RealEstat.id (Jakarta) – Sektor properti Tanah Air terseok-seok pasca Pandemi Covid-19 menyerang sendi-sendi perekonomian masyarakat. Daya beli masyarakat yang turun membuat tingkat penyerapan pun terkoreksi tajam.
Tak hanya properti komersial yang mengalami penurunan penjualan, rumah MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) yang notabene mendapat subsidi dari pemerintah pun terkena imbasnya. Hal ini disampaikan oleh Direktur Kepatuhan Intern Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR), Yusuf Hariagung.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian PUPR, berkewajiban menyediakan rumah sebagai kebutuhan dasar setiap warga. Dalam hal ini, Kementerian PUPR memiliki Program Sejuta Rumah yang berjalan sejak April 2015.
Baca Juga: Rumah Ideal Bagi Generasi Milenial Menurut Kementerian PUPR
Pada rentang 2015 - 2019, program tersebut berhasil membangun 4,8 juta unit rumah, sedangkan antara 2020 - 2024, Kementerian PUPR menargetkan 5 juta unit terbangun. Akan tetapi, pelaksanaan program tersebut saat ini terkendala oleh wabah Covid-19.
“Realisasi program sejuta rumah pada 2020 sampai Agustus lalu sekitar 260 ribuan unit. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi Agustus 2019 yang sudah mencapai 600 ribuan rumah," ungkap Yusuf Hariagung, dalam webinar bertema "Investasi dan Promosi Properti saat Pandemi" yang diselenggarakan Jagatbisnis.com, Rabu (2/9/2020).
Kendati demikian, dia meyakini target satu juta unit rumah pada tahun ini dapat tercapai. Menurut Yusuf, program sejuta rumah pada 2020 dapat terwujud dengan kontribusi dari skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan subsidi selisih bunga sebanyak 200 ribu unit. Kemudian program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya, rumah susun, dan rumah khusus sekitar 200 ribuan unit.
Baca Juga: Adaptasi Kebiasaan Baru Dipercaya Bangkitkan Sektor Perumahan
"Sisanya, lanjut dia, dapat dipenuhi dari pembangunan rumah oleh pelaku usaha dan swadaya masyarakat sendiri. Karena komponen program sejuta rumah sebanyak 70% berasal dari perumahan MBR dan 30% dari perumahan komersial," imbuh Yusuf.
Lebih lanjut, dia menuturkan, Kementerian PUPR masih menawarkan sejumlah insentif untuk menggenjot pembangunan rumah bagi masyarakat. Misalnya, kepada pengembang rumah subsidi, pemerintah hanya mengutip PPh final 1%. Ada pula bantuan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) untuk membangun kawasan hunian, seperti jalan lingkungan, tempat pengelolaan sampah terpadu, sanitasi, serta sistem air bersih.
Untuk meningkatkan kualitas hunian, Pemerintah juga mengucurkan dana renovasi rumah tidak layak huni (RTLH) lewat Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) atau Program Bedah Rumah. Melalui program ini, setiap unit rumah mendapat dana peningkatan kualitas sebesar Rp17,5 juta.
Sementara itu, dari sisi perizinan, Pemerintah melakukan penyederhanaan tahapan dari 33 menjadi 11. Begitu pun lama proses perizinan dipercepat dari 981 hari menjadi hanya 44 hari.
Properti Bukan Sektor Glamor
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Tata Ruang dan Pengembangan Kawasan Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia (DPP REI), Hari Ganie menggarisbawahi bahwa pada masa pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pertumbuhan properti menurun drastis.
Beruntung, ketika PSBB transisi dijalankan, penjualan properti mulai menggeliat, terutama di Jabodebek dan Banten. Hal ini, menurut Hari Ganie, disebabkan sekitar 70% uang yang berputar di Indonesia berada di kawasan ini.
"Selama masa pandemi ini, pasar perumahan turun 50%, perkantoran turun 70% sampai 75%, mal turun 85%, dan hotel paling terkena imbas dengan penurunan 90% hingga 95%," tutur Hari.
Baca Juga: Pasar Perumahan Jabodebek-Banten: Penjualan Melonjak, Segmen Pasar Bergeser
Agar pengembang properti bisa survive di masa pandemi, DPP REI meminta pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan keringanan pajak, kredit, maupun biaya operasional, baik berupa pemotongan atau penundaan pembayaran.
“Kami juga meminta stimulus berupa pengurangan biaya operasional di mal dan hotel, seperti listrik dan air. Kami sudah berkoordinasi dengan pemerintah dan asosisasi pengusaha terkait hal ini,” tuturnya.
Hari mengimbau pemerintah jangan melihat industri properti sebagai sektor yang glamor. Pemerintah harus melihat properti secara komprehensif, di mana sektor usaha ini menggerakkan 174 industri terkait dan mempekerjakan 30 juta tenaga kerja.
"Sektor properti Tanah Air juga masih menyumbang 2,7% dari PDB nasional. Bandingkan di negara-negara tetangga yang bisa menyumbang belasan persen. Kami (REI) berharap sektor properti kita bisa menyumbang setidaknya 10%," imbuh Hari.
Jangan Bangun Apartemen!
Dia mengakui, saat ini Pemerintah masih fokus melakukan restrukturisasi di sektor UMKM, dan belum banyak menyentuh sektor properti. Di sisi lain, pengembang juga harus bertahan hidup di masa krisis akibat pandemi ini. Untuk itu, Hari mengatakan pengembang harus melakukan beragam inovasi dalam mengembangkan produk properti, mulai dari penyesuaian harga, konsep, cara penjualan, namun yang terpenting adalah memitigasi risiko.
Para pengembang sebaiknya merestrukturisasi kewajiban kepada perbankan agar tetap bertahan di masa pandemi. Langkah efisiensi perlu dilakukan pula, semisal pengembang fokus pada aset yang sudah ada dan tidak membeli lahan baru.
Baca Juga: Pengembang dalam PKPU, Bagaimana Nasib Konsumen Properti?
Pembangunan, menurutnya, lebih baik berupa rumah tapak daripada apartemen. Pasalnya, pembangunan rumah tapak bisa dilakukan bertahap, tidak seperti apartemen yang harus dibangun sekaligus.
"Dalam memitigasi risiko, pengembang tidak boleh spekulatif. Semua harus terukur dan memastikan bahwa pasarnya ada. Saat ini, apartemen adalah produk yang berisiko tinggi," tegasnya.
Hal yang tak kalah penting, papar Hari, pengembang perlu membangun rumah yang sesuai dengan kebutuhan konsumen saat ini. Misalnya, sekarang sedang tren work from home (WFH). Untuk menyiasati itu, pengembang dapat membangun rumah yang dapat memenuhi kebutuhan WFH, seperti membuat ruang terbuka hijau dan ventilasi udara yang baik.