya alias formalistik-legalistik sahaja. Tetapi bersiaplah membuat "jalan" baru hukum. Mengubah peta hukum di tengah geliat "bus besar" dan suasana perubahan omni. Dengan cara menguji norma dan membuat norma baru. Membuat “jalan” baru hukum.
Tak hanya jalan, bersiaga pula jika diminta merancang "kota baru" hukum yang elok, adil dan bermartabat. Mengonsolidasi ruang dan tanah kota tua-kumuh menjadi “kota baru” hukum yang membahagiakan. Bahagia sebesar-besarnya bagi orang sebanyak-banyaknya memang tujuan hukum versi tiori utilitas Jeremy Bentham.
Pernah patik menutur analog-tamsilan. Jikalau hukum adalah kota, kami kaum lawyer harus menjadi "smart city planner". Ya.., bukan kontraktor apalagi cuma tukang bangunan kejar setor.
Baca Juga: Gagal Serah Properti: Kepailitan Developer atau Wanprestasi?
Kembali soal menulis. Bukan seperti membuat kue lapis. Perlu suasana hati alias mood bagus, yang terbebas amarah dan tarikan nafas berdengus. Menulis hukum, pun demikian menegakkan hukum, jangan dalam suasana dikuasai amarah. Negara harus cool and calm tanpa asap rokok. Mood dan pencerahan kepala bisa datang kapan saja dan di mana saja. Saat berpanas-panas menatap panorama benang raja sekelar hujan di Pantai Kuta. Atau, setakat ontok diam sendiri di tengah singkat masa vakansi liburan.
Acap kali mood perlu diperli-perli. Ya.. dengan dibantu suasana sepi, mendengar swara sunyi. Atau, tatkala usai menikam malam jahanan. Pun bisa juga pergi ke taman tepi hutan saat menengok “pohon bertunas tanpa suara”.
Alahai, menurut pengalaman patik, lawyer juga perlu membeli suasana. Walau mahal. Hasilnya rasakan saja. Silakan memanjakan mood dan bermesra-mesra dengan pencerahan kepala. Itu tanda syukur pada anugerah kepala. Hati bersyukur adalah hati yang berpesta-pesta, patik petik dari bukunya Rhonda. Tersebab itu, jangan usik daya kreatifnya. Bukan hanya tersebab aku Melayu! Tabik.
Muhammad Joni adalah praktisi hukum properti, Managing Director Smart Property Consulting (SPC), Sekretaris Umum The HUD Institute, dan Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI). Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis. Untuk berkorespondensi, dapat disampaikan melalui email: mhjonilaw@gmail.com.