RealEstat.id (Jakarta) - Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mendapat instruksi dari Presiden untuk melakukan percepatan penanganan sengketa dan konflik pertanahan. Pasalnya, penanganan konflik dan sengketa pertanahan merupakan salah satu tugas utama dari ATR/BPN.
Untuk itu ATR/BPN memiliki unit kerja khusus yang menangani dan menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan yang terjadi, yaitu Direktorat Jenderal (Ditjen) Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah (Ditjen VII) Kementerian ATR/BPN.
Baca Juga: Wabah Covid-19, Pelayanan Pertanahan ATR/BPN Gunakan Jalur Elektronik
Direktur Sengketa dan Konflik Wilayah II, Daniel Adityajaya mengatakan, permasalahan tanah yang terjadi, terutama antara masyarakat dengan Perseroan Terbatas (PT) Perkebunan Nusantara (PTPN) sudah berlangsung lama. Untuk itu, permasalahan pertanahan tersebut perlu diteliti dengan seksama.
"Penelitian itu terkait mana subjek dan mana objek. Pihak-pihak yang mengklaim menguasai tanah tersebut, perlu diteliti lebih lanjut," tutur Daniel Adityajaya dinukil dari siaran pers Kementerian ATR/BPN.
Daniel Adityajaya mengemukakan beberapa skema untuk melakukan penelitian tersebut. Pertama, klaim masyarakat dan menguasai fisik, status Hak Guna Usaha (HGU) aktif. Kedua, klaim masyarakat status HGU masih aktif. Ketiga, masyarakat menguasai tanah dan memiliki data yuridis, status HGU aktif. Keempat, masyarakat status HGU akan diperpanjang.
Baca Juga: ATR/BPN: Ini 9 Poin Penting dalam RUU Cipta Kerja Cluster Pengadaan Tanah
Kelima, masyarakat menguasai fisik, status HGU akan diperpanjang. Keenam, masyarakat mengklaim dan menguasai fisik tanah, status HGU sudah mati. Ketujuh, masyarakat mengklaim status HGU sudah mati. Kedelapan, masyarakat menguasai fisik, HGU sudah mati.
Lebih lanjut, dia mengatakan dalam penanganan sengketa dan konflik, Kementerian ATR/BPN selalu berkoordinasi dengan banyak pihak yakni Kementerian/Lembaga (K/L) terkait, Kantor Staf Presiden (KSP), serta Komisi II DPR RI.
"Dalam bekerja kami juga diawasi oleh rakyat melalui Komisi II DPR RI. Kami juga sejalan dengan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) namun berbeda sudut pandang pekerjaan, yang jelas kita perlu jalin terus komunikasi," kata Pria yang menduduki jabatan Direktur Sengketa dan Konflik Wilayah II sejak awal 2020 ini.
Mafia Tanah Penyebab Sengketa Tanah
Sementara itu, Ketua Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), Alfi Syahrin mengatakan bahwa dalam menangani dan menyelesaikan konflik dan sengketa pertanahan perlu dilihat ke akar masalahnya. Ia mengemukakan bahwa sengketa dan konflik yang terjadi merupakan masalah dari zaman penjajahan Belanda hingga Indonesia merdeka.
“Zaman penjajahan dulu, tanah masyarakat diambil dengan dalih untuk dijadikan tanaman industri. Saat zaman kemerdekaan, nasionalisasi pun merupakan bentuk pengambilan tanah masyarakat. Padahal yang dinasionalisasi adalah perusahaan bukan tanah-tanahnya," ujar Alfi Syahrin.
Baca Juga: Tips Mencegah Sengketa Harta Warisan dalam Keluarga
BPRPI melalui Alfi Syahrin berpesan agar pemerintah harus berniat untuk menyelesaikan kasus sengketa pertanahan, yang banyak disebabkan oleh mafia tanah.
"Segera tangkap para mafia tanah penyebab maraknya sengketa dan konflik tanah di Indonesia," kata Alfi.