5 Kiat Restrukturisasi Pembiayaan Properti di Perbankan Syariah

Restrukturisasi pembiayaan merupakan upaya perbaikan yang dilakukan bank untuk membantu nasabah yang pembiayaannya bermasalah, agar dapat menyelesaikan kewajiban.

Juneidi D. Kamil, Pakar Hukum Properti (Foto: RealEstat.id)
Juneidi D. Kamil, Pakar Hukum Properti (Foto: RealEstat.id)

RealEstat.id (Jakarta) – Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “berfikirlah positif, tidak peduli seberapa keras kehidupanmu”. Nasihat ini cukup baik untuk direnungkan, terutama bagi nasabah pembiayaan properti perbankan syariah yang tengah mencari solusi di tengah kesulitan cash flow dan likuiditas yang dihadapi.

Berpikir positif memerlukan berbagai perspektif agar aman dan bijak dalam mengelola bisnis termasuk bisnis properti. Restrukturisasi pembiayaan properti dapat menjadi solusi di tengah kesulitan yang dihadapi saat ini. Nah, berikut ulasannya.

Restrukturisasi Pembiayaan

Restrukturisasi pembiayaan merupakan upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam rangka membantu nasabah yang pembiayaannya bermasalah agar dapat menyelesaikan kewajibannya.

Pembiayaan nasabah menjadi bermasalah di saat terdapat kesulitannya dalam melaksanakan kewajiban kepada bank sesuai akad pembiayaan. Salah satu bentuk kewajiban itu adalah membayar kewajiban angsuran yang di dalamnya terdapat komponen kewajiban pokok dan kewajiban bagi hasil.

Baca Juga: Lima Keuntungan Membeli Rumah dengan Fasilitas KPR Indent

Pembiayaan bermasalah apabila berlarut-larut maka kualitas pembiayaan masuk dalam kategori NPF (non performing financing). Dalam praktik perbankan dikenal kualitas pembiayaan dalam lima kategori, yaitu pembiayaan Lancar, Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar (KL), Diragukan (DIR), dan Macet.

Penurunan kolektibilitas pembiayaan dapat mengakibatkan risiko bank bergeser menjadi lebih tinggi. Bank akan menghadapi risiko kredit akibat kegagalan nasabah pembiayaan memenuhi kewajibannya. Semakin besar risiko kredit maka semakin besar pula kewajiban bank harus menyisihkan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang dapat menggerus laba operasionalnya.

Restrukturisasi pembiayaan dapat membantu nasabah dalam mengatasi kesulitannya dalam membayar kewajiban kepada bank. Beban kewajiban finansialnya dalam mengangsur kewajiban kepada bank menjadi berkurang.

Nasabah pembiayaan lancar memiliki kesempatan mengajukan permohonan pembiayaan baru pada bank yang sama maupun pada bank lain. Nasabah pembiayaan dalam bentuk Perseroan Terbatas atas seizin bank dapat menjual sebagian atau seluruh sahamnya untuk memperkuat permodalan serta likuiditas dalam membantu kegiatan usahanya.

Baca Juga: Cara Membagi Harta Warisan dalam Hukum Islam

Kebijakan restrukturisasi dalam praktik perbankan syariah terhadap pembiayaan nasabah yang bermasalah sudah lazim dilakukan. Jadi kebijakan restrukturisasi ini bukanlah bentuk kebijakan yang baru dikenal setelah adanya pandemi Covid-19.

Meskipun demikian, terbitnya POJK No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional se-bagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disesase 2019 menjadi pedoman bagi bank menyusun kebijakan restrukturisasi pembiayaan dalam mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi untuk debitur yang terkena dampak penyebaran coronavirus disease 2019 (Covid-19) termasuk debitur usaha mikro, kecil, dan menengah.

Rambu-rambu Restrukturisasi

Restrukturisasi pembiayaan yang dilakukan perbankan syariah wajib memenuhi prinsip syariah, prinsip de-mokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Restrukturisasi yang dilakukan harus berdasarkan Prinsip Syariah artinya tidak boleh mengandung unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.

