RealEstat.id (Jakarta) – Sebuah podcast di media sosial menyebarkan informasi yang keliru atas status tanah rumah KPR (kredit pemilikan rumah). Katanya: percuma nyicil KPR 20 tahun! Setelah lunas, kamu harus beli lagi tanahnya! Developer ini sebenarnya bukan pemilik tanah!.
Pada kesempatan tersebut, sang podcaster juga menampilkan potongan liputan video seorang advokat, seolah-olah ingin membangun persepsi apa yang diungkapkannya itu sudah divalidasi dan narasinya bisa dibenarkan.
Pendapat dalam podcast ini perlu diluruskan agar pasar properti teredukasi secara baik—dan tidak justru menggangu pasar properti. Jadi, bagaimana sesungguhnya status tanah KPR itu dan apakah benar developer bukan sebagai pemilik tanah?
Baca Juga: Pengembang Dinyatakan Pailit, Cicilan KPR Otomatis Lunas?
Tanah Rumah KPR
Sejarah awal dari KPR adalah ditunjuknya Bank BTN oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 29 Januari 1974 sebagai wadah pembiayaan proyek perumahan untuk rakyat.
Sejak awal diperkenalkan kredit pemilikan rumah (KPR), dana yang dipinjam dari bank itu dimaksudkan untuk membantu kemudahan warga masyarakat untuk dapat memiliki rumah.
Warga masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) diharapkan dapat membeli hak atas tanah berikut bangunan rumah yang terdapat di atasnya—yang dikenal dengan istilah rumah KPR—dengan bantuan pinjaman lewat fasilitas KPR.
Rumah KPR artinya rumah yang dibeli melalui fasilitas pinjaman dari KPR. Pembeli rumah umumnya tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli rumah secara tunai.
Membeli rumah saat ini membutuhkan dana yang cukup besar oleh karena itu pembeliannya dilakukan secara mencicil. Fasilitas KPR sebagian besar dapat diperoleh dari perbankan baik dari bank konvensional maupun dari bank syariah.
Baca Juga: Lima Keuntungan Membeli Rumah dengan Fasilitas KPR Indent
Uang mukanya relatif tidak begitu besar hanya berkisar 5% hingga 20% untuk KPR Non Subsidi. Bisa tanpa uang muka untuk KPR subsidi Tapera atau uang muka sebesar 1% saja untuk KPR subsidi FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan).
Kekurangannya, harga pembelian dilunasi dengan pinjaman yang diperoleh dari bank. Jangka waktu kredit KPR Subsidi sampai dengan 20 tahun. Sedangkan jangka waktu KPR Non Subsidi bisa sampai 30 tahun. Jangka waktu ini terkandung dari permohonan calon debitur, kemampuan mengangsur, usia pemohon KPR dan jangka waktu hak atas tanah rumah KPR.
Saat realisasi KPR selain ditandatangani perjanjian kredit tetapi juga dilakukan transaksi pembeliannya yang dibuktikan dengan penandatanganan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan/atau Akta Jual Beli (AJB).
Konsumen yang membeli hak atas tanah beserta bangunan rumah di atasnya dengan cara mencicil KPR, menjadi pemilik setelah ditandatangani PPJB/AJB dan menjadi sempurna kepemilikannya setelah sertipikat dilakukan proses balik nama ke atas nama dirinya di Kantor Pertanahan.
Baca Juga: Perlu Diketahui, Jenis-jenis Akad KPR Syariah
Hubungan hukum antara pengembang selaku penjual rumah dan konsumen selaku pembeli rumah adalah jual beli bukan hubungan hukum sewa menyewa. Pengembang berkewajiban menyelesaikan bangunan, sarana dan prasarana serta penyelesaian legalitas kepemilikan ke atas nama pembeli rumah sesuai kesepakatan dalam PPJB/AJB.
Sedangkan hubungan hukum antara konsumen selaku pembeli rumah dengan bank yang memberikan pinjaman KPR adalah hubungan hukum pinjam meminjam uang. Hak atas tanah beserta bangunan yang berada di atasnya menjadi objek jaminan KPR di bank.
Berdasarkan uraian ini jelas bahwa debitur yang membeli rumah dengan fasilitas KPR sudah menjadi pemilik secara perdata atas tanah dan bangunan serta sarana prasarananya setelah ditandatangani PPJB/AJB saat realisasi KPR.
Kepemilikan rumah KPR oleh debitur menjadi sempurna setelah dilakukan proses balik nama sertipikat ke atas nama debitur KPR. Setelah angsuran KPR lunas maka debitur dapat membawa bukti pelunasannya untuk mengambil sertipikat tanah yang disimpan di bank.
Baca Juga: Cara Membebaskan Properti dari Boedel Pailit
Lahan Proyek Perumahan
Penjual rumah adalah pengembang properti atau yang disebut juga dengan istilah developer. Pada umumnya developer adalah perseroan terbatas (PT). Badan hukum ini berdasarkan UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dapat memiliki Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai. Mereka tidak dapat menjadi pemegang Hak Milik.