Riba adalah penambahan pendapatan secara tidak sah (batil). Dalam transaksi pinjam-meminjam, mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah) adalah riba. Maisir terjadi apabila transaksi itu digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan.

Baca Juga: Mengamankan Investasi Properti Saat Terdampak Sengketa Utang di Pengadilan Niaga

Transaksi Gharar, objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah.

Transaksi haram merupakan transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah. Sedangkan zalim adalah transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.

Prinsip demokrasi ekonomi dalam restrukturisasi yang dilakukan perbankan syariah artinya restrukturisasi pembiayaan mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan.

Sedangkan prinsip kehati-hatian, artinya dalam melakukan restrukturisasi pembiayaan, perbankan syariah harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan nasabah pembiayaan untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya.

Untuk memperoleh keyakinan, maka perbankan syariah wajib melakukan penilaian yang kembali secara seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah pembiayaan.

Baca Juga: Restrukturisasi Utang atau Restrukturisasi Perusahaan, Mana yang Lebih Penting?

Sebagai pelaksanaan prinsip kehati-hatian, pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan yang dilakukan bank akan diperiksa kebenarannya baik oleh internal maupun oleh eksternal seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kantor Akuntan Publik (KAP).

Perbankan syariah tidak boleh melakukan restrukturisasi pembiayaan dalam rangka memperbaiki kualitas pembiayaan atau menghindari peningkatan pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) tanpa memperhatikan kriteria nasabah.

Restrukturisasi pembiayaan hanya dapat dilakukan perbankan syariah untuk nasabah yang memenuhi dua kriteria. Pertama, nasabah mengalami penurunan kemampuan membayar kewajibannya kepada bank. Kedua, nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi pembiayaan dilakukan.

Dalam praktik perbankan syariah, restrukturisasi pembiayaan dapat dilakukan dalam beberapa cara. Pertama, perubahan jadwal pembayaran kewajiban (pokok dan margin/bagi hasil/ujroh) sesuai cashflow.

Baca Juga: Pengembang Dalam PKPU, Apa yang Harus dilakukan Pihak Perbankan?

Kedua, perubahan jangka waktu pembiayaan. Ketiga, keringanan (diskon) tunggakan margin/bagi hasil/ujroh dan ta’widh pembiayaan. Keempat, perubahan kesetaraan nisbah bagi hasil.

Kelima, penundaan (grace reriod) pembayaran kewajiban pembiayaan. Keenam, penambahan dana fasilitas pembiayaan bank. Ketujuh, konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah. Kedelapan, kombinasi dua atau lebih kebijakan restrukturisasi pembiayaan.

Lima Langkah Restrukturisasi Pembiayaan Syariah

Lalu, apakah langkah yang dapat dilakukan nasabah pembiayaan untuk mendapatkan solusi atas kesulitan nasabah pembiayaan properti?

Setidak-tidaknya terdapat lima langkah yang dapat dilakukan nasabah pembiayaan properti perbankan syariah baik pembiayaan konsumer seperti KPR/KPA maupun pembiayaan komersial seperti pembiayaan pembelian lahan dan pembiayaan modal kerja konstruksi.

1. Menilai diri sendiri (self assesment)

Nasabah pembiayaan sebaiknya menilai sendiri terlebih dahulu faktor penyebab kesulitan membayar kewajiban kepada bank. Apakah kesulitan dalam membayar angsuran pembiayaan properti akibat dari wabah Covid-19? Indikatornya adalah kesulitan membayar kewajiban terjadi pada saat bulan Februari 2020.

Bank akan menilai kembali kebenaran informasi yang disampaikan debitur ini. Karena Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan kita berada dalam status Darurat Bencana Wabah Virus Covid-19 pada 28 Februari 2020. Apabila jauh-jauh hari pembiayaan Anda memang sudah bermasalah maka jangan berharap keringanan atau berlindung dari kebijakan ini.