Rumah dapat dibangun di atas tanah yang sudah terdaftar atau bersertipikat dengan status tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (yang memiliki jangka waktu). Hak Milik memiliki jangka waktu yang tidak terbatas. Sementara HGB dan Hak Pakai memiliki jangka waktu yang terbatas.
HGB dapat diberikan dengan jangka waktu 30 tahun dapat diperpanjang selama 20 tahun dan dapat diperbaharui 30 tahun lagi. Sedangkan Hak Pakai dapat diberikan dengan jangka waktu 30 tahun dapat diperpanjang selama 20 tahun dan dapat diperbaharui 30 tahun lagi.
Baca Juga: Kredit Bermasalah Bikin Bank Resah, Saatnya Legal Action!
Proyek perumahan yang dibangun developer status tanah pada umumnya adalah HGB. Apakah ada proyek perumahan yang dibangun developer adalah Hak Milik? Dalam praktek ada juga beberapa proyek perumahan itu status hak atas tanahnya Hak Milik.
Keadaan itu dimungkinkan berdasarkan perjanjian kerjasama antara developer berbentuk PT dengan pemilik tanah perorangan pemegang Hak Milik. Pemegang tanah hak milik menjadi pengurus dalam PT yang menjadi pengembang.
Konsumen properti perlu memahami bahwa status rumah KPR itu secara legal dapat didirikan di atas tanah Hak Milik, HGB dan Hak Pakai. Dalam hal status hak atas tanah rumah KPR dibangun di atas HGB dan Hak Pakai sebaiknya dipastikan kembali. Apakah HGB dan Hak Pakai itu berasal dari tanah yang langsung dikuasai negara atau berasal dari lahan Hak Pengelolaan.
Dalam hal rumahnya berupa high rise building (bangunan bertingkat) yang dikenal dengan rumah susun atau apartemen konsep kepemilikan lebih kompleks. Konsumen properti sebaiknya memahami konsep kepemilikan bersama dan kepemilikan perseorangan dalam konsep pembangunan rumah susun ini sebelum melakukan transaksi.
Baca Juga: Waspada! Inilah Modus Debitur Nakal Hindari Kewajiban Bayar Utang
Tanah bersama yang menjadi lahan berdirinya bangunan rumah susun dimiliki secara bersama sedangkan kepemilikan satuan rumah susun (sarusun) dimiliki oleh perorangan.
Besarnya kepemilikan pribadi dibandingkan dengan kepemilikan bersama ditentuan berdasarkan ratio Nilai Perbandingan Proporsional (NPP). Angka ini tercantum dalam Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS) yang dimiliki oleh pembeli rumah susun/apartemen.
Pendapat yang menyatakan bahwa developer ini sebenarnya bukan pemilik tanah tetapi hanya merupakan pengembangan lahan sewa (land lease development) tidak sepenuhnya benar.
Developer yang bermaksud menjual rumah yang dibangunnya dengan fasilitas KPR harus memiliki kewenangan sepenuhnya untuk menjual hak atas tanahnya serta bangunannya yang dilengkapi sarana dan prasarananya kepada pembeli.
Baca Juga: Nasabah Peminjam dalam PKPU, Bank Bisa Berbuat Apa?
Keadaan ini berbeda apabila developer melakukan kerjasama dengan konsep Build, Operate & Transfer (BOT). Hak atas tanah beserta bangunan yang terdapat di atasnya tidak mungkin dapat diperjualbelikan tetapi hanya dapat disewakan dalam jangka waktu tertentu.
Konsumen properti harus dapat memastikan sebelumnya hak atas tanah yang dikuasai atau dimiliki developer. Apakah developer sudah memiliki hak atas tanah yang dikembangkannya dalam proyek properti yang dibangunnya atau developer hanya menguasai hak atas tanah atas dasar konsep BOT atau penyewaaan dalam jangka panjang.
Penutup
Konsumen yang menjadi pasar properti perlu ditingkatkan literasinya agar saat membeli rumah untuk hunian dan/atau investasi tidak dirugikan. Tanggung jawab untuk meningkatkan literasi ini bukan hanya menjadi kewajiban pemerintah tetapi juga perlu partisipasi aktif dari pelaku usaha properti.
Informasi yang keliru yang disuguhkan terkait aspek hukum status tanah rumah KPR dapat mengganggu pasar properti. Semoga artikel ini dapat berkontribusi dalam meningkatkan literasi bagi konsumen yang menjadi pasar properti.
Artikel ini ditulis oleh: Dzaky Wananda Mumtaz Kamil, SH.
Penulis adalah Praktisi Hukum Properti dan Perbankan berdomisili di Jakarta. Alumni Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini tengah mengikuti Program Studi Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada. Korespondensi dapat dilakukan melalui email: dzakywanandamumtazk@gmail.com
Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News