Baca Juga: Lima Kiat Sukses Mendapat Kucuran Kredit Properti dari Bank

Kriteria lainnya adalah maksimal pembiayaan (plafon) yang dapat diajukan restrukturisasi berdasarkan ketentuan ini sampai dengan Rp10 miliar jenis pembiayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Apabila melebihi dari plafon itu maka bukan termasuk dalam kriteria dalam regulasi ini. Karena bukan hanya usaha nasabah pembiayaan yang terdampak tetapi juga debiturnya secara pribadi maka jenis kreditnya dapat berupa pembiayaan produktif untuk pelaku usaha maupun pembiayaan konsumtif seperti KPR/KPA.

2. Menyampaikan informasi kepada bank

Nasabah pembiayaan menginformasikan situasi dan kondisi kesulitan dalam membayar angsuran kredit. Nasabah pembiayaan sedapat mungkin memberikan bukti (bisa berupa dokumen, foto, dll) atas situasi dan kondisi kesulitan bukan anggapan (opini) dari nasabah pembiayaan saja.

Untuk nasabah pembiayaan modal kerja konstruksi maka sebaiknya segera mempersiapkan permohonan secara resmi dengan disertai usulan perubahan cash flow, data kemajuan prestasi proyek dan data pemasaran serta laporan keuangan terakhir.

3. Klaim asuransi jiwa oleh ahli waris

Apabila nasabah pembiayaan meninggal dunia, ahli waris dapat mengajukan klaim asuransi kepada bank sepanjang terdapat asuransi jiwa dalam fasilitas pembiayaan itu.

Ahli waris tidak perlu lagi mengajukan permohonan restrukturisasi dalam keadaan ini. Jenis pembiayaan properti yang biasanya terdapat asuransi jiwa adalah pembiayaan konsumer seperti KPR/KPA.

Harus diketahui, kematian nasabah pembiayaan tidak otomatis kredit menjadi lunas. Ahli waris berkewajiban menanggung utang tersebut apabila tidak terdapat asuransi jiwa pada fasilitas kredit yang disalurkan bank.

Baca Juga: Risiko Hukum Dalam Pengucuran Kredit Properti, Apa Saja?

4. Menandatangani addendum

Nasabah menandatangani addendum akad pembiayaan. Addendum artinya perubahan terhadap kesepakatan yang sudah ditandatangani sebelumnya oleh bank dan debitur. Dalam rangka penandatanganan addendum nasabah pembiayaan bisa jadi akan dikenakan biaya meterai dan/atau biaya jasa notaris.

Jika plafon pembiayaan kecil biasanya addendum hanya dibuat di bawah tangan saja. Tetapi apabila plafonnya besar maka addendum dibuat secara otentik. Pembuatan addendum secara otentik mengeluarkan biaya untuk jasa notaris.

5. Menyimpan dokumen

Nasabah mendokumentasikan secara baik addendum akad pembiayaan yang sudah ditandatangani. Akad pembiayaan beserta addendum serta akta-akta lain yang ditandatangani saat akad dan restrukturisasi pembiayaan mengatur hak dan kewajiban nasabah pembiayaan dan bank.

Mengakhiri artikel ini, “Hal terpenting yang harus Anda lakukan ketika berada di dalam lubang adalah berhenti menggali,” demikian ucapan Warren Buffett.

Dalam bisnis properti, ketepatan prediksi dan sensitifitas terhadap kondisi pandemi Covid-19 merupakan hal yang wajib. Bagi nasabah pembiayaan properti perbankan syariah, aman dan bijaklah dalam melakoni bisnis properti.

Semoga artikel ini bermanfaat.*

Artikel ini ditulis oleh: Juneidi D. Kamil, SH, ME, CRA, Praktisi Hukum Properti dan Perbankan. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis.

Redaksi@realestat.id

Simak Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News

Berita Terkait

Onesiforus Elihu Susanto (Foto: Dok. realestat.id)
Onesiforus Elihu Susanto (Foto: Dok. realestat.id)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Dzaky Wananda Mumtaz Kamil (Foto: Dok. Pribadi)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)
Muhammad Joni (Foto: Dok. RealEstat.id)